Perilaku pengguna jalan di Ibu Kota yang ugal-ugalan kerap kita jumpai, bahkan sudah pada level akut, khususnya pengendara sepeda motor. Melawan arah, menerobos lampu merah, melintasi trotoar pejalan kaki, dsb.
Oleh
M NADZIRUMMUBIN
·2 menit baca
Beberapa hari lalu, sejumlah pengendara sepeda motor tertabrak truk pengangkut bata di Jalan Lenteng Agung karena melawan arah (Kompas, 22/8/2023). Peristiwa ini semestinya tak terjadi, tapi apa boleh buat jika itu buah dari kebiasaan mereka sendiri.
Harus diakui perilaku pengguna jalan di Ibu Kota yang ugal-ugalan kerap kita jumpai, bahkan sudah pada level akut, khususnya pengendara sepeda motor. Melawan arah, menerobos lampu merah, melintasi trotoar pejalan kaki, merampak jalan, adalah deretan contoh pelanggaran lalu lintas yang dianggap lumrah.
Lebih ironis lagi, ketika di antara pengguna jalan saling bersinggungan, mereka tak segan untuk saling mengumpat.
Apa mereka tak sadar risiko melawan arah akan mencelakai dirinya dan merugikan orang lain? Alibi menghindari macet untuk mengejar jam masuk kerja/sekolah, bagi saya hanya bualan semata.
Bukannya itu rutinitas yang mereka lalui sehari-hari? Toh problem kemacetan bukan barang baru, melainkan realitas yang harus diterima jika beraktivitas di Jakarta. Untuk menghindari macet, mestinya berangkat lebih awal, atau pakai moda transportasi umum.
Kebiasaan buruk ini pernah diulas Alissa Wahid dalam tulisannya, ”Tahu Diri” (Kompas, 6/8/2023). Budaya ini muncul karena manusia gagal melewati fase perkembangan remaja. Cara pandang pengendara sepeda motor dalam menikmati fasilitas publik berupa jalan raya masih didasarkan sifat egosentrisme, berfokus pada diri sendiri. Mengabaikan kepentingan pengguna jalan lain. Akibat ulahnya, bukan hanya dirinya yang luka-luka, sopir truk juga dirugikan secara materiil dan harus berurusan dengan polisi.