Keagungan puisinya bukan dibangun oleh kemewahan, tetapi tercipta karena ia bagian dari apa yang dialami masyarakat. Ia tidak punya media untuk bersuara seperti birokrat atau politikus, maka puisi menjadi kanal bersuara.
Oleh
Yes Sugimo
·2 menit baca
Meski 25 tahun tidak jelas nasibnya, inspirasi Wiji Thukul (WT) bukannya surut, melainkan justru membangkitkan semangat untuk memahami makna keadilan.
Dalam rangka perayaan 60 tahun usia WT yang bertajuk ”Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul, Kau di Mana?” (Kompas, 27-28/8/2023), beberapa puisi WT dibacakan, salah satunya oleh sastrawan Linda Christanty. Ini bukti energi WT tak lekang dimakan waktu.
Keagungan puisinya bukan dibangun oleh kemewahan, tetapi tercipta karena ia bagian dari apa yang dialami masyarakat. Ia tidak punya media untuk bersuara seperti birokrat atau politikus, maka puisi—salah satu bentuk seni yang jauh dari nilai ekonomi—menjadi kanal untuk menyuarakan kegelisahan masyarakat.
Sebangun dengan Buya Syafii Maarif, WT memaknai seni itu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan mempertajam daya tembus intelektual (Kompas, 27/8/2023). Namun, dalam masyarakat yang memuja hedonisme, kesenian tak pernah terjangkau, baik oleh alam sadar maupun bawah sadar, sehingga keberadaannya dianggap tiada.
Jokowi sebagai capres pada Pilpres 2014 pernah berjanji akan mengusut tuntas kasus WT, tapi hingga menjelang kekuasaan berakhir, belum terealisasi. Agar generasi muda paham sejarah, tokoh sastrawan, dan karya mereka pada masanya, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, pemerintah cq Kemendikbudristek sebaiknya menerbitkan puisi karya WT sesuai materi asli jadi dokumen sastra nasional dan materi bahan ajar di sekolah.
Sejajar dengan penyair Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, WS Rendra, Danarto, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Ini sekaligus bukti sastrawan Indonesia tumbuh berkelanjutan, sebab kesenian sebagai hasil olah segenap energi tetap abadi meski penciptanya sudah tiada. Materi jangan dipolitisasi, sejarah harus disampaikan apa adanya.