Pilpres, Pileg, dan Bisnis Kekuasaan
Politik tidak hanya seni mencari berbagai kemungkinan, tetapi juga bisnis kekuasaan.

Budiman Tanuredjo (BDM)
My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins…
Sambil ngobrol dan makan malam di warung tegal di kawasan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, akhir pekan ini, tiba-tiba saya teringat ucapan Presiden Filipina 1935-1944 Manuel Quezon yang juga pernah diucapkan Presiden Amerika Serikat 1961-1963 John F Kennedy soal perlunya monoloyalitas. Isu monoloyalitas bakal menjadi isu menarik dalam kancah politik negeri ini.
Kami mengobrol soal kehidupan dengan orang-orang biasa. Kebetulan salah seorang yang mengajak saya ngobrol mengenali saya sering membawakan talkshow Satu Meja di Kompas TV. ”Emang Bapak percaya dengan omongan politisi yang sering Bapak wawancarai?” ucapnya.
Saya terkejut dengan celetukan itu. Dalam batin saya, orang-orang kecil itu punya kecerdasan politik tersendiri. Bisa membaca panggung depan dan panggung belakang politik yang kerap berbeda 180 derajat sebagaimana diteorikan Erving Goffman dalam dramaturgi politik.
Saya balik bertanya dalam bahasa Jawa. ”Nek sampeyan pripun? Mereka, kan, mikir hidupnya sendiri. Kalau ngomong di televisi seakan-akan mereka memikirkan rakyat, tapi apa bentuknya keberpihakan pada rakyat. Korupsi, kan, memperkaya dirinya sendiri, kan. Wis dadi menteri, kini nyalon DPR. Sing wis dadi menteri, pengin dadi presiden.”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F23%2F67cd08c4-bedc-4fbd-a49a-c27122ab1df2_jpg.jpg)
Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Maruf Amin memasuki Istana Merdeka, Jakarta, untuk berfoto bersama para menteri yang akan dilantik, Rabu (23/10/2019).
Gerundelan orang pinggiran itu memberikan kesadaran bahwa sebagian dari rakyat kebanyakan tak lagi bodoh. Saya kagum dengan gerundelan itu. ”Wis dadi menteri, kini nyalon DPR. Wis dadi menteri ora cukup, kini nyalon presiden.” Secara formal, tak ada aturan hukum yang dilanggar. Namun, itulah hakikatnya politik purba. Mencari uang untuk mendapatkan kekuasaan, setelah kekuasaan didapat, bagaimana mendapatkan lebih banyak uang untuk memperbesar kekuasaan.
Politik seperti telah menjadi bisnis kekuasaan. Kamis malam, saya menerima pesan pendek dari sahabat saya, Benny K Harman. Politisi senior Partai Demokrat itu tampak terburu-buru. ”Sedang ke Cikeas, Demokrat dikhianati,” tulisnya pendek. Kabar menyeruak. Sekjen Demokrat mengeluarkan rilis, Demokrat merasa dikhianati setelah muncul kabar Anies Baswedan diduetkan dengan Muhaimin Iskandar sebagai bakal capres dan cawapres. Gaduhlah politik. Padahal, selama ini, Demokrat menghendaki Anies Baswedan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono.
Pesan Whatsapp dari Benny Harman saya endapkan. Pengkhianatan. Lompat kiri-kanan biasa dalam politik karena rebutan kepentingan. Saya telusuri ucapan teman ngobrol di warteg tadi. ”Wis dadi menteri, kini nyalon DPR.”
Menelusuri daftar caleg sementara bisa didapati sejumlah nama menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mendaftarkan diri sebagai caleg. Ada nama Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang maju untuk Dapil Jakarta II. Ada pula nama Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor dari Partai Bulan Bintang yang nyaleg di Jawa Barat V. Ada nama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, politisi PDI Perjuangan yang nyaleg di Dapil Sumatera Utara III. Ada juga nama Menteri Desa Abdul Halim Iskandar yang nyaleg di Dapil Jawa Timur V. Ada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dari Partai Nasdem yang maju di Dapil Sulawesi Selatan I. Ada nama Wakil Menteri Perdagangan Jeffry Sambuaga dari Partai Golkar nyaleg di Sulawesi Utara. Ada nama Wamendagri John Wempi Wetipo dari PDI Perjuangan untuk Dapil Papua Pegunungan. Ada nama Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibyo dari Perindo yang nyaleg di Dapil Jatim I.
Baca juga: Suara Lirih “Muazin” Bangsa
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F18%2F35f78d2e-c372-4231-a4d2-aaf57fca7ed1_jpg.jpg)
Siluet Ketua KPU Hasyim Asyari (tengah) bersama anggota KPU, Yulianto Sudrajat (kanan) dan Idham Holik, sedang menjelaskan data saat konferensi pers penetapan daftar calon sementara (DCS) calon anggota legislatif DPR di kantor KPU, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Daftar menteri yang jadi caleg itulah yang mengingatkan saya pada apa yang pernah dikatakan Manuel Quezon dan Kennedy. Loyalitas pada partai berakhir saat loyalitas pada negara dimulai. Ucapan Quezon dan Kennedy menuntut adanya monoloyalitas dan menolak dualisme loyalitas. Paham itu pernah dijalankan Presiden Jokowi pada awal pemerintahan periode pertama dengan melarang pimpinan partai politik menjadi menteri. Namun, seiring dengan perkembangan politik dan demi menjaga stabilitas politik, Presiden Jokowi menjadi lebih realistis. Presiden Jokowi menganulir sikap politiknya dan membolehkan pimpinan parpol menjadi menteri.
Atas nama demokrasi. Atas nama rakyat yang memilih, pemilik partai leluasa menempatkan kerabatnya dalam daftar caleg. Suami, istri, anak, menantu menjadi caleg. Salah? Tidak ada aturan yang dilanggar. Tidak ada hukum yang dilarang. Hanya orang Jawa menyebut ora ilok. Jika merujuk pada tata aturan ada Tap MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Akronim KKN dipelesetkan menjadi narik kanca-kanca. Inilah praktik aji mumpung.
Jelang pemilu presiden yang digelar 14 Februari 2024, soliditas kabinet Presiden Jokowi diuji. Loyalitas para menteri yang menjadi caleg juga bakal diuji. Ke mana loyalitas mereka? Kepada partai politik? Kepada dirinya sendiri? Kepada bakal capres yang diusungnya? Kepada Presiden Jokowi? Atau loyal kepada bangsa dan negara? Tak ada yang salah secara hukum seorang menteri nyaleg. Mereka tidak harus mundur secara hukum. Dan mereka juga tidak akan mundur dari jabatannya saat berkampanye atau berpindah jalur dari eksekutif ke legislatif. Undang-undang memberi jalan moderat: cuti selama kampanye. Namun, bagaimana dengan potensi penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
Ada beberapa pertimbangan seorang menteri nyaleg. Yang paling dominan, seorang menteri nyaleg untuk menjadi vote getter (penarik suara) untuk partainya. Setelah mereka dipilih, bisa saja terjadi mereka pindah jalur ke eksekutif lagi. Dan suara rakyat ditinggalkan. Pada tahap inilah dilema moral akan dihadapi. Bukankah menjadi vote getter sama dengan mengingkari suara rakyat atau menyia-nyiakan suara rakyat.
Bangsa ini sedang menjalankan eksperimen demokrasi. Tentunya menarik diamati bagaimana menteri dari sebuah pemerintahan Presiden Jokowi akan berkampanye dengan orientasi capres yang berbeda-beda. Ada menteri yang mengusulkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ada menteri yang bakal berkampanye untuk Ganjar Pranowo. Tetapi bisa saja ada menteri yang mengusung tema perubahan yang mengusung calon Presiden Anies Baswedan yang diusung Nasdem, Demokrat, dan PKS, tapi kemudian Demokrat merasa dikhianati saat dimunculkan nama Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Duet Anies-Muhaimin mencuat, PKB siap pamit dari koalisi dengan Gerindra, Golkar, dan PAN.
Politik tidak hanya seni mencari berbagai kemungkinan, tetapi juga bisnis kekuasaan. Kekuasaan itu menggetarkan, kekuasaan itu memang mengagumkan, kekuasaan itu memang memesona, tetapi kekuasaan itu juga memabukkan. Mabuk kekuasaan itu membuat orang menjadi tamak akan kekuasaan. Tetapi saya menambahkan, apa yang dikatakan Sultan Hamengku Buwono IX bahwa takhta untuk rakyat. Kekuasaan itu bukan untuk dirinya sendiri, bukan untuk kelompoknya, bukan untuk partai politik, melainkan untuk kepentingan rakyat. Rakyat harus terlibat atau harus dilibatkan dalam menentukan agenda kebangsaan ke depan. Loyalitas pemimpin haruslah kepada bangsa dan kepada rakyat.