Dalam menangani masalah global, kita perlu mempertimbangkan suara lokal sebagai bagian dari dinamika sosial-budaya masyarakat. Jika tidak, kita akan cenderung menawarkan solusi tunggal, dan menciptakan ketidakadilan.
Oleh
SITI MURTININGSIH
·3 menit baca
Dunia yang kita hidupi saat ini adalah dunia yang dipenuhi masalah-masalah global, mulai dari ancaman perang nuklir, perubahan iklim, krisis lingkungan, hingga disrupsi kecerdasan buatan.
Yuval Noah Harari, dalam 21 Lessons for the 21st Century, menulis bahwa ”masalah-masalah global itu perlu jawaban global”. Harari menulis demikian untuk menunjukkan betapa tidak memadainya nasionalisme sempit yang cenderung isolasionis untuk mengatasi semua masalah global tersebut.
Satu negara saja tidak akan mampu mengatasi tantangan global itu secara sendiri. Karena itu, Harari lalu menyarankan adanya ”globalisasi politik”.
Apa yang dimaksud ”globalisasi politik” oleh Harari itu bukanlah pemerintahan global yang mengatasi semua negara di dunia. Hal itu mustahil diwujudkan. Globalisasi politik berarti bahwa dinamika politik di dalam suatu negara atau bahkan di dalam suatu kota mesti memberikan bobot yang lebih banyak pada persoalan-persoalan global.
Dengan kata lain, pemerintah suatu negara atau kota seharusnya tidak lagi melihat masalah lingkungan, misalnya, hanya dalam lingkup negara atau kotanya, tetapi juga dalam lingkup global. Perubahan iklim bukan hanya masalah orang Indonesia, melainkan masalah umat manusia di seluruh dunia.
Globalisasi politik berarti bahwa dinamika politik di dalam suatu negara atau bahkan di dalam suatu kota mesti memberikan bobot yang lebih banyak pada persoalan-persoalan global.
Ketidakadilan terselubung
Narasi dan juga saran yang diberikan Harari ini tampak masuk akal, dan tidak bisa dimungkiri kita memang membutuhkan kerja sama internasional untuk menangani masalah-masalah global. Namun, narasi ini menyimpan satu masalah besar, yaitu pengabaian suara lokal terkait masalah global tersebut.
Masalah lingkungan dan juga disrupsi kecerdasan buatan, misalnya, memang mengancam seluruh umat manusia di muka bumi. Namun, karena konteks ekonomi, sosial, dan budaya yang beragam, masalah-masalah itu tidak menghampiri seluruh manusia dengan cara yang sama. Efek yang ditimbulkan pun bisa berbeda-beda.
Efek perubahan iklim ekstrem bagi petani dan nelayan itu berbeda dari efek perubahan iklim ekstrem bagi para CEO perusahaan tambang batubara.
Demikian juga efek pendidihan global bagi negara-negara berkembang itu berbeda dari efek pendidihan global bagi negara-negara maju. Menganggap masalah global memiliki efek yang sama bagi seluruh manusia secara global itu justru dapat menciptakan ketidakadilan terselubung.
Mengapa? Karena dengan asumsi bahwa semua manusia mengalami masalah global dengan cara yang sama, kita akan cenderung menawarkan solusi tunggal untuk mengatasi masalah itu. Di sinilah ketidakadilan terselubung tersebut mungkin terjadi.
Oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah global, kita juga perlu mendengarkan suara-suara lokal, selain mengupayakan kerja sama internasional.
Mendengarkan suara-suara lokal untuk merumuskan solusi bagi masalah global ini bukan untuk meromantisasi pengalaman dan pengetahuan masyarakat lokal, melainkan untuk memastikan bahwa solusi yang diterapkan sesuai dengan kondisi aktual mereka.
Tantangan suara lokal
Mendengarkan suara lokal itu penting. Ini disadari juga oleh para ilmuwan belakangan ini, terutama mereka yang punya perhatian pada topik pascakolonialisme. Namun, upaya mengangkat suara lokal ke dalam percaturan global kadang terjebak pada esensialisme.
Pandangan esensialis tentang lokalitas menganggap bahwa apa yang tampak dan terdengar dari masyarakat lokal merupakan ciri esensial masyarakat itu. Semisal, masyarakat Jawa punya satu kesadaran kolektif soal pentingnya komunalitas yang tergambar dalam pepatah mangan ora mangan, sing penting ngumpul (makan atau tidak, yang penting kumpul).
Pandangan esensialis akan menganggap struktur masyarakat Jawa dibangun di atas satu fondasi esensial, yaitu komunalitas. Konsekuensinya, menjadi Jawa berarti menjadi orang yang memprioritaskan individualitas daripada komunalitas dan, sebaliknya, menjadi individualis berarti menjadi non-Jawa.
Merepresentasikan suara lokal dalam kerangka esensialis ini sangat berbahaya. Ia menafsirkan lokalitas secara tunggal—dalam konteks ini: merepresentasikan kejawaan dengan citra tunggal.
Suara lokal lain yang berbeda dari suara lokal yang hegemonik itu akan terpinggirkan. Dengan demikian, dalam kerangka esensialis, upaya mengangkat suara lokal justru berpotensi meminggirkan suara-suara lokal yang lain. Hal ini justru kontraproduktif dengan upaya mengangkat suara lokal sebagai bagian dari perayaan atas pluralitas sosial dan budaya.
Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan suara lokal sebagai bagian dari dinamika sosial-budaya masyarakat tidak hanya dengan problemnya sendiri, tetapi juga dengan problem-problem global.