Sebagai pembaca Kompas, saya—dan saya kira kita semua—mengapresiasi laporan Kompas tentang energi terbarukan. Laporan itu tidak hanya penad (relevant) dan aktual, tetapi juga terkesan obyektif.
Oleh
L WILARDJO
·2 menit baca
Sebagai pembaca Kompas, saya—dan saya kira kita semua—mengapresiasi laporan Kompas tentang energi terbarukan (Kompas, 28/8/2023, halaman 10). Laporan itu tidak hanya penad (relevant) dan aktual, tetapi juga terkesan obyektif (sebagaimana adanya).
Benar sekali yang dikatakan peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Akmaluddin Rachim bahwa ”pembahasan RUU di sektor energi amat membutuhkan waktu karena harus intensif dan komprehensif”. Tak boleh alon-alon waton kelakon, tetapi juga jangan grusa-grusu, sok gagah, segalanya dianggap mudah, lalu gegabah!
Sebutan EBET (energi baru dan energi terbarukan) juga lebih tepat daripada istilah yang lama, EBT, sebab ”energi baru dan terbarukan” itu taksa (ambiguous) sehingga bisa rancu pemahamannya.
Energi nuklir dalam RUU itu termasuk energi baru. Itu benar, untuk Indonesia, yang sampai sekarang belum punya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), untuk pembangkitan energi (elektrik dan termal).
Menyebut nuklir sebagai EB (energi baru) secara implisit mengakui bahwa nuklir bukan ET (energi terbarukan). Ini bukan hanya benar, tetapi juga jujur.
Bahkan lebih jujur daripada ahli nuklir Amerika, Alvin Weinberg, yang saking pede-nya menangani PLTN— bahkan mengoperasikan liquid-metal fast breeder reactor— menyebut ”reaktor pembiak cepat (berpendingin) logam cair” itu ”pembakar katalitik” (catalytic burner).
Pastilah dia sejatinya tahu bahwa sebutan ”pembakar katalitik” itu tidak benar.
Bahan-bahan nuklir bekas memang bisa dimanfaatkan menjadi bahan-bahan nuklir (BBN) lagi, dengan memisahkan secara kimiawi plutonium yang terbiakkan di dalam reaktor PLTN. Hanya saja, teknologinya sulit.
Jepang yang sudah menggarap usaha pemanfaatan BBN-bekas (spent nuclear fuels) itu selama puluhan tahun belum berhasil melakukannya dalam skala besar yang menguntungkan secara komersial. Tepco pernah ”dihardik” Shinto Abe ketika Abe masih jadi Perdana Menteri Jepang.
Penggarapan BBN-bekas tersebut bukan ”pendauran ulang” (recycling). BBN bekas memang tidak dapat didaur ulang. Sebutannya yang benar ialah ”pengolahan ulang” (reprocessing).
Mengategorikan gas sebagai EB juga tidak benar, seperti dikatakan oleh Novia Xu (CSIS). Bukan saja karena selama ini kita sudah memakai energi gas, tetapi juga karena gas termasuk yang dihasilkan dari gasifikasi batubara, yang berarti tidak sesuai dengan niat kebulatan tekad kita untuk melakukan transisi energi menuju emisi nol bersih.