Pada akhir masa jabatan, alangkah baiknya jika pemerintah pusat meninggalkan kenangan manis dengan memenuhi keinginan warga masyarakat adat untuk tidak menggusur mereka.
Oleh
A Agoes Soediamhadi
·2 menit baca
Kehendak Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk mengosongkan Pulau Rempang dengan menggusur 16 kampung adat Melayu mendapat penolakan ribuan warga Melayu melalui unjuk rasa di depan kantor BP Batam, Kepulauan Riau (Kompas, 24/8/2023).
Penolakan itu disebabkan keinginan BP Batam, yang bekerja sama dengan PT Makmur Elok Graha, untuk menguasai seluruh pulau, padahal luas kampung adat tak sampai 10 persen dari total luas Pulau Rempang.
Kesewenang-wenangan terlihat dari tuduhan kepada warga yang telah tinggal selama ratusan tahun di sana, yang dianggap telah bermukim secara ilegal. Tuduhan yang sama juga bisa saja ditujukan kepada penduduk asli lainnya, seperti suku Anak Dalam di Sumatera, suku Dayak di Kalimantan, dan suku-suku di Papua.
Pernyataan bahwa proyek Rempang Eco City bisa menarik investor hingga Rp 381 triliun pada 2080 juga dipertanyakan. Dari mana datangnya angka itu dan munculnya tahun 2080 tersebut?
Menggusur kampung adat tempat berdiam suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat, ibaratnya ingin menghapus jejak sejarah. Padahal, keberadaan mereka merupakan aset budaya, laboratorium bagi banyak disiplin ilmu.
Seperti arsitektur, tentu akan melacak filosofi rancang bangun kampung adat dari tampilannya sehingga bisa memperkaya khazanah arsitektur tradisional. Jika dikemas dengan baik, kampung adat dapat menarik wisatawan dan pada gilirannya dapat meningkatkan daya hidup warganya.
Pada akhir masa jabatan, alangkah baiknya jika pemerintah pusat meninggalkan kenangan manis dengan memenuhi keinginan warga masyarakat adat untuk tidak menggusur mereka. Bukankah mereka juga tetap mendukung rencana pengembangan wilayah tersebut?
Kita tak ingin aksi penolakan yang meluas ini membuat gaduh dan menimbulkan polusi budaya. Membangun tanpa menggusur, mengkritik tanpa mencaci maki, adalah tanda masyarakat yang beradab.