Kita akan masuk musim kampanye pilpres yang pasti akan riuh rendah. Menyambut pesta demokrasi itu, kita selalu waswas. Banyak pihak sudah saling melempar hujatan kepada lawannya.
Meskipun selalu diingatkan agar semua pihak menjaga praktik berdemokrasi yang sehat, ada saja pihak-pihak yang gampang menghalalkan segala cara untuk mencari dukungan massa. Kalangan perguruan tinggi mewanti-wanti agar kampus jangan dijadikan ajang kampanye.
Dalam rubrik Surat Kepada Redaksi (Kompas, 30/8/2023), seorang pembaca menceritakan pengalaman mendengar kampanye politik di sebuah masjid di Kecamatan Pondokgede.
Kita masih ingat berbagai hoaks meramaikan musim kampanye lalu, baik pilpres maupun pilkada. Kita belum lupa kasus Buni Yani (2016). Dosen itu mengedit dan mengunggah video sambutan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengutip ayat kitab suci sehingga mengundang amarah sebagian umat Islam.
Pada Pilpres 2019, kita dikejutkan dengan penyebaran berita bohong penganiayaan Ratna Sarumpaet. Seniman dan aktivis politik itu diberitakan disiksa sehingga wajahnya babak belur. Dua ”kejadian” itu telah menimbulkan keonaran. Dampaknya sangat luas dan membelah persatuan masyarakat.
Belakangan terbukti bahwa pidato Ahok dipelintir. Wajah Ratna Sarumpaet bengkak ternyata karena habis operasi plastik. Sekalipun Buni Yani dan Ratna Sarumpaet telah ”membayar dosa”-nya dengan masuk penjara, dampak dan kesan yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka sangat luas dan tak bisa hilang. Ahok pun telanjur masuk penjara, tapi nama baiknya tak pernah direhabilitasi.
Ini pelajaran mahal bagi bangsa ini. Karena itu, mari kita, termasuk para juru kampanye dan pendukung capres, untuk selalu mengontrol diri dalam ucapan dan penampilan. Jangan manfaatkan kampus dan rumah ibadah untuk tujuan politik.
Renville Almatsier
Jl KH Dewantara, Tangerang Selatan