Identitas saya ”ngambang”. Apa lagi saya bule yang tak suka matahari. Lebih dari lima menit di bawah sinar matahari, saya mulai sakit kepala dan tak bisa tidur malamnya. Ini semua membuat saya iri pada turis tertentu.
Oleh
JEAN COUTEAU
·4 menit baca
Saya suka makan sate Madura. Minimal sekali seminggu. Tidak semudah itu mendapatkannya. Apalagi dengan saus kacang dan gulai yang sesuai dengan selera lidah saya.
Sejak beberapa waktu, saya telah menemukan warung sate yang cocok, kira-kira empat kilometer dari rumah saya. Tempatnya khas, tetapi juga umum: suatu terpal yang dipasang terjepit antara rumah bidan dan farmasi desa tetangga di Timur.
Di luarnya, rombong atau gerobak sate lengkap dengan pembakaran sate yang ditiup kipas angin. Aroma asap sate lari menyamping. Ada satu bangku saja tersedia bagi pembeli yang tidak makan di tempat alias take away. Baru di dalamnya ada meja dengan bangku tanpa sandaran beberapa jejer.
Yang enak sebenarnya bukan sate-gulenya saja, tetapi suasananya. Suasana warung berbangku kayu seperti ini termasuk salah satu tempat terakhir di negeri ini di mana kita bisa duduk, lalu mengunyah makanan dengan bersendawa, tanda menikmati. Lalu tanpa ba bi bu membuka percakapan santai dengan orang yang duduk semeja sembari melahap sate, sepuluh tusukannya.
Ya, makan ala warung lebih demokratis rasanya daripada restoran. Kalau di restoran, bermeja sendiri, harus nampang, pura-pura penting, berlagak orang kaya, kecuali saat pura-pura miskin ketika menanti siapa bakal membayar bill-nya.
Tak cocok untuk saya meskipun belum pasti saya tidak mau nampang dan pura-pura tak penting. Apalagi belum pasti pula berpura-pura miskin. Ya! Sudahlah!
Maka, kembali kepada rombong Madura kita tadi. Salah satu keunggulannya bagi saya adalah bahwa saya dapat berbicara santai dengan pemiliknya. Bahkan dengan istri atau anak gadisnya pun tanpa hal ini menimbulkan kecurigaan apa pun.
Meskipun mereka Madura. Kini, mereka biasa. Pada awalnya memang tak semudah itu. Jangan dilupakan, saya orang bule. Pada kunjungan-kunjungan saya yang pertama, mereka masih kaku. Perlu waktu bagi wong cilik untuk melampaui jarak yang tertera pada kebulean kulit saya. Sikap santai hanya bisa terjadi setelah saya berkali-kali datang karena saya memang suka dengan sate mereka.
Bayangkan saja masalah yang saya hadapi. Disapa dalam bahasa Inggris, ditanya kapan pulang ke Jerman, atau langsung ditawarkan tanah karena dianggap orang Rusia.
Identitas saya ngambang. Apalagi saya bule yang tak suka matahari. Lebih dari lima menit di bawah sinar matahari, saya mulai sakit kepala dan tak bisa tidur malamnya. Ini semua membuat saya iri pada turis tertentu. Orang Meksiko, misalnya.
Saya berteman akrab dengan salah seorangnya sejak beberapa waktu. Masalah yang dihadapinya lain. Dengan wong cilik, dia tidak ada masalah: semua menyapanya di dalam bahasa Indonesia. Soalnya, dia berkulit sawo matang dan berwajah NTT (Nusa Tenggara Timur). Dianggap Indonesia, sedangkan saya, ya lain.
Meskipun berbahasa Indonesia dengan lumayan baik—bayangkan saya menulis di Kompas,lho—saya senantiasa dilempar kembali ke dunia asing yang berbahasa Inggris itu.
Namun, terus-terang: berwajah Meksiko ada minusnya di lingkungan lain. Di imigrasi, misalnya: teman saya dianggap entah orang kere atau anggota kartel drug Meksiko. Maka, setiap kali lewat, petugas menggeledah seluruh tubuhnya, dan dia harus senyum. Sementara saya, meskipun membawa gaya borjo bule yang konon arogan—paling sedikit menurut sobat saya yang satu itu—saya tidak pernah ada masalah. Lewat begitu saja.
Namun, jangan dikira bahwa orang Madura tidak ada masalah. Orang Madura ada masalah justru karena koneksi Madura-nya. Ketika saya bertanya di mana mereka tinggal, mereka bilang di wilayah Monang Maning. Kenapa di Monang Maning?
Oleh karena di situ ada orang Madura lainnya. Ada info tentang tempat-tempat mana yang paling laris kalau memasang tenda berikut rombongnya. Ada juga pemuda-pemudi Madura, yang lebih suka para hijaber kaum hawa itu malu dan memilih sehari-hari bekerja di belakang rombong daripada perempuan Bali yang menyungsung banten untuk dihaturkan ke dewa entah yang mana. Begitulah. Tanda identitas.
Ya. Bagaimana dengan identitas saya?
Apakah terpenjara? Apakah saya keluar dari penjara itu ketika sedang melahap dengan nikmat bertusuk-tusuk sate Madura, buatan orang Madura, sambil bersendawa sepuas-puasnya. Bisa jadi saya terpenjara kembali ketika sedang melahap crepes Brittany flambée di daerah asal Perancis saya nun jauh di sana, tanpa boleh bersendawa. Atau apakah lebih baik memakan sate disusul oleh crepesflambée tanpa memikirkan apa-apa.
Saya garuk-garuk kepala. Selera Nusantara yang absurd…. He-he-he.