Selama beberapa minggu terakhir, ketegangan terjadi antara China dan Jepang. Keduanya bersitegang setelah Jepang membuang olahan air limbah Fukushima.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pada 12 tahun silam, gempa dan tsunami menghantam Jepang. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima terdampak. Bencana menghentikan suplai listrik sehingga sistem pendingin pembangkit rusak. Alhasil, reaksi nuklir terus terjadi. Tabung reaktor pun meleleh dan meledak. Untuk mendinginkannya, air dialirkan terus-menerus ke reaktor. Upaya ini memberi hasil. Namun, air pendingin tentu menjadi berbahaya karena terkontaminasi radioaktif. Pengolahan kemudian dilakukan terhadapnya selama bertahun-tahun.
Setelah dinyatakan mengandung materi radioaktif di bawah batas berbahaya sebagaimana hasil pemeriksaan tim Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), olahan air limbah Fukushima ini mulai dibuang ke Samudra Pasifik, 24 Agustus 2023. Pembuangan direncanakan berlangsung 30 tahun.
Sejumlah kalangan mengkritik langkah Jepang membuang olahan air limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima. Kelompok masyarakat sipil menilai olahan air limbah tetap merusak lingkungan hidup. Masyarakat di negara-negara Pasifik pun keberatan. Korea Selatan bersikap ”di tengah-tengah”. Pemerintah Korsel, seperti dikutip media Asia Nikkei, menerima keputusan Jepang sejauh sesuai aturan internasional. Seorang pejabatnya menyebut, Seoul tidak menolak atau tidak mendorong kebijakan itu. Masyarakat sipil Korsel dilaporkan mengkritik pembuangan limbah.
Pemerintah China paling keras menyuarakan penolakan terhadap kebijakan membuang olahan air limbah Fukushima. Impor hewan laut dari Jepang distop, padahal tahun lalu seperlima ekspor seafood Jepang menuju ke China. Bisa dibayangkan skala dampak yang ditimbulkan penghentian itu bagi industri perikanan di Jepang. Tak mengherankan, negara ini bersiap mengadukannya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Balai Kota Fukushima dilaporkan menerima ratusan telepon dari China. Hal itu memberikan gangguan serius. Pemerintah Jepang sampai harus memanggil Duta Besar China di Tokyo.
Ada dua hal yang bisa kita petik dari drama pembuangan olahan air limbah Fukushima. Pertama, isu limbah nuklir senantiasa sensitif. Masyarakat luas tidak mudah untuk menerima jaminan bahwa limbah radioaktif yang sudah diolah akan benar-benar aman.
Kedua, drama itu menunjukkan ”keterbelahan” yang dalam antara kubu Jepang dan China. Negara yang berada satu kubu dengan Jepang cenderung lunak dalam isu pembuangan olahan air limbah. Di dalamnya, selain Korsel, ada Amerika Serikat.
Di kubu yang berbeda, China bersikap sangat keras. Langkah Beijing menghentikan impor seafood dari Jepang kembali menegaskan bahwa ekonomi, dalam hal ini perdagangan, menjadi medan laga penting dalam persaingan geopolitik.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO