Anak Berkonflik dengan Hukum adalah Anak-anak Kita Juga
Ke depan, sebaiknya perlu dipikirkan proses hukum yang lebih sederhana. Tentu diiringi jaminan terhadap kerahasiaan identitas dari anak berkonflik dengan hukum.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Pada awal minggu ini, harian Kompas dan beberapa media dari KG Media memublikasikan liputan bertema anak berkonflik dengan hukum. Liputan yang menyuarakan suara mereka yang biasanya tak terdengar.
Setiap tahun, ribuan anak di negeri ini memang menjadi tahanan atau narapidana. Ini ironi ketika kini kita sedang mempersiapkan generasi emas 2045. Di tahun 2045 itu, Indonesia ditargetkan telah menjadi negara maju.
Liputan ”suara tak terdengar” minggu ini sesungguhnya mengulang liputan Kompas yang dipublikasikan pada Rabu (19/5/1971) di halaman 3. Terbit dengan judul ”Wadjah2 Muda Jang Mengetuk Hatinurani”, wawancara dilakukan di Lapas Khusus Anak-anak di Tangerang. Liputan yang membuka mata hati kita terkait realitas anak-anak terpidana yang selama ini jarang diketahui publik.
Lebih dari 50 tahun berselang, hati ini kembali bergetar mendengar suara mereka. Curahan hati seorang terpidana anak, GN (15), pada serial di Kompas, Senin (28/8/2023), membuat kita terenyak. Selama ini ternyata dia merasa tak berdaya akibat disudutkan oleh sejumlah pemberitaan media.
Bukan hanya identitasnya tersebar, GN (15) juga diincar media, bahkan mengalami perundungan di media sosial. Padahal, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengatur bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Sementara menurut UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, wartawan harus menaati KEJ.
Kerahasiaan identitas anak yang berkonflik dengan hukum idealnya memang terjaga untuk meminimalkan potensi stigmatisasi. Stigmatisasi sedapat mungkin harus ditekan oleh karena kita tentu ingin mereka dapat kembali ke masyarakat.
Jangan sampai akibat stigmatisasi, mereka justru ditolak oleh masyarakat dan malah menjadi penjahat yang lebih besar. Jangan lupa pula, ada banyak residivis di negeri ini yang menandakan lembaga pemasyarakatan kita belum sempurna.
Idealnya, fasilitas di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), lapas, dan lapas perempuan juga ramah terhadap anak. Setidaknya anak yang berkonflik dengan hukum tetap mendapatkan hak pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Persoalannya, terkadang proses hukum begitu panjang dan melelahkan sehingga proses belajar-mengajar menjadi terbengkalai.
Ke depan, sebaiknya perlu dipikirkan proses hukum yang lebih sederhana. Tentu diiringi jaminan terhadap kerahasiaan identitas dari anak berkonflik dengan hukum. Walau lebih baik lagi jika alternatif pemidanaan—yang tidak berupa pemenjaraan, yang diterapkan bagi anak-anak itu.
Dukungan dari orangtua dan lingkungan juga begitu penting. Mereka ini adalah anak-anak kita juga. Walau sayangnya, dari reportase Kompas, didapati masih ada banyak ”anak-anak hilang” yang kehilangan dukungan dari orangtua. Apabila hal itu terus terjadi, bagaimana mereka bisa menjadi anak yang kembali ke jalan yang benar?
Dari liputan Kompas tahun 1971 silam, terkait anak-anak terpidana, terungkap bahwa sebagian besar kejahatan mereka dipicu oleh putus sekolah, tidak fokus dalam sekolah, ketidakharmonisan dalam rumah tangga (hubungan orangtua) hingga kemiskinan. Kiranya, akar masalahnya tidak berubah. Apabila hal-hal itu dapat dibenahi, kiranya jumlah anak yang berkonflik dengan hukum dapat berkurang.