Polusi Udara Kota
Polusi udara di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, sangat memprihatinkan. Beberapa hasil penelitian tentang polusi udara dengan segala risikonya telah dipublikasikan, termasuk risiko kanker darah.
Sekitar 93 persen warga Jakarta Raya setiap hari harus menghirup udara berbahaya yang konsentrasi polutannya lima kali lebih besar daripada standar batas aman.
Kualitas udara Jakarta yang terus memburuk beberapa waktu terakhir membuat banyak warga khawatir. Konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 di Jakarta Raya mencapai 25 mikrogram per meter kubik, lima kali lebih besar daripada batas aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 mikrogram per meter kubik.
Yang lebih memprihatinkan, warga yang masuk kelompok rentan (perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, penyandang disabilitas, dan lain-lain) harus hidup di tengah udara di atas ambang batas aman, dan tidak menyadarinya.
Polusi udara merupakan salah satu persoalan lingkungan terbesar yang bisa menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Sayangnya, laporan ini menemukan masyarakat rentan, termasuk anak-anak (balita), orang lanjut usia, perempuan hamil, dan lain-lain, sedikit atau bahkan tidak sama sekali mendapat akses informasi dan data kualitas udara lokal jika dibandingkan dengan total populasi.
Polusi udara merupakan salah satu persoalan lingkungan terbesar yang bisa menimbulkan risiko terhadap kesehatan.
Polusi udara di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, sangat memprihatinkan. Beberapa hasil penelitian tentang polusi udara dengan segala risikonya telah dipublikasikan, termasuk risiko kanker darah. Namun, jarang disadari, berapa ribu warga kota yang meninggal setiap tahun karena infeksi saluran pernapasan, asma, ataupun kanker paru, akibat polusi udara kota.
Coba sempatkan menengok ke langit saat udara cerah, sejak pagi sampai sore hari. Langit di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia sudah tidak biru lagi. Udara kota telah dipenuhi jelaga dan gas-gas yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Diperkirakan dalam sepuluh tahun mendatang terjadi peningkatan sangat signifikan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan.
Infeksi saluran pernapasan akut kini menempati urutan pertama pola penyakit di beberapa wilayah di Indonesia. Jumlah penderita penyakit asma dan kanker paru juga meningkat.
Pengaruh terhadap kesehatan
Biang utama penyebab peningkatan penyakit tersebut adalah polusi udara kota. Penyumbang penting polusi udara kota ini adalah emisi kendaraan bermotor yang jumlahnya semakin banyak di jalanan.
Di kota-kota besar, kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70 persen. Sementara kontribusi gas buang dari cerobong asap industri 10-15 persen. Sisanya dari sumber pembakaran lain, misal dari rumah tangga, pembakaran sampah, dan kebakaran hutan.
Sebenarnya banyak polutan udara yang perlu diwaspadai, tetapi WHO menetapkan beberapa jenis polutan yang dianggap serius. Polutan udara yang berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, serta mudah merusak harta benda adalah partikulat yang mengandung partikel (asap dan jelaga) hidrokarbon, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida. Semua itu diemisikan oleh kendaraan bermotor.
WHO memperkirakan 70 persen penduduk kota di dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor, dan 10 persen sisanya menghirup udara yang bersifat ”marjinal”. Akibatnya fatal bagi bayi dan anak-anak. Orang dewasa yang berisiko tinggi, misalnya, adalah wanita hamil, orang usia lanjut, dan orang yang memiliki riwayat penyakit paru dan saluran pernapasan menahun.
Celakanya, para penderita ataupun keluarganya tak menyadari bahwa berbagai akibat negatif itu berasal dari polusi udara akibat emisi kendaraan. Polusi udara akibat kendaraan bermotor lebih banyak memengaruhi anak-anak daripada orang dewasa. Lebih parah lagi anak-anak dari keluarga miskin dengan kondisi gizi yang buruk.
Studi telah membuktikan, anak-anak yang tinggal di kota dengan tingkat polusi udara lebih tinggi mempunyai paru-paru lebih kecil, lebih sering tidak sekolah karena sakit, dan lebih sering dirawat di rumah sakit. Lebih rendahnya berat badan serta kecilnya organ-organ pertumbuhan pada anak-anak ini juga membuat risiko mereka lebih besar.
Belum lagi kebiasaan mereka, seperti mengisap sembarang benda yang tercemar atau bermain-main di jalanan yang dipenuhi asap kendaraan.
WHO memperkirakan 70 persen penduduk kota di dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi kendaraan bermotor, dan 10 persen sisanya menghirup udara yang bersifat ”marjinal”. Akibatnya fatal bagi bayi dan anak-anak.
Kita perlu belajar dari pengalaman negara lain dalam hal polusi udara kota ini. Pada 1990-an, di Cubatao, Brasil, terjadi tragedi lingkungan yang cukup fatal bagi bayi. Sebanyak 40 dari setiap 1.000 bayi yang lahir di kota itu meninggal saat dilahirkan, sedangkan 40 yang lain kebanyakan cacat atau meninggal pada minggu pertama hidupnya.
Pada kurun tahun tersebut, dengan 80.000 penduduk, Cubatao mengalami sekitar 10.000 kasus kedaruratan medis, meliputi penyakit tuberkulosis (TBC), pneumonia, bronkitis, emfisema, asma bronkiale, dan beberapa penyakit pernapasan lain.
Di kota metropolitan Athena, tingkat kematian melonjak 500 persen pada hari-hari yang paling dicemari. Kabut asap yang berasal dari kendaraan bermotor telah mengakibatkan ketidaknyamanan hidup di perkotaan, menimbulkan atau memperberat penyakit yang telah ada serta berakibat kematian.
Mengurangi emisi, mungkinkah?
Hampir seluruh masyarakat Indonesia tinggal di kawasan dengan konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 sebesar 5 mikrogram per meter kubik atau lebih, di atas ambang aman yang direkomendasikan WHO. Sekitar 10 persennya tinggal di wilayah dengan kadar PM 2,5 lima kali lipat ambang aman WHO.
Di Jakarta Raya, 93 persen total populasi diperkirakan terekspos udara dengan kadar PM 2,5 lima kali lebih besar daripada ambang aman. Ini merupakan yang terburuk di Indonesia. Di Banten, populasi yang terpapar mencapai 63 persen, di Sumatera Utara 57 persen, dan Jawa Barat 46 persen. Semua kelompok masyarakat rentan terpapar polusi udara di atas ambang aman WHO.
Mungkinkah polusi udara dikurangi? Tentu saja bisa asal ada kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah, berbagai sektor terkait, dan semua elemen masyarakat. Upaya paling mendesak untuk dilakukan adalah dengan menggunakan bahan bakar minyak yang rendah atau tanpa kandungan timah hitam, dan menggantinya dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, misalnya gas alam.
Hal itu disebabkan kandungan timah hitam sangat berbahaya bagi perkembangan otak bayi dan anak. Keterpaparan pada bahan kimia ini bisa mengurangi tingkat kecerdasan rata-rata bayi dan anak, menghambat pertumbuhan, mengurangi kemampuan mendengar dan bicara.
Kebijakan menarik yang pernah diterapkan di Buenos Aires pada tahun 1977 patut menjadi bahan pertimbangan untuk dilaksanakan meski pada awalnya harus dilakukan secara selektif.
Kendaraan pribadi dilarang memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota, mulai pukul 10.00 sampai pukul 19.00 pada hari-hari kerja. Bus dan taksi hanya diperbolehkan beroperasi di jalan-jalan tertentu. Larangan ini bukan hanya akan mengurangi kepadatan lalu lintas, melainkan juga menurunkan tingkat pencemaran udara pada level yang aman.
Di Roma, Firenze, Napoli, Bologna, dan Genoa, peraturan serupa telah pula diberlakukan. Dari pukul 07.30 sampai 19.30 hanya bus, taksi, kendaraan pengirim barang, dan mobil-mobil pemilik rumah di daerah itu yang boleh memasuki pusat kota. Kota Athena, Amsterdam, Barcelona, Budapest, dan Muenchen juga menerapkan larangan yang sama. Mengapa tidak dimulai di kota-kota besar kita?
Di beberapa kawasan kota yang padat kegiatan diberlakukan ”zona bebas mobil”, sebagai salah satu cara untuk mengurangi pencemaran udara.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menerapkan larangan parkir atau membatasi jumlah mobil yang boleh parkir di suatu daerah. Di beberapa kawasan kota yang padat kegiatan diberlakukan ”zona bebas mobil”, sebagai salah satu cara untuk mengurangi pencemaran udara. Penerapan aturan seperti ini di Eropa terbukti juga dapat menggalakkan pariwisata dan meningkatkan kualitas hidup.
Tahun 1990-an, Roma, Milan, Napoli, Torino, dan tujuh kota lain di Italia mencanangkan ”perang” terhadap pencemaran udara dengan membatasi jumlah mobil di jalan. Dalam peraturan ini, mobil berpelat nomor ganjil dilarang berjalan di satu hari, sedangkan mobil berpelat nomor genap dilarang keluar di hari berikutnya.
Banyak pengemudi yang merasa jengkel dengan adanya pengekangan ini, tetapi langkah ini ternyata mampu mengurangi polusi sebesar 20-30 persen.
Mengapa kita tidak mencoba menerapkan aturan serupa secara selektif? Tidak kalah penting adalah pengawasan secara ketat terhadap emisi dari kendaraan yang beroperasi di jalan raya. Perlu dilakukan uji emisi, dan kendaraan pribadi ataupun umum yang tidak memenuhi syarat dilarang beroperasi.
Perlu pembatasan usia kendaraan dan keharusan untuk memeriksa kendaraan secara rutin agar emisi gas buangnya dapat ditekan.
Baca juga : Polusi Udara Jakarta Tak Kunjung Reda
Pembenahan sektor transportasi
Mengatasi polusi udara kota tidak bisa dilakukan tanpa pembenahan sektor transportasi, tentu saja tanpa mengabaikan sektor lain. Dalam hal ini kita juga perlu belajar dari kota-kota besar lain di dunia, yang telah berhasil menurunkan polusi udara kota serta angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan hal itu.
Pemberian izin bagi angkutan umum kecil hendaknya lebih dibatasi, sedangkan kendaraan angkutan massal, seperti bus dan kereta api, diperbanyak. Demikian pula pembatasan usia kendaraan, terutama bagi angkutan umum. Semakin tua kendaraan, terutama yang kurang terawat, semakin besar pula kontribusi polutan udaranya.
Potensi terbesar polusi oleh kendaraan bermotor adalah kemacetan lalu lintas dan tanjakan. Pengaturan lalu lintas, rambu-rambu, serta tindakan tegas terhadap pelanggaran berkendaraan dapat membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan mengurangi polusi udara.
Praktik menghambat laju kendaraan di permukiman atau gang-gang yang sering diistilahkan dengan ”polisi tidur” juga bisa jadi biang polusi. Kendaraan bermotor akan memperlambat laju.
Uji emisi harus dilakukan secara berkala pada kendaraan umum ataupun pribadi meski secara uji petik (spot check). Perlu dipertimbangkan adanya kewenangan tambahan bagi polisi lalu lintas untuk melakukan uji emisi, di samping memeriksa surat-surat dan kelengkapan kendaraan yang lain.
Penanaman pohon yang berdaun lebar di pinggir-pinggir jalan, terutama yang lalu lintasnya padat, dan di sudut-sudut kota, juga akan bisa mengurangi polusi udara.
Anies Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang