Mengatasi 12,7 Juta "Backlog” Perumahan
Kesenjangan kebutuhan hunian masih terbentang lebar. Pemerintah, perbankan, dan pengembang harus berkolaborasi menaikkan kapasitas produksi rumah dua kali lipat dari kapasitas sekarang yang 500.000 rumah per tahun.
Di usia 78 tahun kemerdekaan RI, penyediaan rumah bagi rakyat masih menjadi tantangan besar, tecermin dari masih adanya backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan) sebanyak 12,7 juta rumah.
Pada pembukaan Kongres Perumahan Sehat di Bandung, 25-30 Agustus 1950, Wakil Presiden RI Bung Hatta mencita-citakan, dalam 50 tahun, bangsa Indonesia sudah merdeka dari pemenuhan kebutuhan atas perumahan. Namun, faktanya, hingga kini angka backlog perumahan masih sangat tinggi, mendekati 13 juta rumah. Tanggal 25 Agustus ini kita memperingati Hari Perumahan Nasional Ke-15. Saat yang tepat untuk membahas bagaimana kita menjawab tantangan terkait backlog perumahan ini.
Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan pelayanan kesehatan”. Dengan amanat UUD 1945 itu, menjadi kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang tak hanya murah dan terjangkau, tetapi juga layak huni dan sesuai standar kesehatan.
Presiden Joko Widodo saat Pembukaan Musyawarah Nasional Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) XVII 2023 di Jakarta, (Kompas, 9/8/2023), mengakui adanya backlog 12,71 juta unit rumah. Sementara laju pertumbuhan keluarga baru yang membutuhkan rumah berkisar 700.000- 800.000 keluarga per tahun. Padahal, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan, realisasi Program Satu Juta Rumah, sejak 2015 dicanangkan hingga 2022, sudah mencapai 7,99 juta unit rumah.
Baca juga : Presiden: Bantu Rakyat Punya Hunian Layak
Ini artinya, kesenjangan kebutuhan hunian masih terbentang lebar. Pengembang yang tergabung dalam REI maupun masyarakat atau konsumen belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tinggal bagi rakyat. Untuk itu, Presiden meminta REI terus memperkuat kolaborasi dengan pemerintah dalam hal penyediaan perumahan. Presiden juga meminta bantuan REI agar rakyat kecil dapat memiliki hunian yang sehat dan layak.
Realitas ibu kota negara
Laporan Kompas beberapa waktu lalu menyebutkan, banyak keluarga muda (milenial) dan generasi Z, bahkan wong cilik, belum mampu memiliki rumah sendiri. Masalahnya bukan hanya karena harga rumah yang selangit, melainkan juga karena daya beli rendah untuk dapat menjangkau, sekalipun melalui kredit pemilikan rumah (KPR) yang katanya murah.
Sebaliknya, pengembang, yang tergabung dalam REI, juga tak mudah mewujudkan hunian layak berkualitas. Kesulitannya terkait dengan kepemilikan lahan, perizinan yang berbelit, harga material bangunan yang terus merangkak naik, dan sulitnya akses permodalan bank.
Untuk rumah tapak (landed house), kendalanya adalah mahalnya harga lahan. Sementara jika membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, keuntungan dinilai tak sepadan dengan risiko bisnisnya.
Sulitnya penyediaan rumah rakyat tergambar di DKI Jakarta sebagai ibu kota negara. Menurut Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, terdapat 1,77 juta rumah tangga dari sekitar 2,5 juta rumah tangga di Jakarta yang belum memiliki rumah sehat dan layak huni.
Banyak keluarga baru, yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masih menumpang pada rumah orangtuanya. Juga masih banyak wong cilik yang tinggal di kolong jembatan dan bantaran kali atau berimpit-impitan di perkampungan kumuh.
Sesuai UUD 1945, yang dituangkan dalam berbagai ketentuan perumahan, yang disebut rumah sehat dan layak huni bagi rakyat adalah minimal 7,2 meter persegi per kapita dengan bahan material yang cukup berkualitas. Selain itu, terdapat akses air minum dan sanitasi juga harus layak.
Peran sektor properti
Sektor properti memiliki kontribusi penting terhadap perekonomian nasional, menyumbang 16 persen atau Rp 2.800 triliun dari PDB Indonesia yang mencapai Rp 17.500 triliun pada 2022. Setiap tahun kontribusi ini terus meningkat.
Begitu juga omzet (nilai output perekonomian sektor properti) yang berkisar Rp 4.740 triliun-Rp 5.780 triliun per tahun selama kurun 2018-2022. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, peran sektor properti juga cukup signifikan, yakni 17 juta atau sekitar 10,2 persen dari 165 juta lapangan kerja nasional.
Bisnis properti juga berpengaruh positif terhadap pengurangan tingkat kemiskinan hingga 7,8 persen.
Mengapa 25 tahun reformasi angka backlog justru meningkat dari 5,3 juta rumah (1998) menjadi 12,7 juta sekarang ini?
Kritik kelembagaan dan fasilitas
Perwujudan tanggung jawab negara dalam memenuhi amanat UUD 1945 terkait penyediaan perumahan bagi rakyat seharusnya dapat dicapai melalui regulasi dan organisasi atau kelembagaan jika regulasi dan kelembagaan itu tidak bolak-balik diubah atau berganti-ganti. Dengan demikian, kementerian terkait bisa fokus dalam bekerja secara konsisten dan terarah.
Dengan penggabungan dua bidang di Kementerian PUPR seperti sekarang, misalnya, upaya mengatasi backlog menghadapi tantangan. Kementerian PUPR saat ini lebih fokus pada pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bendungan dan irigasi, sehingga urusan perumahan rakyat tak lagi secara terfokus dan terarah ditangani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memberi keterangan soal APBN 2023 mengungkapkan, pemerintah menggelontorkan Rp 203,5 triliun untuk pembangunan dan perawatan jalan nasional, jalan daerah, jalan tol, dan pembangunan jembatan. Sementara untuk subsidi perumahan 2023 ditetapkan hanya 274.924 unit senilai Rp 34,17 triliun.
Belajar dari pengalaman ini, sebaiknya Kementerian Perumahan Rakyat berdiri sendiri setelah Pemilu 2024.
Regulasi dan kelembagaan yang terus berubah-ubah tidak hanya terjadi kali ini. Akibatnya, tidak ada kesinambungan dari kebijakan, termasuk apa yang sudah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sektor properti memiliki kontribusi penting terhadap perekonomian nasional, menyumbang 16 persen atau Rp 2.800 triliun dari PDB Indonesia yang mencapai Rp 17.500 triliun pada 2022.
Pada 1924, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan tentang Perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil (Burgelijk Woning Regeling/BWR), yang mendorong penyediaan perumahan bagi PNS dalam lingkup perumahan.
Selain perumahan, Hindia Belanda juga menata kota modern yang mengacu pada model kota-kota di Eropa dalam lingkup pekerjaan umum (PU). Tak hanya kota, pemerintah juga melakukan perbaikan kampung (kampung verbetering) bagi warga dan penyuluhan tentang rumah sehat serta penanggulangan penyakit di daerah perkampungan.
Dalam sejarahnya di awal kemerdekaan hingga Orde Baru, pengurusan perumahan kita tak pernah fokus dan terarah.
Departemen PU yang dibentuk Presiden Soekarno di awal kemerdekaan fokus pada penanganan perumahan rakyat dan pemeliharaan gedung peninggalan Belanda. Namun, dengan UU Darurat No 3/1958 tentang Perumahan bagi Rakyat, urusan perumahan pernah diserahkan kepada Departemen Sosial.
Melihat tugas pengadaan perumahan rakyat tak efektif, urusan perumahan dikembalikan ke Departemen PU. Namun, nomenklatur PU ditambah urusan infrastruktur kelistrikan. Perubahan itu didasarkan pada Keppres No 18/1969 yang mengubah dan sekaligus memperkuat kewenangan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik di urusan perumahan rakyat dan kelistrikan.
Di era Orde Baru, untuk pertama kalinya urusan perumahan rakyat ditangani departemen tersendiri dan dijabat Menteri Muda Perumahan Rakyat.
Selanjutnya, pada 1983, urusan perumahan ditingkatkan lagi menjadi Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Bahkan, urusan perumahan rakyat pernah dikelola bersama tiga menteri dalam Surat Keputusan Bersama (SKB), yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Perumahan Rakyat.
Fokus kelembagaan untuk penanganan perumahan tetap dikembangkan pada 1998, melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan Permukiman.
Di era Reformasi, dengan pertimbangan efisiensi, Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan Departemen Pekerjaan Umum dilebur menjadi Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah.
Perubahan nomenklatur kembali terjadi tahun berikutnya. Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah berubah jadi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Pada tahun 2004, urusan perumahan dipecah lagi dengan dibentuknya secara khusus Kementerian Perumahan Rakyat.
Namun, pemisahan Departemen PU dan PR dinilai tak efektif dan efisien sehingga digabung lagi menjadi Kementerian PUPR.
Konsistensi dari pengembang properti selama ini dinilai memiliki andil cukup besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Dengan PDB yang semakin besar, dan perekonomian yang sudah pulih pasca-Covid-19, angka backlog perumahan seharusnya juga semakin berkurang.
Pemerintah, perbankan, dan pengembang harus berkolaborasi untuk menaikkan kapasitas produksi rumah hingga dua kali lipat dari kapasitas sekarang yang 500.000 rumah per tahun, agar bisa mengatasi backlog perumahan yang masih 12,7 juta unit.
Jika tidak ada langkah terobosan, angka backlog akan terus bertambah. Hal ini disebabkan kemampuan untuk membangun rumah setiap tahun hanya 220.000-240.000 unit, atau sekitar sepertiga dari kebutuhan rumah setiap tahun yang berkisar 700.000-800.000 unit.
Salah satu terobosan agar tak ada lagi backlog pada 2045 adalah dengan membangun perumahan rakyat minimal 1,3 juta hingga 1,5 juta unit per tahun.
Panangian Simanungkalit Pengamat Properti