Obyektifkah Bank Dunia Menilai Indeks Kinerja Logistik Indonesia?
Indeks Kinerja Logistik Indonesia (LPI) tahun 2023 turun dibandingkan 2018. Penurunan LPI ini mengesankan seolah hasil pembangunan tidak punya arti untuk meningkatkan kinerja logistik. Bagaimana menyikapi hal ini?

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan protes karena Bank Dunia pada 2023 mendudukkan Indeks Kinerja Logistik Indonesia pada peringkat ke-63 dari 139 negara, turun dari tahun 2018 yang berada di peringkat ke-46 dari 160 negara (Kompas, 19/7/2023).
Kemarahan yang wajar mengingat penurunan Indeks Kinerja Logistik (LPI) Indonesia sampai 17 tingkat ini mengesankan seolah hasil pembangunan yang ada di bawah koordinasinya tidak punya arti apa-apa untuk meningkatkan kinerja logistik Indonesia.
LPI dan daya saing
Bank Dunia mengukur LPI dengan melakukan survei pada dunia usaha, baik pelaku maupun pengguna, dengan memberi nilai 1-5 (1 adalah kurang dan 5 adalah baik) pada bea cukai (custom), sarana dan prasarana (infrastructure), pengiriman barang ke luar negeri (international shipment), ketepatan jadwal (timeliness), kemampuan mengelola logistik (logistic competence), dan penelusuran dan pelacakan barang (tracking and tracing).
Dari hasil survei ini, setelah diolah, skor keseluruhan LPI Indonesia tahun 2023 adalah 3,0. Turun dari tahun 2018 yang sebesar 3,15. Jika melihat lebih rinci pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun 2018, unsur infrastruktur skornya tetap, unsur bea cukai skornya meningkat, tetapi empat unsur lain skornya menurun sehingga akhirnya menyebabkan skor keseluruhan LPI menurun.
Baca juga: Saat Percepatan Infrastruktur Versus Paradoks Penurunan Kinerja Logistik
Peringkat di IMD naik
Berbeda dengan Bank Dunia, International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Center mendudukkan daya saing ekonomi Indonesia pada tahun 2023 di peringkat ke-34 dari 64 negara yang dipilih dan diteliti secara mendalam. Peringkat Indonesia itu naik 10 peringkat dari 2022 yang berada di peringkat ke-44.
Penilaian daya saing ini berdasarkan empat unsur, yakni kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi usaha, dan sarana dan prasarana/infrastruktur, berdasarkan lebih dari 300 kriteria. Dua pertiga data yang digunakan berupa data statistik yang bisa diperbandingkan secara internasional dan sepertiga merupakan data survei pendapat eksekutif.
Menarik kalau melihat perubahan peringkat dalam satu tahun. Kinerja ekonomi dalam satu tahun bisa naik 13 tingkat (tahun 2022-2023) atau turun sembilan peringkat (2020- 2021). Efisiensi pemerintahan dalam satu tahun bisa turun sembilan peringkat (tahun 2021-2022) dan naik lima peringkat (tahun 2020-2021).

Kesibukan aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/9/2022). Proyeksi kenaikan suku bunga negara-negara maju pada 2023 dapat berdampak pada kinerja ekspor Indonesia dan konsumsi domestik.
Efisiensi usaha dalam satu tahun bisa turun dan naik 11 tingkat (tahun 2019-2020 dan 2022-2023), sedangkan infrastruktur naik-turunnya peringkat sangat kecil, paling besar naiknya lima peringkat (tahun 2021-2022). Hal ini bisa terjadi karena pembangunan infrastruktur membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk bisa berdampak, sementara suatu kebijakan bisa berdampak langsung terhadap peningkatan ataupun penurunan efisiensi pemerintahan, efisiensi usaha, dan kinerja ekonomi.
Salah satu hal yang menarik dari apa yang dilakukan Bank Dunia dalam menilai kinerja logistik dan IMD dalam memeringkat daya saing ekonomi adalah keduanya memperhitungkan unsur infrastruktur.
Penilaian infrastruktur pada LPI lebih banyak terkait dengan kondisi dan kinerja pelabuhan, bandara dan jalan, kereta api, pada pelaku dan pengguna, dengan lebih fokus lagi untuk angkutan ekspor-impor. Pada 2023, nilai atau skor infrastruktur hanya 2,90, di bawah nilai LPI secara keseluruhan yang 3,00.
Penilaian infrastruktur pada daya saing ekonomi Indonesia itu terdiri dari infrastruktur dasar (basic infrastructure), infrastruktur teknologi (technological infrastructure), infrastruktur ilmu pengetahuan (scientific infrastructure), kesehatan dan lingkungan (health and environment), pendidikan (education).
Dari penilaian yang sangat kompleks berdasarkan data statistik yang bisa diperbandingkan dan hanya sepertiga berdasarkan survei pendapat eksekutif itu disimpulkan bahwa infrastruktur Indonesia ada di posisi ke-51 dari 64 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing ekonomi Indonesia yang berada di posisi ke-34 pada 2023.
Artinya, infrastruktur bukan merupakan unsur yang mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, tetapi justru menjadi beban dalam daya saing ekonomi Indonesia. Namun, jika dicermati, infrastruktur dasar Indonesia pada 2023 berada di posisi ke-26, jauh di atas daya saing ekonomi Indonesia yang berada di posisi ke-34 dan juga jauh di atas posisi infrastruktur yang berada di posisi ke-51.
Artinya, infrastruktur bukan merupakan unsur yang mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, tetapi justru menjadi beban dalam daya saing ekonomi Indonesia.
Infrastruktur dasar ini hampir sama dengan apa yang dinilai di LPI Bank Dunia karena mencakup infrastruktur jalan (road), jalan kereta api (rail road), transportasi udara (air transportation), kualitas transportasi udara (quality of air transportation), dan infrastruktur distribusi (termasuk pelabuhan). Sementara peringkat infrastruktur yang lain, seperti infrastruktur teknologi, infrastruktur ilmu pengetahuan, kesehatan dan lingkungan, dan pendidikan, masing-masing di posisi ke-35, ke-49, ke-58, dan ke-57.
Seberapa obyektif?
Sebenarnya Menko Kemaritiman dan Investasi tak perlu marah terhadap penilaian LPI yang turun 17 peringkat mengingat nilai infrastruktur masih bertahan 2,90 dan peringkat infrastruktur dasar yang ke-26 juga jauh di atas daya saing ekonomi Indonesia yang berada di posisi ke-34. Pertanyaan mendasarnya, seberapa obyektif penilaian LPI Indonesia oleh Bank Dunia?
Menurut penulis, IMD lebih obyektif karena dua pertiga data statistik yang bisa diperbandingkan digunakan dalam memberikan peringkat suatu negara, sementara LPI hanya terbatas pada hasil survei sehingga besar kemungkinan responden satu negara dengan negara yang lain tidak sama sehingga obyektivitasnya juga masih diragukan.
Pengukuran sendiri
Indonesia seharusnya tidak perlu menghiraukan penilaian Bank Dunia soal LPI karena LPI yang disusun Bank Dunia bias terhadap angkutan ekspor-impor. Bank Dunia menyatakan bahwa tahun 2011 rasio biaya logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia adalah 24,64 persen dan peringkat LPI Indonesia tahun 2010 adalah di posisi ke-75 dan tahun 2012 di posisi ke-59.
Apakah peringkat LPI Indonesia menurut Bank Dunia bisa memengaruhi rasio biaya logistik per PDB Indonesia? Belum ada kejelasan dan perlu diteliti lebih jauh. Namun, yang jelas, jika rasio biaya logistik per PDB tinggi, artinya biaya logistik di Indonesia mahal.
Oleh karena itu, sudah tepat bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional dicanangkan target rasio biaya logistik per PDB 2025 sebesar 12,64 persen.

Pembangunan jalan tol semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo dibeberkan dalam webinar bertajuk “Sustainable Smart Road and Bridge” di Jakarta, Rabu (12/10/2022). Semakin banyaknya jalan yang terkoneksi membuat kelancaran arus barang semakin masif.
Beberapa negara menghitung rasio biaya logistik per PDB dengan cara masing-masing. Di AS, rasio biaya logistik per PDB tahun 2001 dan 2018 adalah 10,5 persen dan 8 persen, dan dihitung oleh CASS Information System Inc. Ada tiga unsur yang dihitung, yakni biaya transportasi, biaya persediaan, dan biaya administrasi.
Contoh lain, Korea Selatan menugaskan Korea Transport Institute (KTI) untuk menghitung rasio biaya logistik per PDB dengan enam unsur yang dihitung, yakni biaya transportasi, biaya persediaan, biaya pembungkusan (packaging), biaya bongkar muat, biaya informasi, dan biaya administrasi. Hasilnya, rasio biaya logistik per PDB Korea Selatan tahun 2016 adalah 9,7 persen.
Target rasio biaya logistik per PDB Indonesia tahun 2025 sebesar 12,4 persen pada Perpres No 26/2012 sebetulnya cukup wajar mengingat di AS 8 persen dan Korea Selatan 9,7 persen. Untuk itu, Indonesia perlu menetapkan lembaga untuk menghitung biaya logistik per PDB. Bisa juga pemerintah membentuk lembaga independen, atau menunjuk Badan Pusat Statistik, untuk menghitung biaya logistik agar tidak menambah lembaga baru.
Tentang unsur apa yang mau dihitung dan bagaimana menghitung biaya logistik perlu ada kesepakatan bersama antara BPS dan para ahli logistik, baik yang berasal dari praktisi maupun dari perguruan tinggi/akademisi. Harapannya, lembaga penghitung biaya logistik ini bisa menemukenali apa yang menyebabkan biaya logistik tinggi dan apa yang bisa diusulkan untuk penurunannya.
Jika ini bisa dilakukan, penilaian LPI Bank Dunia menjadi tidak penting lagi sepanjang penilaian kinerja logistik (rasio biaya logistik per PDB) semakin rendah dan rendahnya biaya logistik tersebut juga dirasakan masyarakat.
Jika rasio biaya logistik per PDB Indonesia bisa ditekan hingga di bawah 10 persen, bisa dikatakan Indonesia sudah mendekati negara-negara maju seperti AS dan Korsel.
Petrus Sumarsono, Perencana Ahli Utama, Bappenas