Negeri Opera Sabun
Wacana Pemilu 2024 semakin mewarnai ruang publik. Namun, apabila obrolan pemilu hanya sebatas gerak-gerik elite politik, akhirnya menenggelamkan masalah serius yang mendera negeri ini. Politik seperti opera sabun belaka.
Di negeri ini, segala perkara dapat dengan cepat berubah menjadi tontonan bersama. Mulai dari drama televisi sampai pertandingan olahraga; dari perilaku rakyat sampai intrik antarpejabat publik.
Apa pun dapat dikemas menjadi sandiwara yang memantik emosi kolektif warga. Inilah negeri yang penduduknya begitu gemar menyaksikan opera sabun.
Warga yang antusias tidak sekadar menjadi penonton pasif. Ada yang rajin menulis komentar panjang lengkap dengan analisis spekulatif. Ada yang tak pernah lelah meneruskan pesan berantai dari satu grup media sosial ke grup lainnya. Tak sedikit pula yang membentuk komunitas luring berdasarkan ikatan emosional pada tokoh tertentu.
Inilah yang juga terjadi menjelang Pemilu 2024. Obrolan politik kian mewarnai sudut-sudut restoran, meja-meja kantor, dan teras-teras rumah. Grup-grup Whatsapp pun kembali riuh dengan video, gambar, dan pesan panjang yang sarat muatan politis. Setiap kata, isyarat, dan perjumpaan elite politik dikupas habis, ibarat para remaja yang asyik memperbincangkan sosok protagonis dan antagonis dalam drama kesayangan mereka. Bukankah semua ini menandakan aspirasi demokrasi sedang berdenyut kencang di negeri ini?
Ketika percakapan hanya terpusat pada gerak-gerik elite politik, biasanya tidak ada lagi pembahasan mengenai faktor-faktor struktural yang membentuk kontur arena tempat para politisi berlaga.
Antara struktur dan aktor
Boleh jadi memang keramaian ini mengungkapkan antusiasme politik warga. Namun, apabila yang dibicarakan hanya sebatas gerak-gerik elite politik, segala riuh rendah bulan-bulan ke depan ini akhirnya hanya akan menenggelamkan masalah serius yang mendera negeri ini. Politik seperti opera sabun belaka yang miskin substansi dan solusi.
Ketika percakapan hanya terpusat pada gerak-gerik elite politik, biasanya tidak ada lagi pembahasan mengenai faktor-faktor struktural yang membentuk kontur arena tempat para politisi berlaga. Padahal, aktor politik sehebat apa pun tak lepas dari parameter-parameter struktural yang memampukan sekaligus membatasi aksinya (Hall, 2016).
Batasan-batasan ini adalah hasil dari beragam proses sosiologis yang tumpang-tindih di sepanjang lintasan sejarah. Darinya lahir identitas etnik-keagamaan, persilangannya dengan kelas sosial-ekonomi tertentu di masyarakat, serta struktur kelembagaan suatu negara. Setiap aktor politik ada di dalamnya, bermanuver di dalamnya, serta berhasil dan tersungkur di dalamnya.
Elite politik tentu bukan tanpa daya. Ia tetaplah seorang agen dengan kuasa dan kebebasan. Namun, kecuali di titik-titik kritis sejarah (critical junctures) saat badai perubahan menegasi faktor-faktor struktural dan melambungkan daya agensi (Capoccia dan Kelemen, 2007), kebebasan aktor politik tetaplah terbatas. Manuvernya hanya sebatas jalur-jalur yang telah dibentuk oleh endapan pelbagai proses historis. Dengan perkataan lain, di luar masa kritis, perubahan tidaklah semudah yang dijanjikan para politisi, pun jika perawakan dan tutur katanya begitu memikat hati.
Alih-alih hanya membicarakan siasat aktor politik, perspektif makro-historis ini berupaya menempatkan interaksi strategis mereka dalam matriks kekuasaan yang dibentuk oleh interaksi berbagai faktor struktural.
Ambil sebuah contoh. Maraknya politik uang boleh jadi bukan semata-mata karena buruknya moral politisi, tetapi karena penerapan sistem proporsional terbuka yang menempatkan para calon legislator dalam kompetisi amat ketat dengan rekan dari partai yang sama. Mereka terdorong untuk meyakini bahwa politik uang bisa memberikan selisih tipis yang mereka butuhkan untuk meraih kemenangan (Muhtadi, 2019).
Perkara ini, dan banyak perkara semacamnya, tak muncul dalam pembahasan apabila percakapan politik hanya terarah pada interaksi para elite.
Kewargaan realistis
Perspektif di atas tidak dimaksudkan untuk mempertebal sikap apatis terhadap politik yang sudah tumbuh dalam diri sebagian penduduk negeri ini.
Demokrasi di Indonesia memang jauh dari sempurna. Namun, apabila dilihat dengan perspektif komparatif, stabilitas demokrasi yang dialami Indonesia selama lebih dari dua puluh tahun terakhir merupakan pencapaian tersendiri yang layak untuk terus diperjuangkan.
Lagi pula, stagnasi atau regresi demokrasi yang dialami Indonesia bukanlah sekadar perkara tiadanya aktor yang berkehendak baik. Namun, boleh jadi ini adalah harga yang harus dibayar dari keberhasilan demokratisasi di Indonesia (Aspinall, 2010).
Demokratisasi berhasil persis karena aktor-aktor politik, bisnis, dan militer yang dapat menggagalkan peralihan sistem politik diberi ruang untuk terus berpartisipasi dalam mekanisme demokrasi. Masing-masing lalu membentuk faksi atau dinastinya sendiri, sementara warga kebanyakan dijadikan penonton.
Demokratisasi berhasil persis karena aktor-aktor politik, bisnis, dan militer yang dapat menggagalkan peralihan sistem politik diberi ruang untuk terus berpartisipasi dalam mekanisme demokrasi.
Kalau demikian, apakah perubahan yang secara politis masuk akal untuk diperjuangkan warga Republik saat ini?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak dapat muncul apabila penduduk negeri ini terus menjadikan proses politik, terlebih Pemilu 2024, sebagai pertunjukan tayang kenyataan yang hanya melibatkan penontonnya saat proses pengambilan suara berlangsung.
Apabila ini yang terus terjadi, Pemilu 2024 hanya akan menjadi sebuah opera sabun kolosal yang tak akan banyak mengubah nasib kebanyakan warga. Boleh jadi ini mungkin tetap lebih baik daripada hidup di bawah rezim otoriter. Namun, nasib sebuah negeri tentu terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya pada seorang individu atau partai.
Pendidikan politik
Sebagai langkah awal mencari jawaban atas pertanyaan di atas, diskusi-diskusi mendalam yang menegaskan lagi peran warga dalam sebuah republik perlu diangkat secara serius. Warga republik bukan sekadar kerumunan orang, apalagi penonton opera sabun. Sudah sejak ide tentang res publica lahir, para pemikirnya menekankan bahwa warga republik adalah orang-orang yang diikat kesepakatan untuk mengejar kemaslahatan bersama. Mereka adalah orang-orang yang mau terlibat dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Inisiatif semacam ini tentu tidak akan menghasilkan perubahan seketika di tataran struktural. Politik adalah proyek raksasa, yang detail-detail substansinya tidak selalu kelihatan dengan gamblang dalam lintasan sejarah. Sekurang-kurangnya, diskusi seperti itu dapat menghidupkan dua proses saling beriring.
Pertama, ini menjadi pendidikan politik warga yang pada gilirannya dapat membuka jalan bagi proses kedua, yaitu penyampaian aspirasi warga dan tuntutan pertanggungjawaban para elite politik. Tanpanya, proses politik negeri ini akan semakin kehilangan substansi intelektualnya. Bukan penikmat opera sabun yang dapat menyelamatkan negeri ini, melainkan warga republik yang mengerti peran politiknya dan mau terlibat dalam percakapan serius tentang masa depan bangsanya.
Angga Indraswara,Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di The London School of Economics and Political Science