Keselamatan pasien harus menjadi prioritas paling atas rumah sakit, termasuk yang tidak menyebabkan cedera. Dengan demikian, kejadian bayi tertukar dan kejadian tidak diharapkan lainnya tidak terjadi.
Oleh
KHOIRUL FAHMI
·4 menit baca
Baru-baru ini, kasus bayi yang tertukar di Bogor ramai diberitakan berbagai media massa. Penyebabnya sebenarnya sepele, yakni ada dua gelang bayi yang bernama sama. Gelang ini dipakaikan ke dua bayi, yang kemudian diyakini tertukar ketika diserahkan ke orangtuanya. Kasus ini masih dalam penyelidikan.
Meski sepele, dalam dunia kedokteran, kejadian seperti ini termasuk dalam kejadian tidak diinginkan (KTD) yang dikategorikan sebagai kejadian sentinel. Kejadian sentinel didefinisikan sebagai kejadian tidak diharapkan yang menyebabkan kematian atau cedera serius. Terjadinya kejadian sentinel menunjukkan adanya sasaran keselamatan pasien yang tidak terpenuhi.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1.691 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit disebutkan salah satu sasaran keselamatan pasien adalah ketepatan identifikasi pasien. Untuk memastikan identifikasi pasien sudah tepat, tenaga medis harus mengecek sebanyak dua kali. Pengecekan pertama terkait identifikasi pasien yang hendak menerima pelayanan dan pengecekan kedua terkait kesesuaian pelayanan yang diberikan terhadap pasien tersebut.
Identifikasi pun dilakukan minimal dengan dua identitas pasien. Identitas yang dimaksud meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis, gelang pasien, barcode, dan lain-lain. Apabila yang diidentifikasi adalah pasien baru lahir, identifikasi dapat dilakukan dengan memastikan nama ibu pasien yang tertera di gelang dan nomor rekam medisnya sudah sesuai. Kasus tertukarnya bayi ini mengindikasikan identifikasi pasien seperti di atas tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
Bias tugas
Setiap rumah sakit diwajibkan memiliki Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS). Di lapangan, TKPRS ini merangkap tugas sebagai penjamin mutu sehingga sering kali disebut Komite PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien). Tim ini terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur profesi kesehatan di rumah sakit. TKPRS atau Komite PMKP bertugas membuat standard operating procedure (SOP) pelayanan dan menyosialisasikannya ke seluruh tenaga kesehatan yang bertugas.
Komite PMKP juga ditugaskan untuk menyelenggarakan pelatihan secara berkala. Selain itu, Komite PMKP juga perlu mengawal dijalankannya SOP ini dengan cara memotivasi, edukasi, konsultasi, monitoring, dan evaluasi. Jika terjadi insiden keselamatan pasien, Komite PMKP wajib mencatat, melaporkan, serta mencari solusi atas insiden tersebut.
Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien menjadi sebuah poin penting dalam penilaian akreditasi rumah sakit. Akreditasi rumah sakit kemudian menjadi syarat operasional rumah sakit. Semakin baik nilai akreditasi, semakin baik pula jaminan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit tersebut. Maka dari itu, Komite PMKP memiliki peran teramat penting dalam akreditasi rumah sakit.
Rumah sakit perlu memberi kelonggaran tugas pelayanan pada komite PMKP sehingga anggotanya tidak dibebani tugas pelayanan sebanyak sejawatnya.
Sayangnya, Komite PMKP ini sering kali tidak berjalan optimal karena anggotanya memiliki tugas ganda, yakni tugas profesinya sebagai garda depan pelayanan pasien dan tugas komite PMKP. Tenaga kesehatan di rumah sakit biasanya bekerja dengan sistem sif. Terkadang mereka masuk sif pagi, sore, atau malam. Sistem sif seperti ini sering kali menyulitkan tenaga medis untuk menjalankan tugasnya sebagai Komite PMKP.
Maka, penting sekali bagi rumah sakit untuk mengoptimalisasi tugas komite PMKP dengan memfokuskan kinerja anggotanya untuk komite PMKP. Rumah sakit perlu memberi kelonggaran tugas pelayanan pada komite PMKP sehingga anggotanya tidak dibebani tugas pelayanan sebanyak sejawatnya.
Sebagai gantinya, pihak rumah sakit sebaiknya memberi insentif yang layak pada anggota komite PMKP. Insentif ini dapat berbentuk gaji yang lebih besar atau kemudahan naik jabatan. Insentif ini amat penting mengingat bagi banyak tenaga kesehatan, pendapatan dari jasa medis atau jasa pelayanan lebih besar daripada besaran gaji pokok. Adanya pengurangan beban tugas pelayanan dan insentif diharapkan dapat membuat kinerja PMKP lebih optimal.
Jangan ”ABS”
Meski penting, Komite PMKP tidak bisa berjalan dengan baik tanpa dukungan dari direksi rumah sakit. Penelitian yang dilakukan Gunawan dan kawan-kawan di sebuah rumah sakit di Malang menunjukkan adanya perbedaan antara data insiden keselamatan pasien yang terjadi dan data yang dilaporkan.
Pada penelitian tersebut, Gunawan mengungkapkan, insiden keselamatan pasien yang tidak menyebabkan cedera, seperti kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian potensi cedera (KPC), dan kejadian tidak cedera (KTC), cenderung tidak dilaporkan. Padahal, data KNC, KPC, dan KTC ini penting sekali untuk dijadikan bahan evaluasi rumah sakit sehingga KTD dapat dihindarkan.
Komite PMKP dan tenaga kesehatan, dalam penelitian tersebut, mengaku takut untuk melaporkan insiden keselamatan pasien apa pun bentuknya. Hal ini disebabkan adanya hukuman dari pimpinan jika diketahui bawahannya melakukan kesalahan dan adanya stigma tidak kompeten yang mungkin diberikan oleh teman sesama karyawan rumah sakit. Mereka juga malu apabila kesalahan tersebut dipresentasikan dan menjadi bahan kajian.
Dunia kedokteran memang dianggap tidak memiliki ruang untuk kesalahan. Namun, kesalahan tentu merupakan sebuah keniscayaan karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kesalahan juga dapat menjadi pelajaran supaya tidak terulang atau menjadi kesalahan yang lebih fatal di kemudian hari. Pimpinan rumah sakit perlu sekali memberikan rasa aman dengan tidak menyalahkan pelaporan adanya insiden keselamatan pasien. Penting pula untuk memberikan insentif pada mereka yang melaporkan supaya tercipta keterbukaan di lingkungan kerja.
Komunikasi terbuka juga amat penting diterapkan di lingkungan rumah sakit. Setiap tenaga kesehatan mestinya memiliki hak yang sama untuk didengarkan dan diterima pendapatnya. Tidak peduli apakah ia perawat, dokter, dokter spesialis, apoteker, radiografer, laboran, atau karyawan lain, semua lini harus saling terbuka terutama apabila ada kesalahan yang diperbuat. Setiap orang pun harus legowo untuk menerima feedback dan senantiasa lebih baik lagi dalam bekerja.
Keselamatan pasien harus menjadi prioritas paling atas rumah sakit. Seluruh pihak mulai dari direksi, manajemen, tenaga kesehatan, tenaga administratif, dan seluruh civitas hospitalia harus bergerak ke arah yang sama dalam aspek keselamatan pasien ini. Ruang pelaporan insiden yang aman, komunikasi yang terbuka, gerak yang padu, relasi yang harmonis antar karyawan mestinya menjadi sebuah budaya yang mengakar di setiap rumah sakit, tidak sekadar untuk tujuan akreditasi semata. Kejadian bayi tertukar dan kejadian tidak diharapkan lain tidak boleh terjadi. Satu nyawa terlalu mahal untuk dikorbankan hanya karena kelalaian tenaga medis dalam melayani pasien.
Khoirul Fahmi, Dokter Umum, Mantan Kepala Bagian Pelayanan Medis RSI Hidayatullah Yogyakarta