Tubaba Memilih Jalan Budaya
Sebagai ”anak bawang”, pada masa awal terbentuknya sebagai kabupaten, Tubaba digambarkan sebagai ”bukan apa-apa”. Kini Tubaba sedang mendesain ulang ruang kehidupannya lewat jalan budaya.
Ngopi pagi di pinggir kebun karet, Panaragan, Tulang Bawang Barat, Lampung, sungguh pengalaman sedap. Malam harinya, kami diajak bersantap sambal seruit: pindang ikan baung dicarup bersama tempoyak, sambal terasi, dan setetes perasan jeruk. Itulah salam nikmat yang kami terima dari Kabupaten Tulang Bawang Barat atau Tubaba.
Tulang Bawang Barat, kabupaten di Provinsi Lampung yang dibentuk tahun 2008 ini, sedang berproses sebagai ruang kehidupan ideal. Jejak panjangnya sebagai bagian dari wilayah transmigrasi di masa lampau, membentuk Tubaba sebagai wilayah multikultural, beragam etnis. Kini Tubaba meredefinisikan wilayah kulturalnya dengan apa yang mereka sebut sebagai ”pulang ke masa depan”.
Pulang ke masa depan bukan berarti meninggalkan masa lalu. Dari perbincangan dengan tokoh masyarakat Tubaba, seperti Umar Ahmad, pulang ke masa depan bisa diartikan sebagai menata hari ini berdasarkan pengalaman masa silam, untuk hari esok yang ideal. Kira-kita begitu. Santap seruit dan menikmati kopi lampung itu penanda bahwa Tubaba tetap berpijak pada buminya.
Kembali ke seruit. Mantan Bupati Tubaba, Umar Ahmad, memberi ”kursus kilat” cara nyeruit kepada kami, kawan-kawan dari Jakarta yang diundang menghadiri Tubaba Art Festival. Dia memandu pesantap untuk mencampur tempoyak, sambal terasi, dan daging ikan pindang baung. Ketiga unsur utama tadi dilumat dengan jari telanjang.
Saya mencoba-coba mengatur komposisi rasa asem dari tempoyak, asinnya sambal terasi, dan gurihnya pindang ikan baung sesuai selera lidah. Mak lep, sejumput seruit dan nasi hangat pun menyapa rasa. Sah sudah saya ke Tubaba. Seruit dengan ikan baungnya menjadi salah satu penanda Tubaba dari sisi rasa, meski sebenarnya seruit juga ada di wilayah lain di Lampung.
”99 Cahaya”
Tubaba bukan sekadar singkatan dari Tulang Bawang Barat. Setidaknya itu yang diungkapkan mantan bupatinya, Umar Ahmad. Bagi dia, Tubaba bukan sekadar wilayah administratif dengan segala batas-batas geografis. Tubaba adalah identitas, tujuan ideal, nilai-nilai, dan sesuatu yang hendak dituju.
Tubaba, menurut dia, adalah masa depan Tulang Bawang Barat. Identitas orang Tubaba, misalnya, dirumuskan sebagai nemen atau pekerja keras, nedes tak kenal menyerah, dan nrimo alias ikhlas. Mereka singkat sebagai nenemo. Nenemo dipandang sebagai karakter warga Tubaba.
Karakter fisik yang merefleksikan sosok manusia berkeadaban dan berbudaya, antara lain terefleksikan lewat arsitektur masjid Baitus Shobur rancangan arsitek Andra Matin. Kompleks masjid yang diresmikan pada tahun 2016 itu dilengkapi dengan Islamic Center dan Balai Adat Sesat Agung.
Identitas orang Tubaba, misalnya, dirumuskan sebagai nemen atau pekerja keras, nedes tak kenal menyerah, dan nrimo alias ikhlas. Mereka singkat sebagai nenemo.
Masjid didesain dengan serangkaian makna di balik bentuk dan detailnya. Bentuk segi lima bangunan menyimbolkan shalat lima waktu. Ada 114 tiang penyangga atap selasar yang melambangkan jumlah surat dalam Al Quran.
Langit-langit masjid berhiaskan ukiran tulisan Arab berisi 99 nama mulia Tuhan. Jumlah 99 juga terdapat pada lubang cahaya di langit-langit kolom masjid. Itu mengapa masjid Baitus Shobur juga dikenal sebagai Masjid 99 Cahaya.
Tonggak pencerah
Masjid ini tidak sekadar menjadi penanda tempat melainkan juga sebagai tonggak, semangat baru, dan pembuka pemikiran cerah untuk Tubaba. Pada masa awal pembangunan masjid, muncul pemikiran untuk menata kehidupan Tubaba, salah satunya lewat jalan budaya.
Andra Matin sebagai arsitek dan Umar Ahmad sebagai Bupati saat itu mengundang sejumlah seniman termasuk perupa Hanafi dan kawan-kawan dari Studio Hanafi. Lewat pembicaraan panjang, muncul gagasan untuk menyiapkan ekosistem budaya bagi Tubaba. Wilayah itu perlu membangun kehidupan berkesenian yang berkelanjutan, membentuk ekosistem kesenian, dan membuka ruang warga untuk berkesenian.
Dari sini muncul gagasan untuk memunculkan Tubaba dalam sosok budaya. Lahirlah antara lain tari Nenemo karya koreografer Hartati yang diserap dari kehidupan petani Tulang Bawang.
Kabupaten yang bisa dikatakan ”muda” itu kemudian juga mendatangkan seniman-seniman yang berkiprah di panggung kesenian negeri ini dan karyanya, seperti seniman patung Dolorosa Sinaga dengan karyanya yang berjudul Tarian Kemenangan.
Ada juga budayawan Suprapto Suryadarmo, penyair Afrizal Malna, Zen Hai, Yusi A Pareanom, seniman teater Iswadi Pratama, penulis AS Laksana, koreografer Melati Suryodarmo, dan sejumlah seniman lain.
Mereka membagi wawasan berkesenian kepada warga, termasuk kaum mudanya. Bisa dikatakan ini tonggak awal bagi Tubaba dalam penataan ulang lanskap budayanya.
Muncul pula gagasan membuat lembaga pelatihan kesenian, semacam padepokan yang kemudian dinamai Sekolah Seni. Di tempat tersebut orang bisa belajar dan berkarya dalam bidang seni rupa, teater, musik, sastra, dan lainnya.
Di kompleks Sekolah Seni terdapat sejumlah rumah adat Lampung yang dipindahkan dari tiyuh atau desa-desa di Tubaba. Selain sebagai upaya merawat warisan tradisi, rumah adat itu juga digunakan sebagai galeri seni dan tempat beraktivitas seni.
Ada pula bangunan dari bata merah berbentuk seperti tumang atau tungku pembakaran bata merah yang menjadi studio seni tempat orang berkarya. Dalam naungan semangat adat itulah anak-anak belajar berkesenian.
Seiring dengan itu ruang budaya dihidupkan. Sejak 2016, kabupaten yang kala itu baru berumur 8 tahun itu menghelat Tubaba Art Festival. Dalam hajatan tersebut disuguhkan pameran seni rupa, pentas teater, tari, musik, dan lainnya.
Masjid Baitus Shobur dan festival seni, diakui warga membuka wawasan budaya masyarakat.
Menurut Semi Ikra Anggara yang dilibatkan menangani aktivitas tersebut, kegiatan kesenian ini awalnya merupakan pengembangan jati diri. Penekanannya juga bukan pada produk kesenian melainkan pada tujuan-tujuan praktis, seperti mengisi acara peresmian masjid Baitus Shobur dan Islamic Center. Barulah selanjutnya, proses berkesenian berjalan lewat berbagai aktivitas termasuk Tubaba Art Festival.
Masjid Baitus Shobur dan festival seni, diakui warga membuka wawasan budaya masyarakat. ”Dunia Tubaba menjadi semakin terbuka luas. Banyak hal baru yang kami pelajari,” kata Qyoko, warga yang lahir dan tumbuh besar di Tulang Bawang Barat.
Ia mengakui warga perlu belajar mengapresiasi karya-karya seni, seperti arsitektur, seni rupa, teater, tari, dan musik. Tubaba Art Festival menjadi sarana yang menyenangkan untuk berapresiasi bagi warga.
Mereka sangat terbuka pada bentuk dan ekspresi kesenian. Qyoko memberi contoh, dalam festival juga ditampilkan musik hip hop yang diangkat dari lagu daerah yang tumbuh di Tubaba.
Bukan ”anak bawang”
Secara administratif atau sebagai wilayah pemerintahan, Tubaba adalah pecahan dari Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Tubaba diresmikan sebagai kabupaten pada 9 Oktober 2008.
Ibarat keluarga, Tubaba masih tergolong ”anak bawang” dalam keluarga besar Provinsi Lampung. Namun, sebagai ruang kehidupan, Tubaba telah melewati perjalanan panjang.
Dikatakan panjang, karena setidaknya pada masa lampau, ia pernah menjadi bagian dari Kerajaan Tulang Bawang pada abad ke-4. Pada masa kolonial dan era kemerdekaan, Tubaba menjadi bagian dari Lampung Utara yang sedikit banyak terdampak sebagai wilayah transmigrasi. Tulang Bawang menjadi bagian dari sejarah transmigrasi di negeri ini yang dimulai sejak 1905.
Dari sejarah panjang transmigrasi di Lampung, wilayah Way Abung, Lampung Utara, termasuk Tulang Bawang, mulai didatangi transmigran asal Jawa, Bali, dan lainnya pada awal 1960-an.
Namun, tahap permukiman utama di daerah tersebut baru dimulai pada 1969. Pada masa pemerintahan Orde Baru, itu masuk dalam tahapan Pembangunan Lima Tahun pertama atau Pelita 1.
Patrice Levang dalam buku Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia (Kepustakaan Populer Gramedia, 2003) mencatat, ribuan keluarga menempati lahan yang disiapkan di antara dua anak Sungai Tulang Bawang. Penataan desa dirancang berderet di sepanjang jalan yang baru dibuka.
Rancangan penataan seperti itu mengelompokkan sawah transmigran dalam satu blok seluas 2 hektar di sebelah rumah tinggal. Hubungan antartransmigran menjadi berjarak, begitu pula aktivitas sosial yang terkesampingkan.
Seturut waktu, sesuai tuntutan kebutuhan, terbentuklah tatanan kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut. Pada awal 1980-an terdapat 9 unit wilayah transmigrasi. Setiap keluarga mendapat lahan seluas 250 hektar.
Masyarakat di wilayah transmigrasi itu telah mempunyai usaha penggilingan padi, pandai besi, perbengkelan, serta pembuatan genteng dan bata merah. Telah tumbuh pula usaha pertokoan dan berdiri SD Inpres. Itulah seraut wajah Tulang Bawang pada masa lalu.
Sejak 2008, Tulang Bawang Barat terbentuk sebagai wilayah kabupaten. Sebuah wilayah multietnis yang 80 persen di antaranya berasal dari Jawa dan Bali, serta warga asli Lampung yang tinggal di 11 desa adat, plus para pendatang lain dari luar wilayah-wilayah tersebut. Di atas keberagaman itu kebudayaan dipilih sebagai jalan untuk menata kehidupan Tubaba.
Sebagai ”anak bawang”, pada masa awal terbentuknya kabupaten Tubaba, daerah ini digambarkan sebagai ”bukan apa-apa”. Bukan tujuan wisata karena tidak punya gunung atau pantai. Dan bukan pula daerah tujuan atau perlintasan.
Banyak warga yang meninggalkan kampung halaman dan baru kembali saat dimakamkan. Suatu kali ketika provinsi Lampung hendak mengadakan perhelatan besar, Tubaba bahkan tidak terpilih karena dianggap kurang merepresentasikan budaya Lampung.
Kini Tubaba sedang menggeliat lewat jalan budaya. Tubaba mencoba mendesain ulang ruang kehidupannya. Ia tidak lagi dibiarkan tumbuh secara organik sebagai wilayah dengan desain desa. Ia bukan sekadar wilayah pertanian dan perkebunan, seperti di era transmigrasi.
Tubaba telah memilih jalan budaya sebagai semacam investasi masa depan bagi warganya. Disebut investasi karena kerja kebudayaan adalah proses. Hasilnya tidak instan. Tidak akan segera tampak dengan ukuran periode masa jabatan pemimpin daerah. Ini pun baru sebuah awal....
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019