WTO, ”Overfishing”, dan Pendisiplinan Subsidi Perikanan
Sebelum meratifikasi kesepakatan subsidi perikanan WTO diperlukan strategi yang bijaksana untuk menyeimbangkan kepentingan lokal, global, dan kelestarian sumber daya laut.
Oleh
IRVAN MAULANA
·5 menit baca
Setelah dua dekade larut dalam negosiasi panjang, kesepakatan penghapusan subsidi yang mendorong penangkapan ikan berlebihan (overfishing) dan mengancam keberlanjutan stok ikan mulai mendekati mufakat. Pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 (MC12) Juni 2022, WTO mengadopsi kesepakatan subsidi perikanan (Fisheries Subsidies Agreement/FSA) yang perlu diratifikasi oleh dua pertiga dari 164 anggota WTO agar bisa diimplementasikan. Sejak awal 2023, tercatat sudah 14 negara termasuk China, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat secara resmi menerima kesepakatan tersebut (wto.org, 2023).
Meskipun dianggap sebagai langkah maju, kesepakatan ini menuai kritik karena dianggap tidak komprehensif menghentikan overfishing. Berdasarkan model ekonomi politik standar dan model perikanan Schaefer, terdapat tiga tantangan utama terkait pendisiplinan subsidi perikanan. Pertama, perikanan merupakan sumber daya terbarukan dengan batasan alamiah sehingga subsidi yang tidak terkendali dapat menyebabkan penangkapan berlebihan dan merugikan industri perikanan.
Kedua, kebijakan subsidi di sektor perikanan sering dipengaruhi oleh tekanan politik dan kepentingan khusus, yang membuat pengurangan subsidi menjadi kian kompleks. Ketiga, pengurangan subsidi mungkin memberikan manfaat jangka panjang bagi keberlanjutan sumber daya ikan, tetapi beberapa pihak mungkin lebih fokus pada manfaat jangka pendek sehingga menghambat upaya mencapai kesepakatan untuk mengurangi subsidi.
Inilah beberapa alasan umum yang menahan Indonesia belum menerima kesepakatan pendisiplinan subsidi perikanan WTO. Terlebih iklim politik menjelang Pemilu 2024 mulai memanas, tak mudah bagi pemerintah mengurangi subsidi yang cenderung populis. Namun, perlu digarisbawahi, konsekuensi penundaan ratifikasi di saat negara lain mulai meratifikasi kesepakatan internasional adalah munculnya dilema tahanan (prisoner’s dilemma), di mana keputusan setiap negara dapat berdampak negatif kepada keberlanjutan dan keseimbangan perdagangan internasional.
Dalam hal ini, negara-negara dihadapkan kepada pilihan untuk memberikan subsidi atau tidak. Jika satu negara memberikan subsidi dan negara lain tidak, negara yang memberikan subsidi mungkin mendapatkan keuntungan lebih besar dalam hal daya saing dan ekspor, sementara negara lain mungkin menghadapi kesulitan untuk bersaing. Hal ini memicu efek limpahan internasional (international spillover effects), di mana keputusan suatu negara untuk memberikan subsidi pada sektor tertentu, seperti pertanian atau perikanan, tidak hanya berdampak kepada negara itu sendiri, tetapi juga memengaruhi negara lain.
Misalnya, jika satu negara secara terus-menerus memberikan subsidi kepada nelayannya, harga produk perikanan domestik menjadi lebih murah sehingga ekspor perikanan negara lain sulit bersaing. Hal ini dapat menciptakan situasi di mana semua negara tergoda tetap mempertahankan subsidi perikanan mereka, yang dapat menyebabkan spiral harga yang lebih tinggi dan laba yang lebih rendah. Oleh sebab itu, sebelum meratifikasi kesepakatan subsidi perikanan WTO diperlukan strategi yang bijaksana untuk menyeimbangkan kepentingan lokal, global, dan kelestarian sumber daya laut.
Kuota tangkapan
Ke depan, fokus penyelesaian overfishing perlu dialihkan dari subsidi ke penataan kuota tangkapan ikan. Hal ini untuk menekan efek limpahan internasional, yaitu meminimalisasi dampak dari pembatasan subsidi terhadap harga ikan dunia dan stok ikan bersama. Untuk itu, mengevaluasi tata kelola kuota penangkapan ikan adalah cara terbaik untuk mengatasi konflik ekonomi dan ekologi dalam subsidi perikanan.
Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang mematangkan peraturan menteri tentang penangkapan ikan secara terukur yang menjadi turunan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 (Kompas, 14/7/2023). Sebelumnya, penerbitan aturan tersebut menuai pro dan kontra karena dinilai mengandung muatan liberalisasi terhadap sektor penangkapan ikan di Indonesia. Ini tecermin dari pemberian alokasi kuota khusus investor asing (PMA). Padahal sebelum dicabut, dalam Peraturan Presiden No 44/2016, aktivitas penangkapan ikan di kawasan perairan nasional tertutup untuk pihak asing.
Kuota penangkapan perlu didistribusikan secara adil dan proporsional untuk industri, nelayan lokal, dan kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Jika tidak transparan dan tanpa pengawasan ketat, dikhawatirkan akan mengarah kepada privatisasi perikanan dengan alokasi kuota yang timpang antara industri perikanan besar dan kecil. Ini berpotensi memperkuat oligarki perikanan dan memarginalkan nelayan subsisten dan artisanal.
Jika aturan kuota tangkapan ditegakkan dengan adil dan benar, pendisiplinan subsidi WTO semestinya tidak perlu dikhawatirkan akan memengaruhi total tangkapan dan harga ikan.
Semestinya kebijakan penangkapan ikan terukur menjadi momentum untuk menggerakkan nelayan lokal serta membuka kesempatan lebih luas kepada pelaku perikanan dalam negeri. Pemerintah perlu memastikan sektor perikanan menciptakan efek berganda untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menyerap tenaga kerja.
Jika aturan kuota tangkapan ditegakkan dengan adil dan benar, pendisiplinan subsidi WTO semestinya tidak perlu dikhawatirkan akan memengaruhi total tangkapan dan harga ikan. Ini sesuai dengan temuan Sakai (2017) yang menunjukkan bahwa ketika suatu negara menegakkan kebijakan kuota penangkapan ikan secara adil, maka subsidi memiliki efek yang sangat kecil kepada tangkapan ikan.
Di sisi lain, ketika negara belum menerapkan kebijakan kuota secara adil, subsidi justru menjadi pendorong utama eksploitasi dan penangkapan ikan berlebihan. Akibatnya akan berdampak negatif pada stok ikan lima tahun ke depan.
Untuk itu, kesepakatan pendisiplinan subsidi harus mempertimbangkan potensi interaksi antara penggunaan subsidi dan kebijakan konservasi dalam negeri untuk menghindari efek yang merugikan pada penegakan regulasi. Dalam situasi ini, kesepakatan untuk mengurangi subsidi perikanan harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena ada kemungkinan pelemahan peraturan lain untuk mengompensasi pengurangan subsidi karena ada pihak yang khawatir output dan pendapatan perikanan akan menurun drastis pascaratifikasi.
Misalnya, jika subsidi dikurangi, ada potensi pelonggaran batasan kuota tangkapan atau aturan lain untuk menjaga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor perikanan dan pendapatan nelayan tidak tergerus. Terlebih, saat ini merupakan masa transisi penerapan PNBP Pungutan Hasil Perikanan dari praproduksi menjadi pasca-produksi di mana input dan output control sangat bergantung kepada subsidi. Akibatnya, meskipun subsidi dikurangi, peraturan konservasi lainnya menjadi kurang efektif, dan dampak negatif pada sumber daya perikanan tetap bertahan.
Untuk mengatasi masalah kompleks yang berkaitan erat dengan kebijakan stok dan kuota penangkapan ikan, sudah saatnya Indonesia mengombinasikan skema MSY dan MEY menjadi instrumen utama pengelolaan perikanan tangkap (Anna, 2019). Skema MSY (Maximum Sustainable Yield) adalah tingkat penangkapan ikan yang dapat dipertahankan secara berkelanjutan tanpa mengurangi stok ikan jangka panjang. Skema MEY (Maximum Economic Yield) adalah tingkat penangkapan ikan yang menghasilkan pendapatan maksimum bagi nelayan. Distribusi kuota dan subsidi perikanan berbasis riset MSY dan MEY dapat membantu untuk mencapai kedua tujuan tersebut secara bersamaan.
Selama ini perhitungannya masih sebatas model biologi (skema MSY), seperti model surplus produksi Schaefer dan Fox. Belum ada satu pun peraturan perikanan yang secara eksplisit menyertakan model bioekonomi (skema MEY) secara proporsional, termasuk dalam PP No 11/2023.
Dalam aturan tersebut, kuota penangkapan dihitung hanya berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan. Bahkan, kesepakatan WTO tentang subsidi pun masih merekomendasikan pengelolaan perikanan hanya didasarkan pada skema MSY. Skema MSY hanya fokus pada keberlanjutan stok ikan, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan optimum nelayan.
Pengelolaan yang hanya berbasis MSY sangat tidak efektif karena tidak dibarengi dengan pembatasan kuota penangkapan untuk setiap kapal penangkap ikan. Jika hanya berpatokan pada skema MSY, pemberian subsidi hanya akan terjebak pada subsidi kategori ”buruk” seperti bantuan modernisasi kapal tua dan subsidi bahan bakar.
Subsidi seharusnya diarahkan kepada subsidi ”baik” berupa bantuan modernisasi perikanan subsisten dan artisanal, bantuan dana penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan pemahaman dan inovasi keberlanjutan sumber daya laut. Sebisa mungkin menghindari subsidi ”ambigu” seperti pengembalian biaya kapal dan program pembangunan pedesaan dengan dampak beragam, tergantung kepada bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
Maka dari itu, penyelesaian overfishing berbasis optimum sustainable yield (kombinasi MSY dan MEY) tak bisa ditawar lagi karena lebih komprehensif memperhitungkan dimensi biologi, ekonomi, dan sosial sehingga menghasilkan manfaat yang optimal.
Hal ini perlu penegasan secara eksplisit pada aturan baru yang sedang dalam pembahasan, termasuk turunan PP No 11/2023, bahwa subsidi perikanan perlu diarahkan untuk peningkatan efektivitas penangkapan ikan, peningkatan efisiensi pengelolaan perikanan, dan peningkatan kesejahteraan nelayan tanpa marginalisasi. Pendekatan ini mengakomodasikan kepentingan sosial dan ekonomi pelaku perikanan (fish for man), selain tetap mempertahankan keberlanjutan sumber daya ikan (fish for fish).
Irvan Maulana, Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)