Ada Apa dengan Proyek LRT Jabodebek?
Ada serangkaian masalah teknis yang belum terselesaikan diduga menjadi penyebab mundurnya tanggal pengoperasian perdana LRT Jabodebek. Hal ini terkait dengan limitasi operasi, karena kondisi prasarana yang tidak ideal.
Proyek Light Rail Transit Jakarta-Bogor-Depok- Bekasi atau LRT Jabodebek adalah proyek transportasi massal perkotaan berbasis rel yang telah dibangun sejak tahun 2015 dengan biaya Rp 32,5 triliun.
Saat ini proyek tersebut telah selesai dikerjakan dan dalam proses menanti terbitnya sertifikasi kelayakan operasi dari Kementerian Perhubungan agar dapat mulai beroperasi secara komersial mulai tanggal 26 Agustus 2023. Mundur dari rencana awal tanggal 18 Agustus 2023.
Proyek LRT Jabodebek ini akan melayani perjalanan lintas wilayah dari stasiun awal Harjamukti (Cibubur Line) sepanjang 14,5 kilometer dan dari stasiun awal Jatimulya (Bekasi Line) sepanjang 18,5 kilometer, menuju stasiun utama Cawang, untuk selanjutnya menuju stasiun akhir Dukuh Atas melalui Cawang Line sepanjang 11,5 kilometer.
Panjang keseluruhan sistem LRT Jabodebek ini adalah 44,5 kilometer, dengan 18 stasiun. Keseluruhannya dibangun di atas tanah (elevated) dengan memanfaatkan median jalan raya sebagai lokasi perletakan fondasi tiangnya.
Panjang keseluruhan sistem LRT Jabodebek ini adalah 44,5 kilometer, dengan 18 stasiun.
Seluruh sistem operasi LRT Jabodebek akan dilakukan secara otomatis tanpa masinis, menggunakan sistem Communication-Based Train Control (CBTC) dengan Grade of Automation (GoA) Level 3 yang diklaim merupakan kali pertama sistem tersebut dioperasikan dalam sistem transportasi massal perkotaan berbasis rel di Indonesia.
Masalah teknis
Untuk mengoperasikan sistem LRT Jabodebek ini, akan digunakan 27 rangkaian kereta (train set), plus empat train set sebagai cadangan. Setiap rangkaian kereta itu terdiri atas enam unit kereta sehingga keseluruhannya berjumlah 186 unit kereta.
Rangkaian kereta tersebut akan berjalan di atas rel besi dengan lebar 1.435 milimeter dengan menggunakan sumber daya listrik yang dialirkan melalui rel ketiga (third rail). Kapasitas angkut maksimal per unit kereta adalah 1.300 orang, dengan frekuensi harian perjalanan LRT sebanyak 434 perjalanan.
Dengan demikian, pada puncaknya sistem LRT Jabodebek akan mampu mengangkut lebih dari 550.000 penumpang harian (throughput capacity) walaupun pada tahun-tahun pertama operasi kapasitas angkut harian baru mencapai sekitar 25 persen atau 137.000 penumpang harian.
Dengan beroperasinya LRT Jabodebek ini, diharapkan masyarakat yang tinggal di kawasan greater Jakarta, di sekitar Cibubur dan Bekasi Timur, akan memiliki opsi sarana transportasi umum yang andal, aman, dan nyaman untuk melakukan perjalanan ke tengah kota.
Dengan begitu, secara langsung dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan juga polusi udara yang berasal dari penggunaan kendaraan pribadi.
Pada awalnya, pengoperasian LRT Jabodebek secara komersial ini direncanakan dimulai pada 18 Agustus 2023 sebagai kado ulang tahun ke-78 Kemerdekaan RI.
Namun, serangkaian masalah teknis yang belum terselesaikan diduga menjadi penyebab mundurnya tanggal pengoperasian perdana ini menjadi akhir Agustus 2023 sebelum akhirnya oleh Presiden Joko Widodo pengoperasiannya diminta untuk dapat dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2023.
Baca juga : "Longspan" LRT Kuningan
Indikasi adanya pending item masalah teknis ini dimulai ketika Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebutkan bahwa telah terjadi ’salah desain’ dalam proses design engineering longspan LRT jalur Gatot Subroto-Kuningan sepanjang 148 meter dengan radius 115 meter sehingga LRT hanya dapat melaju dengan kecepatan 20 kilometer per jam ketika melalui longspan tersebut.
Dalam terminologi design engineering, ’salah desain’ terjadi ketika outcome atau keluaran dari proses design engineering tidak sesuai dengan apa yang diminta dan dipersyaratkan oleh kriteria rancangan (design criteria).
Sementara untuk kasus longspan ini, design engineer proyek, Arvilla Detriana, menyebutkan bahwa tidak terjadi ’salah desain’. Alasannya, karena longspan telah didesain sesuai design criteria dengan memperhatikan keterbatasan lahan yang tersedia sehingga hanya dapat menghasilkan jalur lengkung yang relatif pendek dengan radius yang juga pendek. Akibatnya, hal ini juga membatasi kecepatan LRT ketika melaluinya sampai dengan 35 kilometer per jam.
Jalur kereta ringan atau LRT di Kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Kondisi ini bisa dibandingkan dengan jalur lengkung Simatupang-Fatmawati pada elevated track MRT. Jalur lengkung Simatupang-Fatmawati ini tidak memiliki keterbatasan lahan sehingga dapat memiliki jalur lengkung yang lebih panjang—sampai lebih dari 250 meter, dengan radius yang juga panjang—sehingga optimal dan dapat dilalui oleh rangkaian kereta MRT dengan kecepatan 40-42 kilometer per jam.
Meski tak sepenuhnya bisa diperbandingkan (comparable), secara relatif longspan LRT sudah cukup baik karena dapat dilalui LRT dengan kecepatan 80 persen MRT ketika melalui jalur lengkung Simatupang-Fatmawati.
Limitasi operasi
Dari sini kemudian menjadi menarik untuk mengetahui, mengapa dalam uji coba, LRT hanya melaju dengan kecepatan 20 kilometer per jam ketika melalui longspan, sementara design speed-nya adalah 35 kilometer per jam.
Jawaban atas hal ini bisa jadi adalah terkait dengan apa yang disebut sebagai limitasi operasi, yakni ketika pengoperasian sarana transportasi dibatasi oleh kondisi prasarana yang tidak ideal.
Misalnya, ketika pesawat A-320 harus dibatasi payload-nya dan diharuskan melakukan prosedur khusus pada saat lepas landas dan mendarat (take off and landing) ketika dioperasikan di bandar udara yang hanya memiliki panjang landas pacu 2.200 meter seperti Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Sementara untuk kasus longspan ini, design engineer proyek, Arvilla Detriana, menyebutkan bahwa tidak terjadi ’salah desain’.
Dalam kasus LRT Jabodebek, kondisi prasarana yang tidak ideal ini bisa jadi berhubungan dengan informasi yang lagi-lagi berasal dari Wakil Menteri BUMN bahwa 31 rangkaian kereta yang akan digunakan dalam sistem operasi LRT ini masing-masing memiliki spesifikasi (specs) yang berbeda dalam hal dimensi, berat, kecepatan, dan juga jarak pengereman.
Akibatnya, dalam terminologi industri strategis, ke-31 rangkaian kereta tersebut masing-masing sebetulnya adalah prototipe (prototype) dan bukannya serial production. Padahal, secara rule of thumb semakin tinggi level otomasi yang digunakan untuk pengoperasian sistem LRT ini, maka semakin ketat pula persyaratan agar seluruh rangkaian kereta (train set) yang dipergunakan adalah rangkaian kereta yang merupakan serial production untuk menjamin akurasi dan keamanan operasi seluruh sistem.
Oleh karena itu, untuk memastikan pengoperasian sistem LRT tetap dapat berlangsung dengan lancar, aman, dan nyaman mulai tanggal 26 Agustus 2023, diperlukan upaya ekstra agar perangkat lunak (software) yang mengatur otomasi GoA Level 3 tersebut dapat meng-capture spesifikasi setiap rangkaian kereta yang berbeda-beda itu.
Dengan begitu, pada akhirnya rangkaian kereta LRT dapat melaju dengan aman dan nyaman melalui longspan Gatot Subroto-Kuningan dengan kecepatan 35 kilometer per jam sesuai kapasitas rancangan (design capacity). Semoga.
Iwan Soemekto Direktur Niaga PT DI Persero (2003-2007); Direktur Finansial Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Kemenko Perekonomian (2015-2016)