Di Kemerdekaan RI, terasa ada kerinduan orang biasa akan kerukunan pemimpin bangsa. Orang biasa kerap ”ngerasani” perilaku politik elite yang melakoni politik wira-wiri, membuat terasa ada rivalitas di antara elite.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
Malam mulai larut. Lagu ”Goodbye” dari Air Supply mengakhiri temu warga merayakan Hari Ulang Tahun Ke-78 Kemerdekaan RI, Kamis, 17 Agustus 2023. Saya sendiri memperingati perayaan kemerdekaan bersama tetangga yang hampir selama tiga tahun tak pernah bertemu karena pandemi.
Magnet perayaan kemerdekaan tetaplah Istana Negara. Presiden Jokowi mendesakralisasi Istana Negara menjadi ”istana rakyat”. Perayaan kemerdekaan yang selama ini terasa formal dan kaku terasa lebih segar.
Setelah Presiden Jokowi mengakhiri kekuasaannya pada 20 Oktober 2024, kita belum tahu bagaimana ritual perayaan kemerdekaan. Apakah akan menjadi sangat formal kaku dan mewarisi semangat ultranasionalistik atau tetap menawarkan ruang terbuka bagi rakyat untuk mengeksperesikan kecintaannya kepada Republik. Jika tahun 2022 penampilan Farel Prayoga mengguncang Istana dengan lagu ”Ojo Dibanding-bandingke”, tahun 2023 penampilan Putri Ariani dengan ”Rungkad” menjadikan perayaan ulang tahun ke-78 kemerdekaan terasa lebih cair dan hangat.
Ahli komunikasi Lely Arrianie mengirim pesan kepada saya, ”Komunikasi politik dengan konteks rendah seperti ini akankah bisa ditemukan dalam pemerintahan Indonesia ke depan atau hanya berhenti di pemerintahan Presiden Jokowi. Lalu kita kembali ke komunikasi politik konteks tinggi,” tulis Lely.
Presiden Jokowi percaya diri. Ia kerap ”menginformalkan” panggung formal depan kenegaraan. Pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR diawali dengan respons Presiden akan situasi kontemporer. ”Saya bukan lurah, saya Presiden Republik Indonesia,” kata Presiden. Urusan koalisi adalah urusan parpol.
Dalam perayaan kemerdekaan di tempat saya tinggal, kami pun ngobrol dalam bahasa komunikasi model warung kopi. ”Kenapa Pak SBY tidak datang ke Istana ikut merayakan kemerdekaan,” kata tetangga saya. Saya tidak tahu mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir, dan merayakan kemerdekaan di Pacitan, Jawa Timur.
Substansi pertanyaan seperti itu muncul dalam obrolan antartetangga ataupun obrolan di angkringan di Kota Solo. Dalam rangkaian obrolan atau gerundelan mengenai kondisi Republik, terasa ada kerinduan orang biasa akan kerukunan pemimpin bangsa. Sebenarnya perayaan kemerdekaan bisa menjadi wadah yang tepat bagi presiden dan mantan presiden bertegur sapa, bercengkerama memikirkan nasib publik dan Republik. Di Amerika ada yang namanya The President Club, tempat presiden-presiden Amerika Serikat bertemu dan bertukar pikiran.
Orang biasa di pinggir jalan itu kerap ”ngerasani” perilaku politik elite yang kerap melakoni politik wira-wiri. Elite politik bergerak ke sana kemari mencari kawan koalisi guna mendapatkan kekuasaan. Terasa ada rivalitas di kalangan elite bangsa ini. Politik seperti permainan catur untuk menunjukkan siapa lebih berpengaruh di Republik ini. Saling menekan, saling memuji, saling melegitimasi, saling mendelegitimasi. Eksistensi pribadi menjadi yang utama mengalahkan substansi permasalahan bangsa.
Politik wira-wiri atau politik deklarasi selayaknya mempercakapkan nasib publik di Republik. Politik wira-wiri selayaknya mencari jawab mengapa janji kemerdekaan Soekarno belum bisa terwujud. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno berpidato, ”Tak ada lagi kemiskinan di era kemerdekaan.” Kenyataannya wajah kemiskinan masih nyata di Republik ini. Kemiskinan bisa sedikit tertolong seandainya korupsi bisa diamputasi.
Politik wira-wiri selayaknya mempertanyakan mengapa setelah 78 tahun kemerdekaan, angka tengkes (stunting) masih tinggi, mengapa IQ rata-rata orang Indonesia berdasarkan World Population Review 2022 di angka 78,49 dan berada di peringkat ke-130 dari 199 negara yang diuji, padahal konstitusi menegaskan 20 persen anggaran negara untuk pendidikan.
Ketua DPR Puan Maharani menyoroti penanganan tengkes menjadi atensi pemerintah, tetapi pelaksanaannya di lapangan bermasalah. ”Dari Rp 10 miliar, hanya Rp 2 miliar dibelanjakan untuk kepentingan langsung kelompok penerima manfaat, sedangkan Rp 8 miliar dipergunakan untuk perjalanan dinas, rapat, penguatan, dan pengembangan,” ujar Puan.
Politik wira-wiri perlulah melihat jauh ke depan, bukan hanya 14 Februari 2024, dan seperti menempatkan masa depan seperti waktu tak bertuan (tempus nullius)—meminjam istilah Yudi Latif dalam esai ”Belajar Merdeka” di Kompas, 15 Agustus 2023—sehingga hak generasi mendatang bisa dirampas demi kepentingan aji mumpung generasi saat ini. Kesewenang-wenangan elite melemparkan penderitaan dan kesulitan ke masa depan.
Politik wira-wiri seyogianya bisa mengingatkan yang mapan dan bukan malah memuliakan yang mapan serta menegasikan yang papa. Berkah kemerdekaan masih ditunggu mereka yang papa. Jangan terlalu percaya diri karena politik sering tak bisa ditebak.