Teknologi kecerdasan buatan membantu kampanye negatif menjadi lebih halus dan makin berpengaruh pada saat yang sama, tetapi berpotensi mereduksi esensi kampanye pemilu.
Oleh
SALVATORE SIMARMATA
·4 menit baca
Peraturan terbaru terkait kampanye yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum, yaitu PKPU Nomor 15 Tahun 2023, tidak mengatur dan menyinggung soal kampanye negatif sama sekali meskipun pemilu kita justru sangat kental dengan kampanye menyerang ini, bahkan jauh sebelum masa kampanye pemilu resmi tiba. Fakta ini membuat kualitas pemilu menjadi rentan karena sebagian besar kampanye negatif tidak berkualitas (Kompas, 8/7/2023). Kerentanan ini diperumit oleh munculnya teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mulai digunakan dalam kampanye pemilu di Indonesia.
Model kampanye dapat dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu kampanye memuji diri dan kampanye menyerang lawan (negative campaigns). Untuk memaksimalkan perolehan suara dan peluang menang, para kandidat cenderung menerapkan kedua tipe kampanye tersebut, baik sebagai petahana maupun penantang, seperti yang selama ini kita lihat. namun, peraturan kepemiluan kita justru tidak menyentuh aspek kampanye negatif ini.
Sebagian pihak ingin mengatur kampanye negatif karena tidak semua kampanye negatif memiliki kualitas, bahkan cenderung merusak. Rumitnya mengatur kampanye negatif salah satunya disebabkan oleh sulitnya menarik batas tegas sebagai ”menyerang” (attack campaign) yang bisa diterima semua pihak.
Kampanye negatif ditebar jika dipandang perlu saja dan penuh dengan kehati-hatian. Jika asal-asalan bisa bumerang, terlebih dalam konteks Indonesia di mana seseorang yang menjadi korban serangan politik cenderung menarik simpati publik.
Kampanye negatif dijalankan lewat sejumlah tahapan untuk memberi dampak maksimal menurunkan elektabilitas lawan. Tahap paling utama adalah mengenali calon pemilih riil kandidat dan mengetahui karakteristik-karakteristik umum dan khusus mereka khususnya seputar ketidakpuasan, ketidaksukaan, ketakutan, dan hal-hal yang mereka anggap berbahaya atau mengancam nilai-nilai mereka.
Sebelum internet berkembang, tahap ini menelan dana dan tenaga yang sangat besar melalui survei opini publik dan kunjungan dari pintu ke pintu (canvassing). Selanjutnya diterapkan pendekatan keilmuan dalam bidang pemasaran (political marketing) yang fokus kepada target pemilih.
Di era media sosial, informasi tersebut tersedia secara gratis meskipun belum sepenuhnya mewakili keseluruhan pemilih di daerah pemilihan tertentu. Oleh sebab itu, mencari informasi yang fokus kepada pemilih jauh lebih cepat dan mudah dilakukan di media sosial. Namun, proses ini masih membutuhkan tahapan lanjutan untuk mencari intisari dari wacana yang tersebar secara daring (online).
Pada masa kejayaan Twitter seperti di Pemilu 2019, bot dan otomasi menjadi fitur mencolok yang mengangkat kesuksesan penyebaran pesan-pesan kampanye negatif ke jagad maya dalam waktu yang sangat singkat.
Sekarang ditemukan teknologi baru: kecerdasan buatan yang digerakkan oleh dua elemen inti, yaitu mahadata (big data) dan machine learning yang masih banyak diterapkan di sektor bisnis. Kecerdasan buatan (AI) merupakan mesin yang deprogram untuk bisa berpikir dan bertindak secara efektif bahkan secara rasional seperti manusia (Russell dan Norvig, 2022).
Penggunaan AI membuat kampanye negatif yang biasanya kasar dan brutal, bisa jadi lebih halus ( subtle) karena pesan negatifnya sudah disesuaikan dengan target pemilih spesifik.
Teknologi AI sudah dipakai dalam konteks kampanye politik di berbagai negara. Di Indonesia masih pada tahap awal. Sebagai contoh baru-baru ini di Indonesia diluncurkan ”Pemilu AI” sebuah aplikasi yang dimotori oleh teknologi AI berfungsi sebagai konsultan politik buatan yang aslinya ditawarkan secara komersial untuk para calon anggota legislatif yang berlaga di 2024 (Kompas, 25/7/2023).
Tentu aplikasi ini dibuat untuk kampanye secara umum meskipun menggunakan teknologi AI. Sesuai informasi di aplikasi tersebut, pengguna (subscribers) membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa memakainya.
Teknologi AI memotong kerja panjang berbasis manusia mulai dari pengumpulan data, analisis data, penemuan intisari (insights) dan pemberian rekomendasi atau keputusan dengan akurasi dan presisi yang tinggi dalam mekanisme kampanye. Penggunaan AI membuat kampanye negatif yang biasanya kasar dan brutal, bisa jadi lebih halus (subtle) karena pesan negatifnya sudah disesuaikan dengan target pemilih spesifik.
Tim kampanye juga menggunakan AI guna mempelajari psikografik dan profil perilaku pemilih agar dapat merekomendasikan pesan-pesan kampanye negatif yang paling mereka percaya dan menyentuh (personalized messaging). Misalnya, orang-orang dengan profil pencinta gerakan go green dapat disasar dengan pesan negatif terkait praktik penebangan hutan dan efek industri ekstraktif pada pencemaran udara untuk kemudian dilekatkan (attribution of responsibility) pada kandidat lawan.
Teknologi AI menfasilitasi kampanye micro-targeting dengan presisi serta menghindari efek samping elektoral bagi kandidat pengguna.
Adopsi AI dalam strategi kampanye ini mengubah konstelasi elektoral di Indonesia. Pertama, mengurangi ketergantungan kandidat kepada konsultan politik pada umumnya. Kedua, data yang akurat menjadi modal penting selain penampilan dan dana. Ketiga, kandidat bisa makin responsif terhadap isu-isu yang berkembang karena kekayaan mahadata dan efektifnya analisis teknologi AI memberi rekomendasi pesan, termasuk dalam membalas serangan lawan (counterattack) yang menohok lawan, tetapi tidak mengoyahkan pemilih loyal sendiri.
Oleh sebab itu, kampanye negatif dapat makin berpengaruh karena pesan negatif diberikan kepada target pemilih yang sudah pasti percaya kepada pesan tersebut lepas dari latar belakang politik mereka (political disposition).
Namun, meski inovatif, tren ini membawa ancaman baru. Selain karena belum tersentuh peraturan pemilu, penerapan teknologi membutuhkan modal besar, terlebih yang adopsinya dilakukan secara tertutup oleh tim kampanye kandidat. Ini memunculkan kekhawatiran teknologi kampanye ini bukannya meratakan medan kompetisi bagi semua kandidat, melainkan menguatkan adegium klasik bahwa uang menentukan pemenang pemilu.
Di sisi lain, muncul pertanyaan terkait akuntabilitas dan kredibilitas calon di mana pesan-pesan kampanye kandidat yang dipakai tidak bersumber dari nilai-nilai dan gagasan orisinal kandidat, tetapi hasil buatan mesin. Ini belum termasuk ancaman dari pembuatan pesan kampanye negatif fiktif dalam bentuk teks, visual, dan audio menyerupai kebenaran diproduksi dengan teknologi AI. Maka, jika diterapkan tanpa memegang prinsip moral, AI bukannya mendekatkan tetapi justru menjauhkan kandidat itu sendiri dari rakyat.