Transformasi Struktural Ekonomi Menuju Indonesia Emas 2045
Dengan kekayaan SDA yang besar, posisi geoekonomi yang sangat strategis terletak di jantung rantai pasok global, dan bonus demografi pada 2023-2035, mestinya bangsa Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi.
Seluruh rakyat Indonesia mendambakan terwujudnya kehidupan bangsa yang maju, adil, makmur, dan berdaulat.
Kita bersyukur sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan, mulai dari pangan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga kesejahteraan rakyat.
Contohnya, pada 1950 tingkat kemiskinan sangat tinggi, sekitar 75 persen dari total penduduk. Angka ini menurun menjadi 60 persen pada 1970, lalu menjadi 14 persen pada 2004, dan tahun lalu tinggal 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang (BPS, 2022).
Namun, sudah 78 tahun merdeka, status Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas, dengan pendapatan nasional kotor (PNK) per kapita 4.580 dollar AS.
Menurut Bank Dunia (2022), suatu negara dikategorikan negara berpendapatan menengah atas apabila PNK per kapita berkisar 4.466 dollar AS dan 13.845 dollar AS. Adapun negara makmur (berpendapatan tinggi) adalah yang PNK per kapita di atas 13.854 dollar AS.
Oleh sebab itu, sangat tepat ketika Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR RI pada 16 Agustus 2019 untuk pertama kalinya menggaungkan gagasan visioner, yakni Indonesia Emas 2045.
Baca juga : Transformasi Ekonomi Pasca Pandemi
Lalu, pada 15 Juni tahun ini, Presiden Jokowi secara resmi meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045 yang disusun oleh Bappenas, berisi tentang sejumlah strategi pembangunan untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045.
Dalam RPJPN tersebut, pemerintah menargetkan pada 2045 Indonesia menjadi negara kepulauan yang maju, sejahtera, berdaulat, dan berkelanjutan; dengan PDB sebesar 7 triliun dollar AS (terbesar kelima di dunia), dan PNK per kapita mencapai 30.300 dollar AS.
Banyak persyaratan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, mulai dari sumber daya manusia (SDM) berkualitas, infrastruktur, konektivitas digital, hingga keadilan hukum.
Namun, dari perspektif ekonomi, yang paling utama adalah bangsa Indonesia harus mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata 6 persen per tahun pada periode 2024-2029, lalu rata-rata 8 persen per tahun pada 2030-2035, dan rata-rata 7 persen per tahun pada 2036-2045.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi tersebut harus berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja), inklusif (menyejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan), dan ramah lingkungan serta berkelanjutan. Untuk dapat membangkitkan pertumbuhan ekonomi semacam itu, tidak ada jalan lain, kecuali kita melakukan transformasi struktural ekonomi (TSE) (O’Connor dan Kjollerstrom, 2008; Kroeber, 2016; dan McKinsey, 2019).
Makna TSE
Di antara sekian banyak definisi TSE, yang disepakati secara global adalah ”suatu proses transformasi pembangunan ekonomi yang meliputi realokasi faktor-faktor produktif (SDM, teknologi, infrastruktur, finansial, dan aset ekonomi produktif lain) dari sektor pertanian tradisional kepada sektor pertanian, industri manufaktur, dan jasa yang modern; dan realokasi faktor-faktor produktif itu di antara berbagai aktivitas ekonomi di dalam sektor industri manufaktur dan jasa modern” (PBB, 2008).
Sektor pertanian mencakup pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Yang dimaksud pertanian modern adalah sistem pembangunan, investasi, dan bisnis pertanian yang menerapkan economy of scale; teknologi mutakhir (seperti Industri 4.0, bioteknologi, dan nanoteknologi); integrated supply chain management system (ISCMS); dan prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pengalaman di negara-negara maju dan makmur, seperti Kanada, AS, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, menunjukkan, modernisasi sektor pertanian telah mampu menyejahterakan semua petani dan nelayannya, dan sekaligus menjaga kelestarian sumber daya alam (SDA)-nya.
Memang, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian (sektor primer) menurun. Namun, kabar baiknya, muntahan (surplus) tenaga kerja dari sektor pertanian itu sebagian besar dapat diserap oleh sektor industri manufaktur (sektor sekunder), dan yang lainnya oleh sektor jasa (sektor tersier), termasuk perdagangan, pariwisata, ekonomi kreatif, jasa keuangan, konstruksi, dan transportasi.
Penghasilan penduduk yang bekerja di sektor industri manufaktur dan jasa yang modern juga sangat menyejahterakan. Di negara-negara maju yang telah sukses menjalankan TSE, seluruh rakyatnya hidup sejahtera, dengan rata-rata PNK per kapita di atas 20.000 dollar AS.
Sementara di Indonesia pada 2022 sektor pertanian masih menyerap sekitar 38 persen AK dengan kontribusi terhadap PDB hanya 12,4 persen (BPS, 2023). Tak heran apabila mayoritas petani dan nelayan kita masih miskin.
Sektor pertanian bersama sektor primer lain (pertambangan, penggalian) menyerap sekitar 15 persen total angkatan kerja (AK) dan menyumbang sekitar 25 persen PDB. Sektor manufaktur menyediakan lapangan kerja untuk sekitar 65 persen AK, dengan kontribusi terhadap PDB 55 persen. Sektor jasa menyerap sekitar 20 persen AK, dan menyumbang sekitar 20 persen PDB (UNDP dan Bank Dunia, 2016).
Sementara di Indonesia pada 2022 sektor pertanian masih menyerap sekitar 38 persen AK dengan kontribusi terhadap PDB hanya 12,4 persen (BPS, 2023). Tak heran bila mayoritas petani dan nelayan kita masih miskin. Pertambangan dan penggalian menyerap sekitar 10 persen AK dan menyumbang 12,2 persen PDB.
Manufaktur menyumbang 18,3 persen PDB dan menyerap 25 persen AK. Sektor jasa menjadi kontributor terbesar PDB, yakni 57 persen, dan menyerap 27 persen AK (BPS, 2023).
Dari proporsi kontribusi terhadap PDB dan serapan tenaga kerja di antara sektor primer, sekunder, dan tersier tersebut, dapat disimpulkan, Indonesia belum berhasil melakukan TSE. Yang lebih mengkhawatirkan, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB hanya 18,34 persen. Padahal, salah satu syarat menjadi negara-bangsa maju dan makmur adalah kontribusi sektor ini terhadap PDB minimal 30 persen (UNDP dan Bank Dunia, 2016).
Lebih dari itu, sejak akhir 1990-an Indonesia pun mengalami deindustrialisasi. Fenomena ini tecermin pada penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB, dari 29 persen pada 1996 menjadi 18,34 persen pada 2022, dan PNK per kapita belum mencapai 13.854 dollar AS.
Agenda TSE
Dengan kekayaan SDA yang besar, posisi geoekonomi yang sangat strategis terletak di jantung rantai pasok global, dan bonus demografi pada 2023- 2035, mestinya bangsa Indonesia mampu melaksanakan TSE guna menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Setidaknya ada tujuh agenda TSE yang harus kita kerjakan. Pertama, penguatan dan pengembangan industri manufaktur (hilirisasi), baik yang berbasis SDA maupun non-SDA. Hilirisasi berbasis SDA terbarukan meliputi berbagai komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura, kehutanan, peternakan, perikanan, dan material bioteknologi. Hilirisasi SDA tidak terbarukan mencakup nikel, bauksit, tembaga, mangan, dan mineral lainnya; gas alam untuk industri pupuk, tekstil, dan polietilen; dan batubara berkalori rendah. Sementara itu, hilirisasi berbasis non-SDA antara lain meliputi industri digital dan informasi, robot, drone, elektronik, dan industri ekonomi kreatif.
Yang harus dipastikan adalah bahwa keuntungan (berkah) dari hilirisasi ini sebagian besar untuk negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan untuk perusahaan asing dan para pejabat negara yang dapat golden share.
Yang harus dipastikan adalah bahwa keuntungan (berkah) dari hilirisasi ini sebagian besar untuk negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan untuk perusahaan asing dan para pejabat negara yang dapat golden share.
Kedua, modernisasi sektor pertanian sesuai dengan kapasitas pulih SDA pertanian dan daya dukung lingkungan sehingga sektor pertanian akan lebih produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan.
Modernisasi pertanian yang disinergikan dengan hilirisasi SDA terbarukan tak hanya akan memperkokoh kedaulatan pangan nasional, tetapi juga akan menghasilkan ribuan jenis produk pangan, minuman, farmasi, kosmetik, bioplastik, biotekstil, bioenergi, bahan bangunan dan furnitur (produk kayu), dan lainnya yang bernilai tambah tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ataupun ekspor secara berkelanjutan.
Modernisasi pertanian dan hilirisasi ini juga memberikan nilai tambah, menyediakan jutaan lapangan kerja baru, dan multiplier effects sangat besar.
Ketiga, penguatan dan pengembangan sektor tersier (jasa), khususnya perdagangan, pariwisata, ekonomi kreatif, dan ekonomi digital (Industri 4.0).
Keempat, revitalisasi dan pembangunan baru infrastruktur fisik (jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan, jaringan irigasi, gas, telkom, dan lainnya) dan infrastruktur digital (internet, 4G, 5G) untuk mendukung TSE sektor primer, sekunder, dan tersier.
Kelima, program hilirisasi, modernisasi pertanian, dan penguatan serta pengembangan sektor tersier harus diimbangi dengan akselerasi peningkatan kualitas SDM. Selain untuk mendukung ketiga program TSE, peningkatan SDM juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan segenap rakyat di seluruh wilayah NKRI, dan menjadikan kita tuan rumah di negeri sendiri.
Bagi tenaga kerja yang saat ini sudah bekerja di perusahaan swasta, BUMN, koperasi, UMKM, ataupun sektor informal, peningkatan kualitasnya dapat dilakukan oleh perusahaan swasta, BUMN bekerja sama dengan balai latihan kerja melalui program pelatihan up-scaling dan rescaling sesuai kebutuhan industri dan kondisi lokal di seluruh Nusantara.
Secara simultan, lembaga pendidikan vokasi (level SLTA dan D-1 sampai D-4) dan perguruan tinggi harus memperbaiki kurikulum, metode pengajaran, praktikum, dan suasana kehidupan kampus sehingga dapat menghasilkan lulusan yang mampu menjalankan program TSE. Selain memiliki kompetensi teknis berkelas dunia di bidang masing-masing, lulusan lembaga pendidikan juga mesti memiliki entrepreneurship, soft skills, etos kerja unggul, dan akhlak mulia.
Keenam, kita harus pastikan bahwa semua program TSE di atas harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, menggunakan SDA efisien dan optimal, zero-waste dan zero-emission, melakukan konservasi biodiversitas, dan mitigasi serta adaptasi terhadap pemanasan global, El Nino, La Nina, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lain. Transisi energi, aplikasi ekonomi hijau, dan ekonomi biru mesti dipercepat dan menjadi arus tengah pembangunan.
Dan, terakhir, kita harus membangun ekosistem bagi program hilirisasi, modernisasi pertanian, dan sektor tersier secara holistik dan terintegrasi. Selain itu, semua kebijakan politik-ekonomi, seperti stabilitas politik, moneter, fiskal, ekspor-impor, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis, harus kondusif bagi TSE.
Rokhmin Dahuri, Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan, IPB University, Ketua Umum Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GNTI)