Kebijakan belanja wajib mempunyai dampak negatif terhadap efisiensi pengalokasian anggaran. Beberapa daerah yang sudah memenuhi pelayanan dasar tertentu dipaksa mengalokasikan belanja untuk memenuhi kewajibannya.
Oleh
TENGKU MUNAWAR CHALIL
·3 menit baca
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan hangat diperbincangkan oleh masyarakat saat ini. Salah satu isu yang menjadi kontroversial adalah penghapusan belanja wajib kesehatan yang awalnya dialokasikan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji menjadi sesuai dengan kebutuhan nasional.
Penghapusan belanja wajib kesehatan ini membawa perdebatan terhadap kebijakan belanja wajib yang mempunyai ”kapling” sendiri dalam anggaran pemerintah. Sejauh ini, beberapa belanja wajib yang diamanatkan dalam konstitusi adalah belanja pendidikan yang dialokasikan paling sedikit 20 persen dari belanja pemerintah, belanja infrastruktur publik yang dialokasikan paling sedikit 40 persen dari APBD, belanja pegawai maksimal 30 persen dari APBD, belanja untuk alokasi dana desa dari 10 persen dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, dan terakhir adalah belanja untuk kesehatan.
Salah kaprah belanja wajib
Alasan munculnya kebijakan belanja wajib adalah untuk menjamin komitmen pelayanan dasar yang harus dianggarkan pemerintah. Negara ini belum menyelesaikan permasalahan pemerataan pelayanan dasar sehingga para elite pengambil kebijakan memunculkan regulasi belanja wajib untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan agar sektor tersebut selalu diprioritaskan dan mendapat porsi yang signifikan dalam anggaran pemerintah. Implikasinya, diundangkanlah kapling tertentu dalam belanja pemerintah.
Kapling dengan persentase mutlak ini memunculkan tafsiran tertentu. Misalnya, daerah menganggap minimal 20 persen APBD harus dialokasikan ke dinas pendidikan, kemudian 10 persen alokasi APBD khusus untuk dinas kesehatan, dan 40 persen belanja APBD khusus ke dinas PUPR untuk belanja infrastruktur.
Dengan demikian, 70 persen APBD sudah tersedot pada belanja wajib dan hanya tersisa 30 persen untuk keperluan operasional dan dibagikan ke dinas-dinas lain. Tafsiran ini salah karena yang dimaksud adalah bagaimana fungsi untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dapat tersebar, dengan tagging fungsi tersebut pada setiap belanja dinas, sehingga secara akumulasi belanja wajib dapat terpenuhi.
Kebijakan belanja wajib dimaksudkan mendorong pemerintah memprioritaskan sektor wajib pelayanan dasar untuk mendapat anggaran yang sepadan. Belajar dari Brasil yang menerapkan belanja wajib untuk pendidikan sebesar 25 persen, kebijakan tersebut berhasil mendorong daerah yang minim belanja pendidikannya untuk mengalokasikan belanja pendidikan menuju 25 persen. Hal ini mirip dengan kasus Indonesia di mana pemda yang masih menganggarkan belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dalam porsi kecil ditingkatkan porsinya untuk mengejar pemenuhan standar pelayanan minimal.
Namun, kebijakan belanja wajib ini mempunyai dampak negatif terhadap efisiensi pengalokasian anggaran. Beberapa daerah yang sudah memenuhi pelayanan dasar tertentu dipaksa mengalokasikan belanja untuk memenuhi kewajibannya. Sebagai ilustrasi, bayangkan kota kecil yang hanya diisi penduduk lansia. Secara kebutuhan, kota tersebut tidak perlu mengalokasikan belanja untuk pendidikan dasar dan menengah. Namun, peraturan mengharuskan kota tersebut mengalokasikan 20 persen APBD-nya untuk belanja pendidikan. Implikasinya, sebagian porsi belanja yang penting harus ke belanja pendidikan.
Kabupaten Mappi mengalokasikan dana pendidikan lebih banyak dibandingkan Kabupaten Bogor, tetapi dari sisi persentase Kabupaten Mappi mengalokasikan lebih sedikit dari Kabupaten Bogor.
Kesalahan lain pada kebijakan kapling pada belanja adalah mistargeting kepada penerima manfaat. Kasus ini dapat terlihat pada belanja pendidikan. Kita dapat membandingkan dua kasus yang kontras, yaitu Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan Kabupaten Mappi, Papua. Berdasarkan data pendidikan 2019, Kabupaten Bogor mengalokasikan dana pendidikan Rp 1,6 triliun atau 25 persen dari APBD, atau Rp 1,5 juta per siswa. Namun, untuk Kabupaten Mappi, alokasi pendidikannya hanya Rp 219,7 miliar atau 15 persen dari APBD, atau Rp 6,7 juta per siswa.
Dari sisi penerima manfaat, Kabupaten Mappi mengalokasikan dana pendidikan lebih banyak dibandingkan Kabupaten Bogor, tetapi dari sisi persentase Kabupaten Mappi mengalokasikan lebih sedikit dari Kabupaten Bogor. Sayangnya, regulasi saat ini mencantumkan persentase daripada peninjauan pada penerima manfaat.
Hasil belanja lebih penting
Reformasi belanja yang berorientasi kepada program dan hasil lebih baik dibandingkan mematok persenan pada belanja. Pemerintah sebaiknya memonitor rincian output yang didapat dari belanja, kemudian menilai seberapa baik rincian output tersebut mendorong hasil pelayanan dasar, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat, taraf pendidikan, dan kesehatan masyarakat.
Pemantauan data rincian output ini membantu pemerintah untuk menilai apakah belanjanya turun dan dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan komentar Presiden Joko Widodo mengenai belanja penanganan tengkes (stunting) yang belum turun optimal ke masyarakat. Rincian output ini juga dapat diagregasikan ke program strategis hingga ke bidang layanan sehingga persentase belanja yang dimanfaatkan dapat alat kontrol perbaikan kualitas belanja.
Pemerintah pusat juga harus lebih cerdik mengaplikasikan regulasi belanja wajib. Dorongan untuk daerah yang pelayanan publik primernya masih buruk memang harus didorong untuk melakukan prioritas belanja, tetapi daerah yang berhasil mencapai pelayanan publik sebaiknya diberikan fleksibilitas mengelola anggaran.