Restitusi Khotimah Vs David Ozora
Khotimah korban sistem, yaitu ketiadaan hukum yang melindunginya sehingga ia terjebak dalam praktik perbudakan modern. Ia mewakili nasib 5 juta lebih perempuan pekerja rumah tangga di Indonesia yang mencari keadilan.
Di akhir tahun 2022, serentetan kasus kekerasan meledak hampir bersamaan, yaitu kasus penyiksaan tiga PRT (Risky, Rohimah, dan Khotimah) dan David Ozora.
Pemberitaan tentang David menyedot perhatian luar biasa, tetapi tidak bagi Khotimah yang penderitaannya tak kalah parah.
Banyak menteri, politisi, selebritas, bahkan Wakil Presiden RI mengunjungi David di rumah sakit. Beda kelas sosial, beda perlakuan dan beda pula mendapatkan keadilan, misalnya soal restitusi.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyimak keterangan empat dokter yang merawat David untuk menghitung restitusi sehingga data lengkap dan jumlah restitusi mencapai Rp 120 miliar. Sementara tim LPSK yang lain mendengar keterangan satu dokter untuk menghitung restitusi Khotimah dan jumlahnya hanya sebesar Rp 275 juta.
Khotimah korban sistem, yaitu ketiadaan hukum yang melindunginya sehingga ia terjebak dalam praktik perbudakan modern. Ia mewakili nasib 5 juta lebih perempuan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia. Adapun David terlindungi oleh UU lex specialis, yaitu UU Perlindungan Anak.
Khotimah akhirnya diproses menggunakan UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) masih juga ditahan DPR.
Khotimah korban sistem, yaitu ketiadaan hukum yang melindunginya sehingga ia terjebak dalam praktik perbudakan modern. Ia mewakili nasib lima juta lebih perempuan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia.
Keadilan bagi korban
Keadilan bagi korban PRT makin jauh oleh ancaman dari keluarga dan penegakan hukum di pengadilan. Keluarga Khotimah sudah menyodorkan daftar (list) rencana pengeluaran yang akan diambil dari restitusi yang jumlahnya Rp 275 juta itu.
Proposal keluarga itu berisi pelunasan utang-utang keluarga, ongkos menunggui (empat orang), biaya menjenguk, sedekah untuk 100 anak yatim (masing-masing Rp 150.000), selamatan tolak bala, uang saku untuk keluarga jauh, penggantian ongkos transportasi dan makan keluarga yang menengok, hingga uang jajan dan rokok keluarga. Semua hendak dimintakan ganti dari restitusi Khotimah.
Sesuai definisi, restitusi merujuk pada penggantian biaya kerugian korban dan keluarga akibat langsung ataupun tidak langsung akibat tindak pidana yang diderita korban. Biaya-biaya selain itu menyalahi prinsip akuntabilitas penggunaan keuangan karena tidak sesuai tujuan (peruntukan).
List itu membuat pekerja sosial bingung karena semua kebutuhan sudah ditanggung (kecuali rokok dan jajan) organisasi pendamping. Apalagi, semua uang santunan dari beberapa pejabat dan uang solidaritas dari berbagai pihak juga langsung diberikan ke keluarga. Tetapi, keanehan masih berlanjut.
Di pengadilan, restitusi Rp 75 juta yang dititipkan dipandang hakim terlalu rendah sehingga ia meminta tambahan uang santunan untuk korban sebesar Rp 200 juta. Pelaku menyetujui. Kemudian, bapak Khotimah atas nama anaknya (usia 23 tahun) diminta hakim dan jaksa menerima uang restitusi dan santunan tersebut.
Sembilan terdakwa menunggu hakim memasuki ruang sidang dalam sidang vonis kasus penganiayaan Siti Khotimah, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Ada penggiringan jaksa kepada ayah korban dengan cara mewanti-wanti untuk tidak mendengarkan pendapat pihak lain, termasuk kuasa hukum dan pendamping paralegal. Dalam situasi kebingungan, ayah korban menyetujui menerima restitusi dan santunan uang itu tanpa konsultasi ke pengacara.
Hasilnya, hakim menghukum para pelaku kejahatan perbudakan modern itu paling tinggi hanya 4,5 tahun sesuai tuntutan jaksa. Padahal, korban ”dijadikan budak” dan disiksa psikis, fisik, seksual oleh sembilan orang selama berbulan-bulan dan menjadikannya cacat tubuh dan jiwa.
Yang menyedihkan, restitusi dijadikan dasar penentuan penuntutan dan penjatuhan hukuman yang dinilai superringan dan jauh dari rasa keadilan bagi Khotimah.
Jaksa menggunakan argumen di Bab VIII Pedoman Kejaksaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Pada Poin B tentang Restitusi dinyatakan bahwa jaksa dapat mempertimbangkan tuntutan pidana yang lebih ringan jika terdakwa membayarkan restitusi.
Peraturan itu bertentangan dengan pandangan bahwa restitusi yang merupakan bagian dari restorative justice berfungsi sebagai tambahan hukuman (bukan untuk meringankan hukuman). Jadi, jika sembilan orang ramai-ramai melakukan penyiksaan yang menyebabkan kecacatan berat, hukuman harusnya minimal sembilan tahun sebagaimana kasus penyiksaan kepada PRT Anik pada 2016.
Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (4/7/2023) sebelum memberikan putusan menyatakan apresiasi atas kesediaan pelaku membayar restitusi dan memberikan santunan uang sehingga hakim memberikan hukuman sesuai tuntutan. Ini aneh, karena di awal persidangan, hakim menegaskan restitusi tak akan memengaruhi keputusan sebagaimana aturan Perma No 1/2022.
Yang menyedihkan, restitusi dijadikan dasar penentuan penuntutan dan penjatuhan hukuman yang dinilai superringan dan jauh dari rasa keadilan bagi Khotimah.
Singkatnya, sangat tak adil jika akhirnya hukuman pelaku diperingan atas dasar pembayaran restitusi dan santunan uang. Hukum seharusnya tak bisa diperjualbelikan. Pengadilan kesannya beralih fungsi sebagai pasar tempat penegak hukum berjualan keadilan. Putusan demikian akan jadi preseden buruk bagi penanganan kasus-kasus PRT di masa mendatang.
Nasib PRT bisa dimetaforakan sebagai kondisi sial bertubi-tubi—sudah jatuh tertimpa tangga, terseruduk truk lagi. RUU PPRT sedang diganjal pimpinan DPR meski sudah 20 tahun diperjuangkan, di pengadilan memperingan hukuman pelaku (karena mau membayar restitusi), dan setelah uang restitusi diterima malah dipakai bancakan keluarga.
Kekhawatiran bancakan ini berdasar karena jaringan PRT melihat Khotimah di bawah kontrol ayahnya. Ada kemungkinan Khotimah tidak sepenuhnya bisa mengelola haknya atas restitusi. Khotimah tidak punya otoritas untuk bisa mengambil keputusan secara mandiri. Ia menyatakan sungkan karena telah merepotkan keluarganya.
Pada 2016 ada dua kasus kekerasan terhadap PRT yang diputuskan dengan memberikan restitusi kepada korban. Pertama, Toipah, yang restitusinya kemudian digunakan untuk memperbaiki rumah keluarganya dan sisanya dipinjam kerabatnya. Praktis, Toipah melongo, bahkan lalu dibebani untuk membayar utang keluarganya.
Kedua, Nurlaila, yang restitusinya dibelikan rumah dan disewakan sehingga bisa jadi sumber penghasilan pasif untuknya. Tetapi, kemudian keluarga memintanya menggadaikan rumah itu. Ini bisa dicegah karena LPSK dan kuasa hukum menyimpan sertifikat rumah. Nurlaila terlindungi bahkan di masa pascapemberian restitusi.
Siti Khotimah (23), asisten rumah tangga korban penganiayaan oleh majikan, bersama ayahnya, Suparno, menjadi jadi saksi di Ruang Sidang Utama Prof H Oemar Seno Adji, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/6/2023). Siti disiksa oleh majikannya di sebuah apartemen di Simprug, Jakarta Selatan, pada September sampai Desember 2022 lalu.
Pendampingan LPSK
Kembali ke soal restitusi, LPSK adalah kunci karena satu-satunya lembaga yang punya wewenang untuk itu. LPSK sepatutnya mempunyai formula standar yang komprehensif, termasuk menyertakan biaya-biaya masa depan, baik material maupun imateriil. LPSK bisa menggunakan metode penghitungan restitusi untuk David sebagai rujukan.
LPSK juga harus melembagakan pendampingan berkelanjutan terhadap penggunaan uang restitusi bagi korban. Pendampingan termasuk dengan mengawasi penggunaan restitusi agar semaksimal mungkin bermanfaat bagi masa depan korban seperti pendampingan untuk Nurlaila di masa lalu.
Namun, ada isu penting dan mendasar, yaitu pentingnya Kejaksaan Agung merevisi Pedoman Kejaksaan RI Nomor 1 Tahun 2021. Jangan lagi ada jaksa yang menuntut rendah hukuman karena pelaku bersedia membayar (membeli hukuman dengan) restitusi.
Jika hakim tidak prokorban, ia juga akan cenderung memutuskan hukuman sesuai tuntutan jaksa yang rendah. Akibatnya, makin terpuruklah nasib PRT di masa 78 tahun kemerdekaan RI, yaitu terjebak dalam sistem yang membiarkan dan bahkan menikmati surplus dari kondisi perbudakan modern terhadap para perempuan miskin kita.
Eva K Sundari, Institut Sarinah
Eva Kusuma Sundari