Negosiasi sebagai Jalan Keluar Sengketa Antideforestasi
Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi dinilai bertentangan dengan Perjanjian TBT. Untuk itu, Indonesia perlu menyiapkan formula negosiasi, terutama untuk melindungi kepentingan nasional.
Oleh
AD AGUNG SULISTYO
·3 menit baca
Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi, yang dikenal dengan The EU Deforestation-Free Regulation (EUDR), mulai berlaku pada 29 Juni 2023. Indonesia sebagai pemasok beberapa komoditas unggulan yang turut diatur dalam regulasi tersebut perlu melakukan tindakan strategis guna melindungi kepentingan nasional. Jika salah langkah, dapat menghilangkan kesempatan Indonesia kembali berjaya di pasar Eropa. Sebagai sesama anggota WTO, Indonesia dapat menggunakan haknya untuk menggugat Uni Eropa atas pemberlakuan EUDR ataupun menegosiasikan alternatif jalan keluar dengan merujuk kepada aturan dan prinsip yang berlaku di WTO.
Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa Uni Eropa yang secara resmi dikenal di WTO sebagai Komunitas Eropa merupakan bentuk serikat pabean tunggal (single customs union). Sebagai customs union (CU), Uni Eropa patut menyelaraskan kebijakan komersial anggotanya terhadap negara ketiga. Namun, dengan tujuan melindungi kepentingan dan menanggapi kebutuhan di bidang ekonomi dan politik, CU dapat mengedepankan perlakuan preferensial yang mengarah kepada penyimpangan dari prinsip dasar multilateral. Prinsip dasar yang dimaksud adalah ”Most Favoured Nations” dari WTO yang lahir untuk melestarikan iklim non-diskriminasi di antara semua anggota.
Pengaturan regional Uni Eropa dan multilateral WTO sejatinya berbagi tujuan yang sama dalam liberalisasi perdagangan. Dalam ruang lingkup dan kedalaman pengaturan yang berbeda, sistem perdagangan multilateral WTO dan perjanjian preferensial Komunitas Eropa tidak jarang berujung masalah yang kompleks. Terdapat benturan sistem dan inkonsistensi antara pendekatan diskriminatif dan nondiskriminatif. Secara umum tidak ada perspektif tunggal yang dapat menjelaskan kompleksitas hubungan perdagangan internasional. Oleh karena itu, perlu dikaji secara khusus koeksistensi pelaksanaan rezim EUDR dalam keseluruhan sistem WTO.
EUDR digerakkan oleh isu perluasan lahan pertanian yang terkait dengan produksi komoditas, seperti daging sapi, kelapa sawit, kedelai, kayu, cokelat, kopi, karet, dan beberapa produk turunannya. Sebagai bidang perdagangan barang, EUDR berhubungan dengan kondisi-kondisi dan ketentuan yang relevan dengan Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT). Perhatian khusus dapat diberikan pada pasal XXIV (5) GATT, di mana EUDR harus tunduk pula kepada persyaratan perdagangan eksternal. Sebagai anggota WTO, Uni Eropa diizinkan mengeluarkan kebijakan dan regulasi selama tidak memunculkan hambatan perdagangan negara-negara anggota WTO lainnya di luar komunitas mereka.
Penting untuk dipahami, terdapat penegasan bahwa aturan WTO merupakan piagam konstitusional dunia yang bersifat memaksa dan menjadi pilihan kebijakan yang tersedia bagi para pemimpin publik dan swasta. Oleh karena itu, kebijakan Uni Eropa yang tidak konsisten dengan hukum WTO dapat dinyatakan void ab initio dengan konsekuensi tanggung jawab negara di bawah hukum internasional.
Namun, langkah yang kurang bijak jika memasrahkan peran tunggal WTO bagi keseluruhan sengketa legalitas perjanjian yang bersifat preferensial. Terdapat satu persoalan lain terkait efektivitas forum penyelesaian sengketa WTO. Hingga saat ini, ketentuan WTO tentang CU belum dilengkapi dengan komponen yang cukup efisien untuk menghadapi realitas hubungan CU serta dampak pemberlakuan regulasi CU terhadap anggota-anggota WTO lainnya.
Bahkan, secara umum the WTO Committee on Regional Trade Agreements yang dipercayakan dengan tugas memverifikasi kepatuhan perjanjian perdagangan regional berdasarkan GATT Pasal XXIV dan GATS Pasal V secara praktis terbukti tidak berfungsi. Komite yang diharapkan mampu mengawasi kompatibilitas perjanjian perdagangan regional dengan aturan multilateral WTO itu belum mampu secara aktual menjawab harapan organisasi dalam memonitor perjanjian-perjanjian preferensial, seperti CU Uni Eropa.
Kembali memperhatikan skema perdagangan yang diatur dalam pasal-pasalnya, EUDR dinilai bertentangan dengan Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement. Perjanjian TBT ini bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan, standar, prosedur pengujian, dan sertifikasi yang diikuti oleh anggota WTO tidak diskriminatif dan tidak menimbulkan hambatan perdagangan yang tidak perlu. Persoalan berawal dari sini, di mana regulasi dan standar teknis dapat bervariasi di satu negara dengan negara lain. Demikian pula dengan standar terkait deforestasi dan degradasi hutan Uni Eropa tidak selalu sama dengan negara-negara produsen. Sementara standar yang ditetapkan secara sewenang-wenang merupakan alasan untuk proteksionisme sehingga standar tersebut menjadi hambatan bagi perdagangan.
Pemahaman awalnya adalah bahwa keberadaan Komunitas Eropa dengan regulasi yang dikeluarkan hanya dapat berguna bagi perdagangan dunia jika kebijakan perdagangan eksternal diarahkan bagi kerja sama kooperatif demi terciptanya kesejahteraan tidak hanya bagi komunitas internal, tetapi juga bagi wilayah dan negara lain. Untuk itu, pulalah Perjanjian TBT mendorong negara-negara untuk saling mengakui standar dan prosedur masing-masing dalam menilai apakah suatu produk sesuai.
Memahami kondisi tersebut, saat ini yang perlu disiapkan oleh Indonesia adalah formula negosiasi guna merundingkan alternatif-alternatif yang mengarah kepada penyamaan skema identifikasi, standar teknis, hingga sertifikasi yang dapat disepakati bersama. Sejatinya terdapat semangat yang sama dalam hal pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.