Dalam negara demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak dasar yang dilindungi konstitusi. Menurut Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945, ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Namun, Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal. Demokrasi Pancasila menjunjung tinggi kebenaran, kebaikan, dan keadilan, sekaligus mendorong kerukunan serta toleransi dalam persatuan dan kesatuan bangsa.
Pascareformasi, publik mengalami euforia kebebasan menyampaikan pendapat, terlebih pada perkembangan teknologi komunikasi saat ini dengan ragam platform media sosial dan situs berita yang tumbuh pesat. Cukup bermodalkan sebuah gawai, sudah bisa membuat berita dan menyampaikan pendapat yang luas jangkauannya. Banyak yang bermanfaat, tetapi tidak sedikit merugikan sebab berisi fitnah ataupun berita bohong (hoaks) yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Dengan dalih kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, seolah-olah tidak ada lagi keseimbangan antara hak dan kewajiban, keterbukaan dan kesantunan. Jika dimintai pertanggungjawaban, merasa dirinya dikriminalisasikan.
Sangat disayangkan orang-orang yang notabene intelektual, akademisi, guru besar, ahli hukum, bahkan pemuka agama, tidak jengah menggunakan kebebasan untuk menghina, memfitnah, hingga menyebarkan kebencian kepada kelompok lain ataupun pemerintah. Tidak bisa membedakan kritik dengan penghinaan.
Menjadi pertanyaan, mengapa ini bisa terjadi? Pemerintah terlihat tidak berwibawa, serba salah, dan gamang menyikapi, khawatir dianggap tidak terbuka terhadap kritik dan melanggar hak asasi. Jika diibaratkan keluarga, kewibawaan orangtua sangat memengaruhi perkembangan opini ”anak terhadap orangtua”.
Transparansi dalam berkomunikasi, responsif terhadap kebutuhan, menjaga integritas dan etika, menjaga hukum dan keadilan, serta konsistensi dan kesinambungan kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat, akan meningkatkan kewibawaan pemerintah.
Meskipun kebebasan berpendapat merupakan hak dasar yang dilindungi undang-undang, tetap ada batasan berupa norma agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara. Inilah yang harus dipahami setiap pemangku kepentingan dalam berdemokrasi.
Kebebasan tanpa batas berarti kebablasan.
Pangeran Toba P HasibuanSei Bengawan, Medan 20121
Tas Belanja
Sampah plastik menjadi masalah klasik sejak dulu. Pemerintah kemudian membuat kebijakan yang bisa melibatkan masyarakat dan semua pemangku kepentingan untuk mengurangi sampah plastik.
Salah satunya dengan melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Meskipun tidak seluruhnya, kantong belanja dari plastik diganti dengan tas belanja ramah lingkungan, terutama dari gerai makanan cepat saji dan toko swalayan.
Masalahnya, konsumen yang pesan antar makanan ke rumah akan mendapat tas belanja guna memudahkan pengendara online mengantar kepada pemesan. Tiap kali pesan antar, tas belanja bukan plastik ini pasti disertakan dan berbayar pula. Tas belanja jadi menumpuk di rumah.
Demikian pula dengan tas belanja dari pasar swalayan. Tiap kali berbelanja, konsumen yang tidak membawa tas belanja harus membeli tas belanja bukan plastik.
Alangkah baiknya apabila setiap orang disiplin membawa sendiri tas belanja ramah lingkungan ke mana pun pergi. Dengan demikian, tidak hanya penggunaan kantong plastik dan sampah plastik bisa dikurangi, tetapi juga ”sampah” tas belanja bukan plastik.
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2022, timbunan sampah di Indonesia mencapai 18,30 juta ton per tahun. Komposisi didominasi sampah sisa makanan 41,9 persen, sampah tumbuhan (kayu, ranting, dan daun) 12 persen, sampah kertas 10,7 persen, sampah plastik 18,7 persen, dan sampah lainnya 6,9 persen.
Jika kita tidak disiplin membawa tas belanja dari rumah, tak ada guna berupaya mengurangi sampah plastik. Ini karena di lain pihak sampah beralih dari sampah plastik menjadi timbunan sampah tas belanja bukan plastik.
Vita PriyambadaMalang 65145