Kita sesungguhnya kehilangan intelektual yang rajin menggugah kita untuk merenungkan luasnya cakrawala imajinasi seni dan ilmu dan segala perkara yang masih perlu kita tempuh untuk kerja yang mungkin tak pernah usai.
Oleh
ENIN SUPRIYANTO
·4 menit baca
Pada akhir 1999, jurnalis senior JB Kristanto mengajak sejumlah akademisi dan penulis, termasuk Nirwan Arsuka dan saya, untuk mengisi edisi khusus ”1.000 Tahun Nusantara” yang terbit 1 Januari 2000.
Pengalaman penerbitan edisi khusus Kompas menyambut alaf baru itu menyadarkan kami akan langkanya media yang memuat pemikiran intelektual mengenai beragam soal sosial-budaya Indonesia. Obrolan kami berlanjut dalam ”Lembar Budaya Bentara” Kompas. Sekalipun pendek usianya, ada tiga buku Esai-esai Bentara (2002, 2003, 2004) yang merekam kiprah lembar bulanan ini.
Kegelisahan sekaligus kegairahan kami untuk ikut memperkaya khazanah kajian-kajian kritis mengenai berbagai perkara sosial-budaya Indonesia terus mempertemukan kami.
Kami, dengan modal seadanya, mendirikan Penerbit Nalar. Salah satu buku penting yang kami terbitkan, buah dari kegigihan Nirwan—mendapatkan naskah, menjaga proses penerjemahan dan penyuntingannya—adalah buku Christian Pelras, Manusia Bugis (2006).
Dari perkenalan ini, saya belajar banyak dari almarhum, manusia pembelajar sejati.
Dari perkenalan ini, saya belajar banyak dari almarhum, manusia pembelajar sejati. Pencapaian manusia dalam khazanah seni dan ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang bertumpu pada keunggulan nalar manusia untuk menyelesaikan soal-soal kehidupan atau sekadar memperluas imajinasi yang melampaui segala keterbatasan fisik, adalah pokok perhatian dan perenungan yang terus menggoda dan menggairahkannya.
Pustaka Bergerak
Pada 2011 (sampai 2019), saya berkesempatan mengurus Simposium Khatulistiwa, forum internasional Yayasan Biennale Yogyakarta. Kala itu, Nirwan baru saja memulai ekspedisi berkuda yang ia rencanakan untuk mengelilingi Nusantara.
Dalam edisi simposium bertajuk ”Orang dan Orang Banyak, Etika dan Estetika untuk Demokrasi Abad 21” (2012), saya mengundang Nirwan untuk berbagi cerita, pengalaman, dan pengamatannya selama perjalanan berkuda ini.
Beragam pertemuan dengan warga sepanjang perjalanannya, pertemuan dengan anak-anak, membangkitkan semangat dan keyakinannya: ”Minat mereka untuk belajar sungguh luar biasa. Yang kurang, bahkan tak ada, adalah buku-buku bermutu untuk mereka baca.”
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo menyerahkan Beasiswa Literasi Digital Kompas.id kepada Pendiri Pustaka Bergerak Indonesia Nirwan Ahmad Arsuka dalam acara perayaan Hari Ulang Tahun Ke-6 Kompas.id di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Usai simposium, kami bertemu, ngobrol lagi dan lagi. Dari sini, lahirlah gagasan awal ”Pustaka Bergerak”, suatu gerakan literasi yang titik tumpu dan daya geraknya adalah kerja sukarela dari warga untuk warga, upaya ”sederhana” menyediakan buku-buku bermutu sekaligus ruang baca dan belajar bagi semua. Saya tak menyangka, gagasan yang berawal dari obrolan yang diwarnai canda tawa itu ternyata berisi benih kerja sosial-budaya luar biasa.
Pustaka Bergerak mendapat sambutan dari sekian banyak rekan di seluruh pelosok Nusantara. Saat ini, rekan-rekan penggerak, yang kami sebut ”simpul pustaka”, telah tersebar di ribuan titik, hadir di kota hingga desa, di bukit dan gunung hingga pesisir dan pulau kecil terpencil di berbagai penjuru Nusantara.
Pustaka Bergerak adalah jejaring sukarelawan yang jumlahnya puluhan ribu, yang penuh dedikasi menyisihkan waktu, tenaga, pikiran bahkan harta demi Indonesia yang makin cerdas. Pustaka Bergerak menjadi gerakan yang mempertemukan warga dengan warga dari berbagai penjuru Nusantara.
Pustaka Bergerak adalah jejaring sukarelawan yang jumlahnya puluhan ribu, yang penuh dedikasi menyisihkan waktu, tenaga, pikiran bahkan harta demi Indonesia yang makin cerdas.
Gelombang Pustaka Bergerak kemudian juga terdengar hingga mancanegara saat ia diundang hadir di Istanbul Biennial ke-17 (7 September 20 November 2022).
Untuk memenuhi undangan ini, Nirwan kembali menghubungi saya dan sejumlah rekan, mengajak berdiskusi tentang apa dan bagaimana sebaiknya menampilkan gerakan literasi yang berbasis jaringan antarwarga ini dan memanfaatkan acara Istanbul Biennial sebagai momentum untuk menuju tahapan kerja jaringan yang lebih besar, efektif, efisien, terbuka.
Strategi kebudayaan
Nirwan Ahmad Arsuka, lahir di Kampung Ulo, Barru, Sulawesi Selatan. Ia menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi di Jurusan Teknik Nuklir UGM, angkatan 1986. Untuk kerjanya memulai dan menumbuhkan gerakan literasi di Indonesia, almamaternya memberi penghargaan ”Alumni Mengabdi” pada 2022.
Latar belakang pendidikannya sama sekali tidak membatasi minat dan perhatiannya. Karya-karya esainya mencakup sains, teknologi, sejarah, sastra, seni rupa, bahasa, film, dan berbagai aspek sosial-budaya yang luas. Semuanya ia tulis dengan kefasihan dan kejernihan argumen sekaligus keindahan dan kekuatan bahasa Indonesia.
Nirwan Ahmad Arsuka, pegiat literasi Pustaka Bergerak.
Sekitar dua pekan lalu, kami jumpa dan ngobrol. Tak ada tanda ia sakit atau mengeluh soal kesehatan. Untuk memajukan dan memperluas Pustaka Bergerak, kami membicarakan serah terima simpul gerakan ini ke rekan-rekan muda. Dalam perjalanan saya dari Ujung Pandang ke Jakarta, ia mengirimkan tautan esainya, ”Hilirisasi Budaya, Gelombang Nusa” (Kompas, 1/8/2023).
Esai yang terbit sebelum ajal menjemputnya ini sekali lagi membuktikan keyakinan Nirwan akan pentingnya ”strategi kebudayaan” yang tepat bagi kemajuan Indonesia. Ia mengingatkan, ”hilirisasi” tak bisa hanya berhenti pada soal mendapatkan nilai lebih dari kekayaan alam, tetapi perlu diarahkan ke penguatan daya cipta seni budaya kita yang kaya raya.
Belum lagi saya membalas pesannya dan menentukan perjumpaan kami yang selanjutnya, kabar duka itu muncul. Saya terpukul dan berduka karena kehilangan salah seorang sahabat yang selalu bersemangat untuk kerja apa pun demi ”memajukan kejernihan nalar manusia Indonesia”.
Ia yakin betul kejernihan nalar ini adalah syarat penentu kemajuan negeri ini. ”Nalar yang jernih dan kritis” bagi Nirwan adalah keniscayaan untuk mengikis cara pikir yang terkungkung mitos dan fanatisme, penghambat segala upaya perbaikan dan pemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita sesungguhnya kehilangan intelektual yang rajin menggugah kita untuk merenungkan luasnya cakrawala imajinasi seni dan ilmu dan segala perkara yang masih perlu kita tempuh untuk kerja yang mungkin tak pernah usai: memenuhi keagungan kemanusiaan kita.