Pembelajaran di PAUD yang cenderung konvensional dan berorientasi membaca, menulis, dan berhitung mendesak diminimalisasi. Membudayakan aktivitas bermain bebas akan mengembangkan potensi utuh anak.
Oleh
IMAM FITRI RAHMADI
·4 menit baca
Bulan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi momentum tepat mengetengahkan diskursus Merdeka Belajar sejak dini. Anak-anak generasi penerus bangsa sudah kehilangan kemerdekaan akademik, berupa kesempatan belajar sesuai minat dan bakat sejak di taman kanak-kanak atau kelompok bermain. Mereka tidak memiliki pilihan aktivitas belajar selain mengikuti perintah guru dalam pembelajaran klasikal setiap hari.
Pembelajaran anak usia dini yang memerdekakan masih dalam harapan. Bukan sekadar kebijakan Merdeka Belajar episode ke-24: transisi menyenangkan dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah dasar (SD), diperlukan perhatian lebih serius hingga menembus ke ruang-ruang kelas demi mewujudkan harapan itu menjadi kenyataan. Terlebih, pembelajaran berdiferensiasi yang ditawarkan samar cara penerapannya di kelas.
Serius memperhatikan pendidikan dini pernah disuarakan oleh Yudi Latif dalam tulisan berjudul ”Rekonstruksi Pendidikan” (Kompas, 4/5/2022). Menurut dia, mata rantai terlemah terletak pada jenjang pendidikan dini dan dasar. Perlu dilakukan perubahan radikal atas pembelajaran terstruktur dan mendikte serta sarat pemaksaan hafalan dan hitungan.
Kemerdekaan belajar ditekankan oleh Anita Lie melalui artikel berjudul ”Merdeka Belajar untuk Kebahagiaan” (Kompas, 1/2/2020). Menjamin kebebasan belajar sama dengan memerdekakan manusia, memanusiakan manusia. Ketika manusia dimanusiakan sebenar-benarnya dalam proses perolehan ilmu pengetahuan, kebahagiaan dan kebermanfaatan bagi sesama terwujud.
Bukankah salah satu tujuan luhur pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah memerdekakan manusia lahir dan batin dengan cara mendorong tumbuh kembang anak sesuai potensi diri? Artikel ini merasionalisasi merdeka belajar sejak dini dengan mendiskusikan urgensi, upaya, dan tantangan mewujudkannya.
Urgensi
Memberi kemerdekaan belajar tidak harus menunggu pada jenjang pendidikan tertinggi. Jumlah peserta didik di PAUD terus meningkat tajam dari 3.314.195 tahun 2015 menjadi 6.480.200 pada 2019. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 mendapati 11,21 persen atau sekitar 30,73 juta anak usia dini (0-6 tahun) di Indonesia. Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 4.2 menantang fasilitasi PAUD berkualitas hingga 2030. Adalah keniscayaan menginisiasi keleluasaan proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar dari level pendidikan terendah sekalipun.
Kemerdekaan belajar dini menyemai benih keterampilan belajar mandiri. Anak layak diberi kesempatan memilih sendiri aktivitas belajar di kelas. Menjalani pilihan dengan penuh rasa tanggung jawab, menentukan strategi terbaik, dan merasakan perkembangan diri atas proses belajar lebih merdeka. Hal itu mengasah kemampuan merencanakan, mengontrol, dan mengevaluasi belajar sendiri atau self-regulatedlearning skills (Zimmerman, 2008) sejak dini. Menjadikan mereka pembelajar mandiri sejati kelak di perguruan tinggi.
Kemerdekaan belajar dini menyemai benih keterampilan belajar mandiri. Anak layak diberi kesempatan memilih sendiri aktivitas belajar di kelas.
Kemerdekaan belajar dini memanusiakan anak seutuhnya. Sungguh ironi perintah sedheku, istilah dalam bahasa Jawa menggambarkan posisi ”duduk rapi lipat tangan di atas meja” yang telanjur membudaya. Anak datang ke taman kanak-kanak bukan untuk duduk dan melipat tangan seperti robot, lalu mengikuti perintah guru. Justru mereka harus banyak bergerak dan membuka tangan, lantas guru menuruti kehendak belajar anak. Patut memosisikan anak sebagai raja pembelajaran. Kalimat awal semestinya diucap guru ketika membuka sesi pembelajaran yakni: anak-anak kalian mau belajar apa?
Kemerdekaan belajar dini memperkaya pengalaman belajar. Jangan khawatir anak tidak belajar. Instruksi terbuka membuat mereka banyak belajar. Anak-anak memiliki intuisi belajar sesuai ketertarikan dan kebutuhan diri secara alamiah.
Bersandar kepada Maria Montessori (1870-1952) dan Emmi Pikler (1902-1984), proses belajar yang mengedepankan kemandirian dan perkembangan natural efektif melejitkan potensi anak. Guru hanya perlu memfasilitasi sebesar-besarnya dan membantu seperlunya. Anak tidak perlu dibantu sekiranya bisa menyelesaikan aktivitas sendiri. Alhasil, ada peningkatan kepercayaan dan harga diri anak sebagai bekal kehidupan sepanjang hayat.
Membudayakan aktivitas bermain bebas (free play) menjadi ikhtiar konkret mewujudkan merdeka belajar dini. Tradisi instruksi langsung (direct instructions) perlu dikikis dari praktik pembelajaran pada 208.765 satuan PAUD se-Indonesia (Dapodik, semester genap 2022/2023). Merujuk Jennifer M Zosh dan kawan-kawan (2017), bermain bebas menempati level tertinggi dalam kontinum pembelajaran menyenangkan (playful learning) setelah bermain terbimbing (guided play), bermain permainan (games), dan instruksi langsung.
Bermain bebas memberi keleluasaan penuh untuk mengembangkan potensi utuh. Aktivitas bermain ditentukan sendiri oleh anak, bukan atas titah guru. Melalui bermain, anak-anak secara aktif membangun pemahaman tentang dunia (Jean Piaget, 1896-1980). Beberapa contoh kegiatan bermain bebas seperti mengonstruksi blok, menyusun potongan gambar, membuat kerajinan tangan, bermain peran bersama teman sejawat, atau memainkan instrumen musik mendorong eksplorasi dan aktualisasi diri.
Setiap anak unik. Meski sekelas, aktivitas belajar tidak harus seragam. Sebagian menyusun balok, corat-coret, mewarnai, lari-larian, dan yang lain mendengarkan bacaan cerita guru. Pelbagai aktivitas simultan terjadi dalam satu ruang kelas. Alangkah memesona melihat mereka masing-masing berproses sesuai bakat dan minat. Hal itu sejalan dengan rekomendasi United Nations Children’s Fund (Unicef, 2018), mempromosikan cara asyik belajar di sekolah, komunitas, dan rumah untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak.
Pembelajaran di PAUD yang masih cenderung konvensional dan berorientasi membaca, menulis, dan berhitung (calistung) mendesak diminimalisasi. Lebih relevan mengasah keterampilan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas melalui aktivitas bermain bebas sebagai bekal belajar di jejang selanjutnya, bekerja di lingkungan kompetitif, dan berkehidupan di abad ke-21.
Tantangan
Hambatan utama implementasi merdeka belajar dini melalui aktivitas bermain bebas datang dari sebagian guru dan kebanyakan orangtua, khususnya para ibu. Guru senior kurang meyakini efektivitas bermain bebas dalam menumbuhkembangkan kecerdasan anak. Meminjam istilah Everett M Rogers (1962), mereka termasuk lambat (laggards). Jenis guru yang sangat lambat mengadopsi inovasi pedagogis karena lebih suka bergantung kepada didaktik lama (Rahmadi & Lavicza, International Journal on Social and Education Sciences, 2021).
Para orangtua belum menyadari fungsi edukatif bermain bebas. Ada pemeo di kalangan orangtua, mereka berseloroh, ”kalau di sekolah cuman bermain, buat apa ke sekolah, anak bisa bermain di rumah”. Ekspektasi menyekolahkan anak di PAUD ialah untuk dididik serius supaya cepat bisa calistung. Pantas bertebaran penawaran bimbingan belajar calistung di media sosial karena masih tinggi permintaan dari orangtua.
Ibu-ibu melihat kecerdasan anak berdasarkan kemampuan calistung. Mereka lebih percaya bahwa memiliki anak mampu membaca, menulis, dan berhitung dengan baik pada usia dini akan memberikan keunggulan di masa depan. Bahkan terdapat fenomena pamer kemahiran calistung anak di kalangan para ibu sebagai prestise sosial, tanda kesuksesan orangtua mendidik anak.
Selain itu, muncul tantangan budaya. Sebagian besar masyarakat menganggap sedheku sebagai norma baik dan penting untuk mengajarkan kedisiplinan dan tata krama. Perlu bersikap inklusif terhadap nilai-nilai budaya baru yang lebih mendukung pengembangan kreativitas, pemikiran kritis, dan kemandirian anak.
Pelbagai rintangan mengindikasikan kebutuhan edukasi orangtua, guru, dan masyarakat terhadap praktik pedagogis menyenangkan di PAUD. Merdeka belajar sejak dini harus terus diupayakan sebagai kesempatan menancapkan fondasi kemandirian belajar sedalam samudra dan mendorong potensi anak setinggi langit.