Keinginan pemerintah untuk melegalisasi 3,3 juta hektar lahan sawit yang berada di hutan punya implikasi negatif bagi industri sawit Indonesia. Legalisasi perkebunan sawit ilegal akan memperburuk posisi tawar Indonesia.
Oleh
ANDI IRAWAN
·4 menit baca
Pemerintah berencana memutihkan atau melegalkan 3,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang selama ini berada di kawasan hutan. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola industri sawit yang sebelumnya dianggap tidak teratur. Dengan pemutihan ini, luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan, koperasi, dan masyarakat akan jelas statusnya dan mereka menjadi patuh terhadap hukum dan kewajiban pajak.
Pemutihan dilakukan sebagai upaya penyelesaian masalah kebun sawit yang sesuai dengan mekanisme Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja. Masalah itu terkait dengan izin lokasi dan hak guna usaha perkebunan sawit yang sering tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, luas total lahan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektar. Dari jumlah tersebut, sekitar 10,4 juta hektar dimiliki perusahaan, sementara sisanya dimiliki perkebunan rakyat. Namun, ada 3,3 juta hektar lahan sawit Indonesia yang berada di dalam kawasan hutan (Kompas, 23/6/2023).
Dengan pemutihan ini, luas perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan, koperasi, dan masyarakat akan jelas statusnya dan mereka menjadi patuh terhadap hukum dan kewajiban pajak.
Rencana pemerintah ini menarik untuk disimak dampaknya bagi industri sawit kita. Penulis berpandangan keinginan pemerintah untuk melegalisasi 3,3 juta lahan sawit yang berada di kawasan hutan punya implikasi negatif bagi industri sawit Indonesia. Mengapa? Isu penting sawit di tataran global adalah bahwa sawit dikelola secara tidak berkelanjutan.
Keinginan pemerintah untuk menjadikan 3,3 juta lahan sawit di kawasan hutan berstatus legal akan kian mengonfirmasi stigma bahwa tata kelola sawit Indonesia abai terhadap prinsip keberlanjutan.
Pertanyaan krusialnya adalah apa bisa lahan sawit yang menyebabkan deforestasi—karena dibuka di lahan hutan—kemudian hanya dengan keputusan politik dan peraturan negara bisa diubah menjadi lahan yang legal dalam makna lahan tersebut lahan yang bukan berasal dari kawasan hutan?
Deforestasi adalah isu ilmiah dan saintifik, bukan isu politik. Landasan keputusan untuk menentukan suatu lahan menyebabkan deforestasi atau menyebabkan konversi hutan adalah bukti saintifik. Komunitas internasional memahami terjadinya konversi lahan hutan ke penggunaan lain (misal sawit) adalah karena bukti saintifik.
Kita tahu setidaknya ada sejumlah teknologi yang bisa memverifikasi terjadinya konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain. Pertama, lewat penginderaan jauh (remote sensing), dengan menggunakan satelit dan sensor pesawat udara untuk memperoleh gambar dan data permukaan bumi.
Dengan citra satelit dan penganalisis data, dunia dapat melacak perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Termasuk juga mendeteksi perubahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan sawit atau mendeteksi perubahan luas hutan yang terjadi dan tindakan ilegal seperti deforestasi.
Komunitas internasional memahami terjadinya konversi lahan hutan ke penggunaan lain (misal sawit) adalah karena bukti saintifik.
Kedua, Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS). GIS adalah teknologi yang memungkinkan integrasi, analisis, dan visualisasi data berbasis lokasi.
Dengan memakai data spasial seperti peta hutan dan peta lahan pertanian, serta data lain seperti data iklim dan topografi, dunia bisa mengidentifikasi perubahan dalam penggunaan lahan secara rinci dan memetakan batas antara hutan yang dilindungi dan lahan pertanian.
Ketiga, citra satelit resolusi tinggi. Dengan teknologi yang menyediakan gambaran yang jelas dan terperinci permukaan bumi ini, dunia dapat mengidentifikasi perbedaan dalam pola tanaman dan mengenali tanda-tanda kegiatan manusia yang menunjukkan lahan pertanian mungkin berasal dari lahan hutan yang dilindungi.
Keempat, dengan teknologi blockchain yang menyimpan catatan transaksi dalam bentuk rantai blok terenkripsi dan terhubung. Dalam konteks konservasi hutan, teknologi blockchain dapat digunakan untuk mengidentifikasi asal-usul produk hasil hutan, termasuk produk pertanian, seperti sawit. Dengan mengawasi rantai pasok melalui blockchain, dunia dapat memverifikasi apakah produk itu berasal dari lahan hutan yang dilindungi atau tidak.
Artinya, dengan melegalisasi status lahan sawit di kawasan hutan hanya dengan pertimbangan politik, sama saja kita dengan sengaja membohongi komunitas global tentang sesuatu yang bisa mereka verifikasi sendiri dengan teknologi.
Langkah ini juga berpotensi memperburuk citra sawit Indonesia di hadapan komunitas global, terkait pentingnya menjaga prinsip keberlanjutan.
Secara teknis, implikasi negatifnya adalah tata kelola sawit Indonesia yang berkelanjutan melalui sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) akan semakin sulit dipercaya komunitas sawit dunia.
Citra ISPO selama ini dinilai oleh sejumlah pihak lebih fokus pada aspek ekonomi dan abai terhadap aspek-aspek penting lain dari keberlanjutan, seperti pelestarian hutan.
Para pelaku sawit dunia, terutama Uni Eropa dan AS, memiliki kekhawatiran bahwa ISPO belum sepenuhnya mampu mencegah perluasan perkebunan kelapa sawit ke area-area yang kritis, seperti hutan gambut atau kawasan hutan primer, yang berkontribusi pada degradasi lingkungan dan hilangnya habitat bagi flora dan fauna.
Legalisasi perkebunan sawit ilegal di lahan hutan hanya akan semakin memperburuk citra dan posisi tawar sawit Indonesia di tataran global.
Kritik lain terkait kelemahan ISPO adalah menyangkut aspek penegakan dan pemantauan kepatuhan terhadap standar yang ada. Komunitas global tak bisa berharap pada kerangka hukum yang mengatur ISPO, dalam penegakan hukum dan pemantauan terhadap pelanggaran yang terjadi.
Hal ini karena terbukti bahkan negara/pemerintah yang melahirkan ISPO tersebut bisa dengan mudah melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan prinsip yang ada dalam ISPO terkait deforestasi. Dalam hal ini, kebijakan negara yang permisif terhadap deforestasi.
Sekali lagi kita mengingatkan, keputusan memutihkan perkebunan sawit di lahan hutan tidak bisa diputuskan hanya dengan political will dan aturan negara kita secara sepihak.
Langkah ini harus dilandaskan pada obyektivitas yang diakui dunia karena isu deforestasi dan sawit adalah isu yang menjadi perhatian komunitas dunia. Legalisasi perkebunan sawit ilegal di lahan hutan hanya akan semakin memperburuk citra dan posisi tawar sawit Indonesia di tataran global.
Andi Irawan,Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu dan Ketua Bidang Kebijakan Publik Asasi (Perkumpulan Akademisi dan Saintis Indonesia)