Mencari Cawapres Terbaik
Meskipun mendekati waktu pendaftaran pasangan capres dan cawapres tampaknya kompetisi sedang sengit. Mengapa penentuan cawapres rumit dan lamban? Sosok cawapres seperti apakah yang kita butuhkan sebagai pemilih?
Pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 sudah semakin dekat. Penentuan para calon wakil presiden masih belum pasti, meskipun sudah mendekati waktu pendaftaran, yakni Oktober 2023.
Di tengah sengitnya kompetisi di antara para calon presiden (capres), faktor cawapres dipandang dapat meningkatkan perolehan suara dalam pemilu. Mengapa penentuan cawapres terlihat lebih rumit dan lamban? Dan sosok cawapres seperti apakah yang kita butuhkan sebagai pemilih?
Pemilihan cawapres menjadi kompleks karena beberapa kondisi, di antaranya banyaknya veto players yang berpengaruh dan ikut terlibat dalam menentukan siapa yang akan diusung setiap partai di koalisi.
Jumlah veto players dalam setiap koalisi yang banyak memengaruhi lamanya waktu pengambilan keputusan terkait cawapres. Veto player yang banyak itu tentu juga mempunyai kepentingan politik (political interest) yang beragam, sehingga penentuan cawapres menjadi rumit. Padahal, dari sisi politik dan ekonomi, proses yang lama tersebut menciptakan ketidakpastian, tidak hanya bagi pemilih dan kandidat, tetapi juga prospek investasi ke depan.
Dibandingkan dengan cawapres, veto player dalam penentuan capres lebih sedikit. Misalnya, veto player dalam penentuan capres dari PDI-P (Ganjar Pranowo) adalah Megawati Soekarnoputri. Untuk capres dari Gerindra (Prabowo Subianto), veto player adalah Prabowo Subianto sendiri. Sementara, untuk capres Anies Baswedan, para veto players-nya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Surya Paloh, dan Salim Segaf Al-Jufri.
Mengapa penentuan cawapres terlihat lebih rumit dan lamban?
Selain veto players, persyaratan pencalonan para calon anggota legislatif (caleg) untuk 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional, juga menyumbang kerumitan. Persyaratan yang tinggi tersebut membuat partai-partai saling mengunci, dan ketergantungan ke partai lain menjadi tinggi. Pada akhirnya, koalisi tidak lagi dibentuk karena kesamaan platform dan program, tetapi hanya untuk memenuhi ambang batas pencalonan.
Pola penentuan
Kekuatan politik (dukungan partai) dan elektoral para cawapres yang relatif sama dan lebih berimbang di antara nama-nama yang ada (Sandiaga Uno, Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Andika Perkasa), juga menyulitkan bagi koalisi yang ada untuk menentukan pilihan.
Dalam kasus pemilu presiden di Indonesia, pimpinan partai masih menjadi veto player untuk menentukan cawapres dibandingkan dengan capres. Hal itu, misalnya, tampak dari kesepakatan partai-partai di menit akhir menjelang pendaftaran saat memutuskan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo (Jokowi), dalam Pilpres 2019.
Jauh sebelumnya, hal yang sama juga terjadi dalam pemilu-pemilu di Amerika Serikat, di mana pemilihan wapres awalnya juga sangat bergantung pada pimpinan partai. Pada Pemilu 1940, saat Presiden Franklin Delano Roosevelt mencalonkan diri untuk periode ketiga, ia memilih Henry Wallace, Menteri Pertanian, sebagai cawapres menggantikan John Nance Garner yang tidak dia sukai (Sigelman dan Wahlbeck, 1997).
.
Dengan popularitas yang tinggi, hingga kini Roosevelt adalah satu-satunya presiden AS yang menjabat lebih dari dua periode. Dalam perkembangannya, Barrack Obama, misalnya, membentuk sendiri tim untuk memilih Joe Biden sebagai cawapresnya.
Inovasi yang hampir serupa dilakukan oleh koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS, dengan memberikan kesempatan kepada capres untuk menentukan cawapres. Namun, tampaknya dalam proses penentuannya faktor ketua umum partai koalisi masih terlihat dominan.
Model pasangan
Hukum besi pencarian tiket cawapres biasanya mempertimbangkan balancing the ticket, baik perimbangan dari sisi geografi, demografi, usia, maupun ideologi. Model-model ini, misalnya, tidak hanya terjadi di AS yang juga menganut sistem presidensial, tetapi juga diadopsi di Indonesia dalam kombinasi model pencalonan pada pilpres dan pilkada.
Namun, belakangan studi Sigelman dan Wahlbeck (1997) yang meneliti model pencalonan wakil presiden sejak Pemilu 1940 sampai 1996 menemukan tiga faktor yang signifikan memengaruhi penentuan cawapres. Tiga faktor itu adalah jumlah pemilih pada negara bagian asal cawapres, keberimbangan usia cawapres, dan apakah cawapres pernah jadi kompetitor dalam konvensi di partai.
Tiga faktor di atas lebih signifikan dalam menjelaskan pola penentuan cawapres dibandingkan keberimbangan geografi (Utara, Selatan, Barat), dan ideologi (konservatif atau liberal).
Tiga faktor itu adalah jumlah pemilih pada negara bagian asal cawapres, keberimbangan usia cawapres, dan apakah cawapres pernah jadi kompetitor dalam konvensi di partai.
Di Indonesia model-model keberimbangan politik dalam menentukan cawapres juga dilakukan, meskipun dalam pemilu terakhir pendekatannya mulai berubah. Faktor kekuatan politik petahana memengaruhi pendekatan yang dipilih dalam penentuan cawapres (Jefferson & Fernandes, 2023).
Pada periode pertama kepemimpinannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi mempertimbangkan faktor keberimbangan secara geografi dengan memilih Jusuf Kalla yang berasal dari luar Pulau Jawa sebagai cawapres. Sementara pada periode kedua (baik SBY atau Jokowi), saat presiden petahana sudah kuat, ada kecenderungan petahana tak lagi mempertimbangkan faktor keberimbangan secara geografi, tetapi lebih mengedepankan aspek stabilitas politik dan ekonomi.
Pada periode kedua, Presiden SBY memilih Boediono yang sama-sama berasal dari Pulau Jawa. Sementara Presiden Jokowi memilih Ma’ruf Amin yang juga berasal dari Pulau Jawa sebagai cawapres untuk mendapatkan suara dari pemilih Nadhlatul Ulama.
Model lain, yaitu keberimbangan dari sisi demografi, juga terjadi saat Prabowo memilih Sandiaga Uno yang lebih muda darinya sebagai cawapres untuk mendapatkan dukungan dari pemilih muda.
Apakah model-model kombinasi tersebut masih relevan menjelaskan politik Indonesia ke depan? Level kompetisi akan memengaruhi apakah partai-partai masih mengadopsi model keberimbangan. Dalam kompetisi yang ketat seperti saat ini, keberimbangan geografi (Jawa dan luar Jawa), ideologi (Islamis dan nasionalis), serta sipil-militer, sepertinya tidak menjadi pertimbangan utama.
Dalam kondisi sekarang, faktor jumlah pemilih pada provinsi besar di Pulau Jawa dan basis politik cawapres akan menjadi penentu, selain faktor lain seperti usia. Dengan kompetisi yang ketat, partai atau kandidat akan melirik cawapres yang kuat di tiga provinsi utama di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) serta merepresentasikan keberimbangan dari sisi usia.
Dengan jumlah pemilih muda di bawah 40 tahun diprediksi akan mencapai 60 persen (CSIS, 2023), faktor cawapres yang dapat mengambil suara dari pemilih muda juga akan diperhitungkan.
Dalam situasi politik yang kompetitif dan multipartai, partai atau kandidat dapat menggunakan sejumlah pendekatan untuk mengidentifikasi penentuan cawapres. Basis penentuan tentunya beranjak pada aspek peluang kemenangan, stabilitas politik, wajah kabinet, dan daya tarik bagi pemilih.
Baca juga : Parpol Terus Jajaki Cawapres Potensial
Pertama, faktor stabilitas politik internal. Koalisi partai tentu perlu mempertimbangkan apakah penentuan cawapres akan menciptakan instabilitas internal atau tidak. Memilih cawapres yang tidak berpotensi mendapatkan penolakan internal tentu baik untuk menjaga soliditas koalisi.
Kedua, pertimbangan risiko politik. Bagi partai-partai di koalisi pemerintahan, pemilihan cawapres tentu akan memengaruhi hubungan partai dengan Jokowi. Sementara bagi koalisi non-pemerintahan, penentuan cawapres perlu mempertimbangkan apakah cawapres punya potensi risiko secara hukum.
Ketiga, faktor keunggulan kompetitif. Dalam kompetisi yang ketat, cawapres yang dapat memberikan nilai tambah bagi peluang kemenangan kandidat tentu akan mendapatkan prioritas dicalonkan, terutama kandidat yang kuat di tiga provinsi besar di Pulau Jawa.
Usulan
Dengan situasi dan tantangan ke depan yang semakin kompleks, koalisi partai perlu memikirkan secara serius siapa yang akan menjadi cawapres.
Faktor potensi kemenangan tentu akan jadi prioritas, tetapi hal yang penting lainnya adalah kemampuan bekerja sama dan pengalaman. Cawapres yang memiliki pengalaman di sektor ekonomi dan isu-isu strategis lainnya tentu bisa diperhitungkan mengingat situasi ekonomi ke depan yang masih belum sepenuhnya stabil.
Sementara untuk mengatasi problem kompleksitas penentuan cawapres karena tingginya ketidakpastian politik, perlu dipertimbangkan beberapa usulan strategis ke depan. Di antaranya, memberikan kewenangan bagi capres untuk dapat menentukan sendiri cawapresnya.
Dengan wewenang tersebut, capres dapat menentukan kebutuhan prioritas, memilih nama yang dapat bekerja sama bila terpilih, dan dapat mewujudkan agenda politiknya secara bersama.
Tentu akan ada trade off dalam proses penentuan cawapres, tetapi dengan adanya kewenangan bagi capres, capres lebih punya otoritas politik yang kuat.
Usulan kedua, terkait perlunya menurunkan syarat pencalonan presiden/wakil presiden dalam Pemilu 2029 ke angka 15 persen perolehan kursi di DPR. Hal tersebut memungkinkan partai lebih fleksibel menentukan mitra koalisinya berdasarkan platform dan potensi munculnya banyak calon menjadi terbuka sehingga pemilih lebih banyak opsi pilihan.
Arya FernandesKetua Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS