Faksi-faksi Palestina membentuk komite rekonsiliasi guna menyatukan perbedaan. Ini langkah positif, tetapi cerita berikutnya kerap berlawanan dengan harapan di awal.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Berita gembira datang dari El-Alamein, kota pantai di Laut Tengah, sekitar 100 kilometer sebelah barat Alexandria, Mesir. Di kota itu, Minggu (30/7/2023), tokoh dan pemimpin faksi-faksi Palestina bertukar pandangan. Hadir pula pemimpin dua faksi terbesar yang bersaing keras, Presiden Palestina Mahmoud Abbas (Fatah) serta Ismail Haniyeh (Hamas).
Dua pemimpin itu jarang bertemu, apalagi duduk satu meja. Dalam berita yang dirilis kantor berita Palestina, WAFA, terlihat Abbas dan Haniyeh duduk berdampingan dalam sesi foto bersama. Bagi keduanya, pertemuan di El-Alamein merupakan kelanjutan dari pertemuan di Ankara, Turki, Rabu (26/7/2023), saat mereka dijamu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Baik di Ankara maupun di El-Alamein, spirit pertemuannya sama, yakni mengakhiri perbedaan dan menyatukan pandangan dalam upaya mewujudkan cita-cita berdirinya negara Palestina. Seperti dikatakan Erdogan kepada Abbas dan Haniyeh di Ankara, minimnya persatuan di kalangan orang Palestina sendiri hanya menguntungkan pihak-pihak yang tidak menghendaki perdamaian di Palestina.
Pertemuan di El-Alamein disponsori Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi. Selain diikuti Fatah dan Hamas, pertemuan juga dihadiri hampir semua faksi di Palestina, kecuali kelompok Islam Jihad dan dua faksi kecil lainnya. Pertemuan itu dimaksudkan sebagai langkah awal rekonsiliasi nasional demi terwujudnya negara Palestina.
Dalam pernyataan seusai pertemuan, Abbas mengumumkan terbentuknya komite untuk melanjutkan dialog guna mengakhiri perpecahan dan mewujudkan persatuan nasional Palestina. ”Kita harus kembali menjadi satu negara, sistem tunggal, undang-undang satu, dan pasukan resmi tunggal,” ujar Abbas (Kompas.id, 31/7/2023).
Sudah lama tiadanya persatuan di kalangan internal Palestina menjadi keprihatinan banyak pihak. Perpecahan tergambar dari berjalannya dua pemerintahan secara paralel: Hamas di Jalur Gaza dan Otoritas Palestina (PA), yang dikuasai Fatah, di Tepi Barat. Sudah 17 tahun perpecahan itu membuat frustrasi pihak-pihak yang mendambakan persatuan.
Persatuan menjadi syarat mutlak bagi Palestina jika mereka ingin memiliki negara merdeka. Berbagai upaya menyatukan kelompok-kelompok di Palestina tak terhitung jumlahnya. Berulang kali pula terjalin kesepakatan mereka untuk bersatu. Namun, sering komitmen persatuan itu buyar.
Banyak faktor penyebabnya, dari tiadanya sosok pemersatu pasca-wafatnya Yasser Arafat, terperangkapnya faksi-faksi itu pada kepentingan sesaat, pertarungan kepentingan negara-negara kawasan, hingga perbedaan ideologi, platform, dan strategi kelompok-kelompok di Palestina. Karena itu, pertemuan El-Alamein harus diikuti langkah lanjutan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut.