Bulan Juli ini menjadi bulan terpanas global yang pernah tercatat. Tanpa upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca, fenomena ini adalah wajah masa depan manusia.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
”Kemanusiaan berada di kursi panas,” kalimat itu meluncur dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, Kamis (27/7/2023) pagi.
Informasi dari jumpa pers di markas PBB itu segera teramplifikasi ke seluruh dunia bahwa bulan Juli 2023 adalah bulan terpanas yang pernah tercatat. Data suhu global tiga pekan pertama Juli menunjukkan rata-rata suhu Bumi berada 1,5 derajat celsius di atas rata-rata suhu global sejak era pra-industri akhir tahun 1700 atau awal 1800.
Suhu ”mendidih” bulan Juli itu juga terkait gelombang panas di kawasan Amerika Utara, Asia, dan Eropa. Datangnya bersamaan dengan kebakaran lahan di Kanada dan Yunani.
Pernyataan Guterres itu diperkuat para peneliti ataupun lembaga meteorologi dunia bahwa situasi saat ini bukanlah puncak suhu global. Namun, sinyal masa depan manusia dalam bahaya. Manusia penyebab semua ini (antropogenik).
Bagi para pihak yang mengikuti perkembangan iklim global, terutama pemerintah, kondisi saat ini bukan tak terprediksi. Bahkan, sejak awal tahun 1900, dunia sudah memulai inisiatif KTT Bumi. Inisiatif itu menelurkan slogan ”Pembangunan Berkelanjutan”, yakni kebijakan pembangunan negara haruslah mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Perkembangan selanjutnya muncul Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang beranggotakan hampir seluruh negara. Para pemimpin pemerintahan/negara berkumpul berkala membahas masa kini dan masa depan iklim, termasuk kontribusi.
Apa yang terjadi, dunia seperti tak berdaya. Pembahasan perubahan iklim lebih berbau politik dan negosiasi ekonomi yang meminggirkan sisi manusia yang terimbas perubahan iklim dan pemanasan global. Petani, nelayan, pekerja lapangan, dan penghuni kawasan kutub dan pesisir dihantui gagal panen, abrasi, badai kian sering, es mencair, dan gelombang panas.
Adaptasi, itu yang paling masuk akal dilakukan, termasuk Indonesia, ketimbang menunggu komitmen global yang tak juga jelas. Amerika Serikat membentuk lembaga khusus mengawasi pekerja bangunan dan buruh tani agar terlindung dari gelombang panas. Negara kecil di tengah samudera dikabarkan menyewa lahan di negara lain sebagai antisipasi jika suatu saat perlu mengevakuasi warganya karena abrasi.
Di Tanah Air, apa hasil puluhan tahun terlibat dalam negosiasi perubahan iklim global? Kenapa petani terus menjerit gagal panen, nelayan kian jauh melaut, dan bencana hidrometeorologi kian sering memakan korban?
Rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sudah sejak tahun 2000-an. Kini, skema bursa karbon yang sedang dibahas pun dirancang agar bermanfaat bagi masyarakat.
Guterres benar, kemanusiaan ada di kursi panas, dunia tak bisa menunggu lagi. Pun Indonesia, kurangi wacana dan rencana atau mengambinghitamkan perubahan iklim. Wajah dampak iklim berwujud petani, nelayan, dan penyintas bencana. Pemerintah bergegaslah turun tangan sembari membangun tanpa merusak lingkungan.