Sejarah merupakan bagian peradaban, setiap bangsa, bahkan individu memiliki sejarah masing-masing. Tanpa sejarah masa lalu, tidak ada masa kini. Itu sebabnya, di sekolah ada mata pelajaran sejarah.
Sejarah adalah fakta otentik. Maka, idealnya sejarah dinarasikan apa adanya untuk pembelajaran sekaligus sumber inspirasi, tidak peduli baik atau buruk.
Mengakui sejarah apa pun faktanya adalah pribadi berjiwa besar, menerima sejarah berarti menghargai proses kehidupan. Bangsa Indonesia memiliki banyak sejarah baik yang terdokumentasikan atau lisan. Sayangnya, sejarah bangsa Indonesia disajikan dengan data yang dimanipulasi sejak anak di sekolah dasar, dengan alasan stabilitas nasional. Padahal, sejatinya untuk kepentingan penguasa. Doktrin ini terbawa sepanjang masa.
Membaca opini Ita Fatia Nadia, ”Sejarah dan Tanggung Jawab Kemanusiaan” (Kompas, 7/7/2023), bisa dipahami dua sisi, ibarat mengorek luka lama sekaligus dukungan moral bagi korban, dan upaya masyarakat mengingatkan penguasa yang abai tanggung jawab.
Setiap tahun politik, petahana dan calon kontestan selalu berjanji menangani kasus-kasus besar pelanggaran HAM berat. Saat berkuasa, berbagai instrumen dibentuk, tetapi hingga kekuasaan berakhir tak realisasi.
”Modus” ini selalu berulang dan rakyat yang tampaknya lebih suka dininabobokan terbuai. Saat pilihannya menang dan berkuasa, tetapi ingkar janji, baru mengeluh dan unjuk rasa. Akhirnya hal-hal seperti ini memancing kaum opurtunis memanfaatkan kesempatan.
Sikap masyarakat yang permisif ini karena kebutuhan dasarnya belum terpenuhi sehingga ”leleh” oleh kompensasi semu atau ikatan emosi berbasis primordial. Inilah yang merusak kualitas demokrasi.
Fenomena ini mengukuhkan dua asumsi. Pertama, penguasa memanfaatkan kelemahan rakyat sebagai landasan pacu menuju kepentingan pribadi atau kelompok. Apalagi memori kolektif rakyat mudah dikondisikan karena keterbatasan mereka. Kedua, penguasa terlibat sejarah kelam masa lalu dan takut posisinya terancam.
Seperti Ita Fatia, kalau mau mengungkap kebenaran sejarah, referensi utama adalah pelaku dan saksi lantas negara bersikap, memberi sanksi atau mengampuni terhadap pelaku kekerasan, rekonsiliasi, memulihkan trauma dan hak korban. Kemudian bersama-sama mulai hidup dengan paradigma baru dan faktual sesuai konsensus.
Kita sambut tahun politik dengan sehat dan cerdas.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi Cilengkrang, Bandung 40616