Kesinambungan
Upaya penghijauan mengilhami penduduk—dengan prakarsa sendiri—meremajakan tanaman hutan produksi jenis albasia dan pinus. Hal itu berkat ketekunan para penyuluh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pembangunan jalan tol semasa Pemerintahan Presiden Joko Widodo dibeberkan dalam webinar bertajuk “Sustainable Smart Road and Bridge” di Jakarta, Rabu (12/10/2022). Semakin banyaknya jalan yang terkoneksi membuat kelancaran arus barang semakin masif. KOMPAS/Stefanus Osa
Banyak kawan mengingatkan, ocehan saya di rubrik ini memberi gambaran buram bangsa tercinta. Niat baik memang sering dipersepsi keliru. Menebus dosa tersebut, saya menceritakan hal lain sebagai rasa syukur bisa ke luar kota setelah tiga tahun di rumah.
Setelah cerita Garut, ada pengalaman mengesankan sepanjang Jalan Tol Jakarta-Cikampek, lanjut ke Karawang-Purwakarta-Padalarang sampai Bandung.
Sepanjang jalan tampak pohon pelindung yang subur, bagaikan hutan kecil di antara bangunan beton bertingkat. Sejak 2010, zaman Menteri PU Djoko Kirmanto dan wakilnya almarhum Hermanto Dardak, dilakukan penanaman pohon di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 21. Gerakan yang setelah 13 tahun dapat kita nikmati hasilnya. Penghutanan sampai mencapai kota Bandung.
Dampak penghutanan ini diceritakan pengemudi keluarga kami. Di kampungnya di Cinemrang, Desa Bojong, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, upaya penghijauan mengilhami penduduk—dengan prakarsa sendiri—meremajakan tanaman hutan produksi jenis albasia dan pinus. Hal itu berkat ketekunan para penyuluh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kesejahteraan meningkat, banjir dan tanah longsor berkurang, Penduduk menikmati hasilnya lewat proses pencerdasan sederhana dan tepat guna. Hampir setiap rumah memiliki mobil. Gubuk bambu bertransformasi menjadi bangunan tembok permanen.
Otonomi daerah yang berjalan sesuai cita-cita semoga bisa merata dan membuat Indonesia melompat menjadi negeri maju. Di sisi lain ironisnya, urbanisasi tidak seiring dengan watak kejujuran.
Wali Kota Bandung Yana Mulyana, yang belum satu tahun dilantik, tahun 2023 terkena OTT KPK. Betapa pendidikan masih sering gagal mengupayakan peningkatan akhlak, membina manusia jujur berintegritas.
Di sinilah pentingnya payung kebijakan yang menaungi bangsa. Semoga payung kebijakan ini disadari oleh siapa pun pemenang pemilihan umum. Dari presiden, kepala daerah, hingga anggota legislatif terpilih pada 2024, memiliki jiwa kenegarawanan, jujur, berintegritas, serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS-STM PPM Menteng Raya, Jakarta
Etika Politik
Semakin dekat dengan Pilpres 2024, hiruk-pikuk manuver parpol semakin terasa. Ada yang mengusulkan capres dari parpol lain, padahal waktu itu parpol tersebut belum mengusung.
Ada yang rajin bertandang ke koalisi lain, mencari-cari kandidat di luar koalisi, mengintimidasi koalisinya agar cepat mengumumkan cawapresnya. Ada yang menuduh Presiden Jokowi cawe-cawe, ada mantan presiden bermimpi bekerja sama dengan presiden dan mantan presiden. Betapa dinamisnya politik saat ini.
Lalu bagaimana kalau itu dikaitkan dengan etika politik? Bertens (2000) mengartikan etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pasangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah laku. Adapun etika politik, Franz-Magnis Suseno (1999) mengaitkan dengan prinsip kesejahteraan umum. Semua kebijaksanaan harus demi keuntungan yang sebesar-besarnya demi orang sebanyak-banyaknya, tanpa melanggar hak dan keadilan.
Menurut saya, sejauh ini dinamika politik belum melanggar etika politik. Namun, masalah menjadi lain ketika pemimpin parpol baru mengancam melengserkan Jokowi atau ketua BEM perguruan tinggi mengancam Jokowi agar turun. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa hal ini menabrak etika politik.
Justru terjadi saat hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi meningkat. Survei oleh lembaga-lembaga survei kredibel itu menunjukkan tingkat kepuasan tinggi. Mari kita utamakan kepentingan bangsa.
Bharoto Jl Kelud Timur I, Semarang
Revolusi Mental

Eksepsi Johnny G Plate Ditolak, Sidang Dugaan Korupsi BTS 4G Berlanjut
Tak henti-hentinya rakyat didera penderitaan akibat korupsi. Tindakan yang menguras uang negara, yang notabene juga uang rakyat.
Setiap kasus korupsi besar bernilai triliunan rupiah, selama proses pengadilan bagi terdakwa korupsi belum berkekuatan hukum tetap, maka uang hasil korupsi belum bisa dikembalikan ke negara. Apalagi jika hasil korupsi sudah mengalir ke mana-mana.
Kalaupun bisa dilakukan penyitaan aset hasil korupsi, hanya beberapa persen yang dapat diselamatkan dan dikembalikan ke kas negara.
Sejak kasus megakorupsi e-KTP tahun 2011/2012 senilai Rp 2,3 triliun, hingga megakorupsi BTS 4G di Kemenkominfo senilai Rp 8 triliun, sepertinya tidak ada perubahan pola. Melibatkan banyak orang, dari pejabat, swasta, hingga politikus.
Korupsi e-KTP melibatkan Setya Novanto dari Partai Golkar, saat itu Ketua DPR. Korupsi BTS melibatkan Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate dari Partai Nasdem. Namun, pada pidato politiknya di GBK Senayan, Selasa, 18 Juli 2023, Ketua Umum Partai Nasdem menyentil soal revolusi mental yang pernah dicanangkan Presiden Joko Widodo, yang kata dia belum sesuai harapan.
Korupsi memang tak bisa dilepaskan dari soal mental. Mental ingin menjarah dan mengambil hak orang lain. Maka harta dan uang negara menjadi salah satu obyek korupsi. Hukuman terhadap para pelaku tidak membuat jera. Kasus korupsi terus terjadi.
Akibatnya, banyak kepentingan rakyat terabaikan. Banyak proyek yang terkait langsung kepentingan rakyat mundur atau tak terwujud.
Apa yang salah dengan bangsa ini? Korupsi ibarat benang kusut, yang menyangkut banyak aspek, dari ekonomi, sosial, politik, hingga budaya.
Revolusi mental tak mudah dilakukan ketika sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mendukung, tidak dibenahi mulai dari individu, partai, hingga masyarakat luas.
Sejarah bangsa yang sudah mengenal perilaku korup sejak dulu (upeti, gratifikasi) menjadi penghalang keberhasilan revolusi mental. Perlu waktu, perlu proses, dan kesabaran.
Budi Sartono Soetiardjo Kabupaten Bandung
Penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah makin dekat. Kita lihat berbagai lobi, konsolidasi, apel siaga, temu kader, makan siang para bos partai, ataupun kasak-kusuk, sudah semakin ramai. Kita rakyat Indonesia tentu juga harus bersiap.
Lingkungan internal partai, mitra koalisi, pemimpin, pendukung, dan sukarelawan bebas bicara memotivasi diri. Tapi, sebagai rakyat nonpartai, saya mengimbau agar dalam forum terbuka jangan lagi ada istilah presiden petugas partai. Istilah itu konotasinya meremehkan dan melecehkan.
Padahal, seorang presiden terpilih adalah lambang negara, kepala negara dan pemerintahan, pemimpin bangsa, dan panglima tertinggi. Hormatilah pemimpin kita.
Seorang presiden harus menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat. ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins,” kata Manuel L Quezon, 1935-1944.
Sebelum pilpres, semua capres adalah bakal presiden. Tetapi, begitu salah satu terpilih, ia presiden kita semua.
Sebaliknya, sebagai anggota partai, orang harus tetap setia kepada partainya dan boleh tidak mendukung pemerintah. Untuk yang satu ini ada kata-kata ”My loyalty to the party always. Loyalty to the government when it deserves it” (Mark Twain, 1835-1910).
Semoga kita makin dewasa dalam berbeda, tetapi tetap menghormati presiden kita.
Renville AlmatsierJl KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan 15411
Pendidikan dan Integritas
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F11%2F01%2F2a538d83-95c4-45ec-8052-08b44b917b15_jpg.jpg)
Pelajar melintasi salah satu stan pameran Widya Wahana Pendidikan yang menghadirkan sistem menanam sayuran hidroponik di Balai Pemuda, Surabaya, Jumat (1/11/2019). Pameran tersebut memamerkan keunggulan sekolah-sekolah yang ada di Surabaya. Banyak dari sekolah yang ikut menghadirkan tema peduli lingkungan.
Kompas (5/7/2023) memuat temuan KPK, bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, kepatuhan justru makin turun.
Ini bukan kejutan. Siswa SD yang masih di bawah asuhan orangtua tentunya masih patuh. Peran orangtua besar mengajarkan yang baik-baik.
Naik ke jenjang SMP dan SMA, siswa mulai menyaksikan contoh-contoh menyimpang, seperti menyontek dan menjiplak. Menjadi mahasiswa, makin ”melek” melihat korupsi yang membudaya.
Kompas (6/7/2023) menyimpulkan, perlu keteladanan dan lingkungan rumah dan sekolah yang mendukung penguatan karakter integritas.
Keteladanan dari siapa?
Nyatanya ada guru SD dan SMP yang menarik iuran di luar uang sekolah. Guru SMA memaksa siswa mengikuti les-les yang berbayar. Dosen PT memaksa mahasiswa membeli buku mereka, melakukan plagiasi dan menggunakan joki untuk menghasilkan karya ilmiah. Belum lagi pengajar pesantren yang mencabuli para santrinya.
Di tingkat kebijakan nasional, hampir semua pihak sepakat bahwa tingkat kemajuan dan kemakmuran bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan menghasilkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing. Namun, ukuran sukses pembangunan yang ditonjolkan selalu variabel-variabel kuantitatif, seperti PDB, pendapatan per kapita, dan infrastruktur fisik.
Hampir tak ada yang melaporkan pencapaian pengembangan kualitas manusia, seperti indeks pembangunan manusia, indeks inovasi nasional, tingkat literasi, numerasi, dan kemajuan kesehatan masyarakat (Yudi Latif, Kompas, 3/5/2023).
Dalam artikel yang sama Yudi Latif mengatakan, dunia pendidikan kita tak bisa terpisah dari politik. Dunia politik merecoki dunia pendidikan untuk kepentingan rezim mereka. Belum lagi perguruan tinggi yang malah menjatuhkan marwah keilmuannya dengan berlomba menganugerahkan gelar dan jabatan akademik kepada elite politik atau pengusaha yang tak terlibat pengembangan ilmu.
Jangan bicara pencapaian integritas Profil Pelajar Pancasila dulu. Rata-rata lama sekolah di Indonesia baru mencapai 9,08 tahun pada 2022, skor PISA dalam aspek membaca, matematika, dan sains masih rendah, di bawah 400, dan tingkat pendidikan pekerja Indonesia didominasi lulusan SD (Kompas, 2/6/2023). Malah Global Competitiveness Report 2017-2018 dari Forum Ekonomi Dunia menyebut rendahnya etika kerja pekerja Indonesia!
Pengembangan karakter harus jadi bagian mendasar pembangunan manusia Indonesia. Hal ini berkali-kali ditekankan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dalam beberapa pidatonya. Presiden Jokowi pun menggemakan revolusi mental, tetapi programnya sulit dilaksanakan.
Sumantoro MartowijoyoJl Batik Raya, Pekalongan