Indonesia perlu menjaga ketahanan ekonomi nasional serta mewaspadai gejolak persaingan China dan AS. Persaingan bisa berubah menjadi perang yang akan berakhir dengan kehancuran semua tanpa ada yang menang.
Oleh
J SOEDRAJAD DJIWANDONO
·3 menit baca
Kebijakan makro prudensial atau kebijakan makro yang berhati-hati diperlukan agar kebijakan ini bersama dengan yang lain dalam koordinasi yang terarah tidak justru menjadi sumber masalah, menimbulkan guncangan. Untuk itu, harus hati-hati dirumuskan dan dilaksanakan agar mencapai sasaran yang diinginkan.
Sasaran itu adalah terselenggaranya ketahanan ekonomi nasional. Lebih lanjut, ketahanan ekonomi ini diperlukan sebagai basis untuk pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang adil buat semua.
Dalam kaitan dengan kebijakan makroprudensial, besaran-besaran makro itu berbeda dengan mikro. Ini tampak dalam kita mengukur besaran-besaran tadi, tidak secara individual, tetapi penjumlahan yang menyeluruh. Karena itu, digunakan ukuran yang berbeda dengan ukuran individual, misalnya berbicara tentang harga, bukan untuk satu dua komoditas atau jasa, melainkan secara keseluruhan dan digunakan suatu indeks.
Untuk mengukur laju inflasi, misalnya, kita gunakan indeks harga barang-barang dan jasa-jasa yang merefleksikan belanja keluarga dalam Indeks Harga Konsumen (IHK). Demikian pula dengan tingkat pengangguran dan besaran makro lain.
Dalam hal ini, perlu disadari bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi dalam hubungan keterkaitan dengan negara-negara dan perekonomian lain yang saling membutuhkan satu sama lain.
Dalam hubungan perdagangan, finansial, ekonomi, sosial, dan politik antarnegara ini, semua menghadapi risiko, bahkan ketidakpastian, dengan masing-masing berusaha menghindarkan atau menjadikannya sekecil mungkin guna meraih manfaat yang optimal. Untuk itulah ketahanan ekonomi nasional perlu dipupuk dan diperkuat terus.
Dewasa ini indikator ekonomi Indonesia menunjukkan hasil kinerja yang cukup bagus. Laju pertumbuhan ekonomi kita sekitar 5 persen, laju inflasi 2,7 persen, pengangguran terbuka 5,4 persen. Semua pantas kita syukuri dalam masa di mana ekonomi dunia memang sedang kurang baik kondisinya. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini 2,7 persen, turun dari 3,3 persen tahun lalu.
Kita juga masih perlu berusaha keras untuk memperbaiki salah satu kinerja yang memprihatinkan, yaitu rasio antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio yang hanya 9 persen, lebih rendah dari Laos, bahkan dari Siera Leone. Pada tahun 1990-an, rasio pajak kita pernah mendekati 16 persen. Ini perlu kita raih kembali.
Sebagaimana kita ketahui, angka untuk negara-negara maju adalah 30 persen. Ini adalah salah satu indikator kekuatan nasional untuk memikul beban pengembalian pinjaman nasional dan menjaga ketahanan ekonomi nasional.
Mewaspadai gejolak
Dalam kaitan global, kita juga perlu terus mewaspadai gejolak yang akan timbul dalam persaingan kekuatan dari negara-negara adikuasa, China dan AS. Baru-baru ini ada ahli yang menyebutkan, kedua negara ini akan berperang satu melawan yang lain.
Sejarah melihat, timbulnya perang kerap disebabkan oleh masalah sepele. Penulis juga sering mengingatkan soal hasil studi Profesor Graham Allison dari JF Kennedy School of Government, Harvard University, yang melaporkan dalam bukunya, Destined for War, Can America and China Avoid War. Dalam studi itu dijelaskan apa yang dikenal sebagai Thucydides Traps, persaingan antara negara adikuasa dan yang baru muncul menjadi adikuasa.
Persaingan ini bisa berubah menjadi perang yang akan berakhir dengan kehancuran semua tanpa ada yang menang. Ahli sejarah kuno Yunani, Thucydides, menggambarkan seperti persaingan antara Sparta dan Athena, yang berakhir dalam perang Polynesia dan kehancuran kedua negara kota tersebut.
Dalam kaitan global, kita juga perlu terus mewaspadai gejolak yang akan timbul dalam persaingan kekuatan dari negara-negara adikuasa, China dan AS.
Profesor Allison mengumpulkan 16 kasus dan studinya, dengan 12 kasus berakhir dengan perang. Perang antara Sparta dan Athena yang banyak korban tentu saja kecil dalam ukuran sekarang. Sekiranya terjadi perang nuklir antara China dan AS karena salah satu atau kedua pemimpin negara itu sudah kehilangan akal sehatnya, akibatnya kita semua hanya akan menjadi bagian dari sejarah saja.
Tentu kita semua berharap hal itu tidak akan terjadi.
Penyerangan Rusia terhadap Ukraina yang berlangsung sejak Februari 2022 masih belum juga berakhir. Ini telah melibatkan dukungan dari negara-negara, termasuk kedua negara adikuasa. AS bersama semua anggota NATO bersatu mendukung Ukraina, sementara China mendukung Rusia.
Presiden Volodymyr Zelenskyy dalam KTT NATO di Vilnius, Lituania, baru-baru ini mendesak agar Ukraina bisa diterima menjadi anggota saat ini. Akan tetapi, Presiden Joe Biden mengatakan ini bukan waktu yang baik buat Ukraina bergabung, karena itu akan berarti perang Rusia-Ukraina berubah menjadi perang Rusia dengan NATO yang tentu menyeret AS dan di pihak Rusia akan ada China.
Akankah ini menjadi kasus ke-13 dari Thucydides Traps? Mudah-mudahan tidak sampai terjadi. Bukankah itu harapan kita semua?
J Soedradjad Djiwandono Guru Besar Ekonomi Emeritus FEBUI, dan Guru Besar Tamu RSIS-NTU