Sel yang ditempati di lembaga pemasyarakatan jangan seperti kamar hotel, tetapi samakan dengan sel penjahat kelas teri. Apabila perlu, koruptor dicampur dalam sel yang sama dengan penjahat biasa.
Oleh
A Agoes Soediamhadi
·3 menit baca
Merespons hasil Survei Penilaian Integritas Pendidikan dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang masih rendah (Kompas, 5/7/2023), disimpulkan bahwa membangun pendidikan yang berintegritas harus melalui kolaborasi tiga pusat pendidikan: sekolah, keluarga, serta pemuda dan masyarakat.
Demikian tertulis dalam Tajuk Rencana berjudul ”Bangun Pendidikan yang Berintegritas” (Kompas, 6/7/2023). Namun, ketiga faktor tersebut merupakan masalah di hulu, sedangkan di hilir, antara lain, ekosistem tempat kerja dan pemberantasan koruptor juga harus digarap.
Guna menangani koruptor perlu diterapkan Tiga M. Pertama, menghukum koruptor seberat-beratnya, sebab korupsi adalah kejahatan luar biasa. Selama ini hukuman yang dijatuhkan tidak menimbulkan efek jera.
Hendaknya dicari hakim sekaliber Artidjo Alkostar yang biasa menjatuhkan hukuman berat. Koruptor yang melarikan diri jika tertangkap diperlakukan sama dengan penjahat jalanan, ditembak kakinya.
Sel yang ditempati di lembaga pemasyarakatan jangan seperti kamar hotel, tetapi samakan dengan sel penjahat kelas teri. Apabila perlu, koruptor dicampur dalam sel yang sama dengan penjahat biasa. Gunakan mobil khusus tahanan untuk mengangkut koruptor, jangan mobil penumpang berpendingin.
Kedua, memiskinkan koruptor dengan menyita semua asetnya. Rencana undang-undang perampasan aset harus segera dijadikan undang-undang jika tidak ingin dituding sebagai pelindung koruptor.
Ketiga, menistakan koruptor dengan maksud supaya koruptor menjadi malu. Secara berkala mereka ditugaskan kerja sosial seperti menyapu jalan dengan dirantai. Menyebarluaskan buku yang berisi kumpulan foto koruptor disertai data kejahatan yang dilakukan, hukuman yang diterima, jabatan juga nama parpol serta sekolah.
Penyebutan nama alumni sebagai umpan balik bagi institusi pendidikannya. Alangkah eloknya jika parpol tidak menampung mantan narapidana.
Dengan menerapkan Tiga M, diharapkan orang akan berpikir ulang untuk korupsi. Saat ini Tiga M juga sudah diterapkan dalam arti mendukung, melindungi, dan memanjakan koruptor.
Lagi-lagi Ninok Leksono melaporkan pementasan WO Bharata. Di Kompas edisi Sabtu (9/7/2023), Ninok menceritakan lakon penyamaran Pandawa di kerajaan Wirata, pada hari-hari terakhir mereka menjalani hukuman pengasingan. Mereka 12 tahun di hutan Minangsraya plus satu tahun ”bermain petak umpet” di wilayah Wirata.
Laporan itu mengingatkan saya kepada almarhum Dr MAS Sastroamidjojo, dosen Fisika kami di UGM, yang kemudian menjadi teman baik saya setelah beliau bergiat di bidang pelestarian lingkungan dengan membuat dan memakai peranti TTG (teknologi tepat guna) berbasis fisika.
Beliau menulis makalah tentang lingkungan dengan mengangkat pengasingan Pandawa di hutan Minangsraya itu sebagai entry point (pintu masuk)-nya.
Alumnus MIT, UC-Berkeley, dan ANU itu kami sapa ”Nang Seno”, sebab inisial MAS di depan nama belakangnya adalah singkatan dari ”Mas Adji Seno”.
Nang Seno adalah ayahanda kandung Seno Gumiro Adjidharmo, yang dulu rajin mengisi kolom Udar Rasa Kompas. Apa kabar Seno, betulkah sekarang di LKJ, TIM?
Dalam beberapa minggu ini, Kompas menyajikan sejumlah berita dan tulisan mengenai redenominasi rupiah. Antara lain dari Budi Frensidy pada 5 Juli 2023.
Pada intinya, ide redenominasi rupiah adalah baik. Yang penting bagi masyarakat: ada jaminan dari Pemerintah RI bahwa nilai rupiah tidak anjlok akibat inflasi yang tidak terkendali.
Saya masih mengingat pemotongan nilai rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 pada Desember 1965. Dalam waktu relatif singkat terjadi inflasi ribuan persen.
Harga beras 1 kilogram Rp 1.000 sebelum pemotongan, beberapa bulan kemudian sudah seharga itu lagi dengan uang nilai baru.
Semoga hal seperti itu tidak terjadi jika pemerintah melakukan redenominasi.
Jan S AritonangKampus STFT Jakarta, Jl Proklamasi 27, Jakarta Pusat