Anak-anak dari keluarga miskin berpotensi lebih besar menjadi miskin setelah dewasa nanti. Meski demikian, orang miskin bisa saja melahirkan anak tidak miskin. Perlu upaya keras untuk memutus mata rantai kemiskinan ini.
Oleh
ABD HAKIM
·4 menit baca
Pernahkah Anda mendengar ungkapan ”orang miskin akan melahirkan anak miskin juga”? Ungkapan tersebut terdengar cukup menggelitik, tetapi bukan tanpa alasan. Anak dari keluarga miskin akan mempunyai akses terbatas terhadap pendidikan dan kualitas perumahan yang kurang mendukung untuk belajar serta hidup sehat.
Karena kemiskinannya, seorang anak sulit melakukan kegiatan tambahan di sekolah (ekstrakurikuler) maupun di luar sekolah. Mereka harus segera pulang untuk membantu orangtua. Padahal, kegiatan tambahan akan bermanfaat untuk pengembangan diri anak, mereka dapat bersosialisasi dengan teman-teman atau bersama guru.
Orang dari keluarga miskin bukan berarti tidak dapat keluar dari pusaran kemiskinan. Namun, karena kemampuan dan akses mereka terbatas, orang miskin perlu upaya yang lebih besar agar dapat keluar dari kemiskinan. Mereka ingin keluar dari pusaran kemiskinan, tetapi tidak mudah untuk keluar dari belenggu kemiskinan tersebut.
Perkembangan terakhir angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 adalah 9,36 persen atau sebanyak 25,9 juta jiwa, menurun dibanding pada September 2022 yang mencapai 9,57 persen atau 26,36 juta jiwa. Memang sejak 2021 pasca-pemulihan ekonomi karena Covid-19, angka kemiskinan cenderung menurun, tetapi penurunannya masih relatif kecil.
Pemerintah berupaya menurunkan angka kemiskinan tersebut, antara lain dengan skema bantuan sosial (bansos). Sebenarnya bansos bukan hanya penanganan kemiskinan jangka pendek berupa bantuan pangan, tetapi ada juga penanganan jangka panjang, seperti Program keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan lain-lain. Penanganan jangka panjang agar anak-anak dari keluarga miskin menjadi sehat dan cerdas.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang dapat menjadi indikator awal tingkat keterampilan dan produktivitas mereka dalam bekerja. Selain itu, dapat juga menggambarkan kemampuan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mendidik anak-anak mereka.
Orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi dapat membimbing anak-anak mereka lebih baik, dengan mendorong anak bersekolah setinggi-tingginya. Situasi tersebut akan berbeda dengan anak-anak yang hidup bersama keluarga miskin.
Anak-anak dari keluarga miskin yang seharusnya konsentrasi sekolah, tetapi karena tuntutan ekonomi terpaksa harus bekerja. Bisa jadi mereka sebagai pekerja keluarga atau buruh lepas dengan tingkat upah yang relatif rendah. Mereka bekerja untuk membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
Dengan bekal pendidikan rendah, sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang mencukupi.
Kondisi yang menyedihkan tersebut, membuat kesempatan mereka lebih kecil untuk bersekolah setinggi-tingginya. Dengan bekal pendidikan rendah, sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang mencukupi. Dari sisi ini, ungkapan di atas ”orang miskin akan melahirkan anak miskin” relatif ada benarnya.
Mungkin kita pernah mendengar bahwa ada orang yang terlahir dari keluarga miskin, tetapi dapat menyelesaikan studi sarjana dengan predikat lulusan terbaik, bahkan dapat menyelesaikan sampai S-3. Namun, kasus tersebut merupakan kasus langka yang hanya terjadi pada segelintir orang, belum tentu dapat diikuti oleh keluarga miskin lain.
Pada umumnya, kepala rumah tangga miskin berpendidikan lebih rendah daripada yang tidak miskin. Berdasarkan data BPS Tahun 2022, kepala rumah tangga miskin dengan pendidikan rendah, yaitu SMP ke bawah, cukup tinggi mencapai 79,85 persen. Sedikit sekali yang dapat menyelesaikan pendidikannya sampai perguruan tinggi, hanya sebesar 2,20 persen.
Kualitas perumahan
Kualitas rumah juga memengaruhi tingkat kesejahteraan dan kenyamanan penghuninya melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk aktivitas belajar anak-anak. Rumah dengan luas yang memadai dapat mendukung proses belajar anak.
Mereka akan merasa aman dan nyaman dalam belajar. Rumah yang sehat dan nyaman adalah rumah dengan luas lantai minimal 8 meter persegi per kapita.
Rumah yang sempit akan lebih banyak ditemui pada rumah tangga miskin daripada tidak miskin. Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2022 masih banyak rumah tangga miskin yang menempati rumah sempit, yaitu sebesar 24,98 persen, sedangkan yang tidak miskin hanya 9,19 persen. Perbedaan yang cukup signifikan.
Selain luas, kualitas lantai juga mempengaruhi proses belajar anak. Rumah dengan lantai tanah tentu akan kurang nyaman dan aman bagi anak-anak untuk beraktivitas sehari-hari termasuk belajar.
Masih ada sekitar 9 persen rumah tangga miskin yang menempati rumah dengan lantai tanah, sedangkan yang tidak miskin hanya 3,1 persen.
Kualitas rumah juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan dan kenyamanan penghuninya melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk aktivitas belajar anak-anak.
Selanjutnya lingkungan sehat, yang dapat diawali dengan rumah yang sehat. Salah satu fasilitas perumahan yang dapat memengaruhi kesehatan adalah tempat BAB atau jamban. Jamban merupakan fasilitas pembuangan tinja yang sehat. Untuk menjaga rumah menjadi sehat dan bersih, selayaknya jamban tersedia di setiap rumah.
Pada 2022, masih ada rumah tangga yang tidak memiliki jamban sendiri. Mereka melakukan BAB di jamban umum atau tempat lainnya.
Sebanyak 17,28 persen rumah tangga miskin tidak memiliki jamban, sedangkan rumah tangga tidak miskin hanya 6,71 persen. Bisa jadi anak-anak mereka BAB sembarangan atau di tempat yang tidak sehat.
Fakta-fakta tersebut dapat menjadi indikasi bahwa anak yang tinggal bersama keluarga tidak miskin akan merasa lebih aman dan nyaman dalam belajar di rumah mereka. Hidup mereka juga lebih sehat dengan lingkungan perumahan yang baik dan memadai.
Belum lagi dilihat dari fasilitas pendukung lain seperti fasilitas belajar, uang jajan, makanan bergizi, dan sebagainya. Dengan fasilitas-fasilitas tersebut, peluang mereka lebih baik untuk menjadi anak yang cerdas dan sehat. Hal tersebut mempengaruhi masa depan anak-anak.
Anak-anak dari keluarga miskin akan mempunyai potensi lebih besar untuk miskin setelah dewasa nanti. Untuk memutus mata rantai kemiskinan tersebut diperlukan upaya keras dan perubahan pola pikir.
Orang miskin bisa saja melahirkan anak tidak miskin. Hal tersebut perlu upaya dari pemerintah, institusi swasta dan masyarakat untuk membantu anak-anak mereka keluar dari pusaran kemiskinan.
Namun, tak kalah penting adalah upaya dari keluarga dan individu orang miskin untuk mengangkat dirinya menjadi lebih sejahtera.