Pola Pikir Guru Peneliti
Guru peneliti merupakan praktisi kelas yang secara individu atau kelompok melakukan penelitian. Tujuannya mengembangkan atau meningkatkan kemampuan dirinya sebagai pendidik profesional.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F02%2Ff746a5fa-95d8-40d5-a6a4-8f8c3bc76dce_jpg.jpg)
Kartino (45), guru kelas VII SMPN 2 Kota Cirebon, menunjukkan media pengajarannya, yakni leaflet lingkaran deskripsi, Senin(29/4/2019) di Cirebon, Jawa Barat. Guru bahasa Inggris itu berkreasi untuk mengajak siswa berpikir, tidak hanya mengandalkan hafalan.KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Tanggal 17 Juli 2023 merupakan awal kegiatan pembelajaran sekolah di Indonesia. Dari SD, SMP, hingga SMA. Pembelajaran di sekolah menjadi bagian penting dalam mengembangkan potensi kecerdasan dan internalisasi karakter bagi peserta didik.
Pengembangan diri harus berpijak pada ”modal” potensi dan kecerdasan yang dimiliki anak serta berorientasi jangka panjang untuk masa depan. Agar pembelajaran di sekolah dapat memberikan warna baru dalam masa depan peserta didik, sosok guru memainkan peran penting. Maka, kompetensi guru harus dipersiapkan sejak dini.
Pola pikir (mindset) guru terhadap pembelajaran harus berbasis konstruktivisme, yang dapat mengantarkan peserta didik mengembangkan diri. Peserta didik harus dididik agar mampu mengikuti kebutuhan zamannya.
Pola pikir seorang guru selama ini adalah sebagai pengajar, pendidik, pembimbing, pendamping, penasihat. Tentu tidak hanya ini. Guru tak boleh berhenti belajar.
Guru juga harus memiliki pola pikir seorang peneliti. Dengan menjadi peneliti, maka guru akan tergerak untuk aktif membaca, menulis, dan tentunya selalu mendesain invensi atau inovasi, sekaligus upaya diseminasinya.
Pola pikir guru peneliti otomatis akan membangun sistem pengembangan diri bagi seorang guru, yang akan berdampak pada sistem pengembangan diri siswa. Dengan demikian, terbentuk dunia pendidikan serta pembelajaran yang penuh inovasi, kreasi, dan karya monumental.
Guru peneliti adalah seorang yang peka terhadap masalah yang terjadi di kelas. Semakin banyak kelas pembelajaran, maka akan banyak pula masalah pembelajaran yang muncul. Tantangannya adalah guru harus banyak belajar untuk mencari solusi terbaik menyelesaikan masalah pembelajaran di dalam kelas.
Guru peneliti merupakan praktisi kelas yang secara individu atau kelompok melakukan penelitian. Tujuannya mengembangkan atau meningkatkan kemampuan dirinya sebagai pendidik profesional. Guru peneliti tentu akan selalu kreatif dalam mengembangkan model-model pembelajaran, bahan ajar dan media pembelajaran, ataupun evaluasi pembelajaran.
Selamat menjadi guru peneliti!
Abdul Halim FathaniDosen Pendidikan Matematika, Universitas Islam Malang (Unisma)
Polri dan SIM
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F09%2F13%2F3f687844-7323-480d-b039-674a5b7d4132_jpg.jpg)
Petugas kepolisian memberikan contoh ketrampilan berkendara dalam uji praktik pembuatan surat izin mengemudi (SIM) C di Polres Depok, Kota Depok, Kamis (13/9/2018). Pemberian SIM hanya untuk warga yang benar-benar terampil dan lulus ujian akan membantu meminimalisir kecelakaan di jalan raya.
Dalam sebuah video viral, seorang ibu marah-marah kepada petugas polantas gara-gara anaknya gagal dalam ujian praktik SIM C. Lalu, ada video lain saat Kapolri minta Korlantas meninjau ulang ujian praktik SIM C yang dianggap terlalu sulit.
Bahkan, dalam pengarahannya, Kapolri juga tidak yakin kalau anggota polisi dapat lulus ujian SIM dengan mudah. Ujian SIM C itu dengan berkendara melewati beberapa tonggak berjajar pada jarak dan radius tertentu, membentuk angka 8 tanpa putus.
Tahun 1970, pada usia 19 tahun, saya dan teman-teman berhasil mendapatkan SIM C dengan metode yang sama di Kota Semarang. Rahasianya adalah sebelum hari ujian praktik, kami berlatih berkendara membuat angka 8 berkali-kali sampai berhasil.
Ujian SIM dengan teori dan praktik yang betul dimaksudkan agar semua pengguna jalan mematuhi peraturan lalu lintas dan lebih mengutamakan keselamatan.
Kapolri harus memerintahkan kepada jajaran Korlantas untuk tidak menerbitkan SIM bagi pemohon yang gagal ujian praktik, dengan membayar di bawah meja seperti yang selama ini berlaku. Namun, di sisi lain, perlu dipertimbangkan juga mekanisme latihan yang baik dan benar.
Budaya disiplin dan tertib berlalu lintas sangat penting kita tanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk TNI dan Polri.
Diperlukan upaya dari pimpinan tertinggi Polri untuk tegas, tepat, dan tidak pandang bulu sehingga praktik jual-beli SIM segera berakhir.
FX WibisonoJl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Dokter Th Oey
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F12%2F657c6077-76b2-3b6d-bb85-f5b7aa539ff9_jpg.jpg)
Para petugas Puskesmas Lilana di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timor, Jumat (24/6/2023) tengah memeriksa data pasien. Puskesmas Lilana merupakan Puskesmas terpencil yang sangat sulit memperoleh dokter karena akses jalan ke sana yang sulit, diperparah air dan internet yang tak lancar. Puskesmas itu baru punya dokter lagi setahun terakhir.
Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan telah disahkan menjadi undang-undang. Aturan ini diharapkan menjadi tonggak transformasi kesehatan nasional (Kompas, 12/7/2023).
Keesokannya, dalam dua hari berturut-turut, Kompas dengan ciri khas investigasinya meluncurkan sejumlah artikel terkait. Antara lain ”Kompetisi Dokter yang Dipermainkan”, ”Kepercayaan dan Tarif Layanan Membuat Pasien Memilih Berobat ke Negeri Tetangga”, ”Krisis Dokter di Puskesmas-puskesmas Pedalaman Indonesia”, ”Bisnis Seminar Kedokteran Menggiurkan”, ”Ibu Hamil Bertaruh Nyawa di Lautan”, ”Obral Nilai Satuan Kredit Profesi lewat Seminar Kedokteran”, ”Dokter Lulusan Luar Negeri Mengubur Cita-citanya”.
Selanjutnya, ”Ada Dokter Pakai Dokumen Palsu”, ”Beban Ganda Dokter-dokter di Pedalaman”, dan ”Jejaring Calo Memanipulasi Kompetensi Dokter”.
Melalui surat ini saya ingin membangkitkan rasa optimisme (atau malah sebaliknya) dari sidang pembaca setelah membaca habis artikel-artikel sajian Kompas tersebut.
Dulu, ada dr Th Oey, kini sudah almarhum. Ia adalah seorang dokter ahli bedah lulusan universitas di Jerman. Pengabdian beliau dimulai berkisar tahun 1974-1975 (kalau tidak salah) di Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura, Papua.
Masa kecil saya di kompleks rumah sakit tersebut berlangsung tahun 1973, saat almarhumah ibu menjadi ”ibu asrama” di asrama perawat putri (SMA). Dari Jerman, beliau memboyong istri yang berkebangsaan Jerman beserta kedua anaknya yang masih kecil, Mayling dan Wolfgang (kemudian menjadi teman sepermainan saya) ke Jayapura.
RSUD Dok II Jayapura yang mulai beroperasi pada 3 Juni 1959 (https://arsip.jubi.id/317724-2) adalah suatu rumah sakit pendidikan dan rujukan jika sewaktu-waktu ada pasien dari wilayah lain atau pedalaman yang perlu pengobatan lanjutan.
Dengan fasilitas medis yang lengkap dan dukungan para dokter spesialis Belanda yang profesional, RSUD Dok II Jayapura memperoleh status sebagai rumah sakit termodern di kawasan Pasifik Selatan. Tak heran kalau rumah sakit ini mendapat kunjungan para dokter dari negara-negara Pasifik, termasuk Fiji yang masih dijajah Inggris.
Semua kebutuhan obat dan peralatan medis didatangkan dari negeri Belanda. Pelayanan kesehatannya pun gratis untuk pasien tidak mampu, terutama pasien kiriman para misionaris dari pedalaman Papua.
Setelah sembuh diobati, sang pasien akan dipulangkan kembali atas tanggungan Pemerintah Belanda melalui rumah sakit dan pesawat-pesawat dari misionaris AMA ataupun misionaris MAF.
Sebagai rumah sakit pendidikan, sejumlah siswa Papua dari berbagai wilayah direkrut untuk menjalani pendidikan medis. Disediakan asrama putri berbentuk bangsal (pendidikan keperawatan) dan asrama pegawai wanita (1 kamar 2 orang) yang terpisah dari kompleks asrama putranya. Perumahan dokter juga disediakan, terintegrasi di kompleks yang luas itu.
Kemungkinan cerita rumah sakit termodern di kawasan Pasifik Selatan itu sampai di telinganya saat kuliah kedokteran di Jerman. Oleh karena itu, setelah lulus sebagai dokter ahli bedah, beliau berkeyakinan hijrah sekeluarga dari Jerman ke Jayapura, Papua.
Tak lama setelah kedatangannya, beliau diangkat menjadi Direktur RSUD Dok II Jayapura menggantikan direktur yang pindah ke luar Papua. Terutama ketika diresmikannya RSAB ”Harapan Kita” pada 22 Desember 1979. Setahu saya, ada dokter spesialis anak dan dokter spesialis bersalin yang pindah ke RSAB itu.
Walaupun ada fasilitas wisma ”Tabib” untuk dokter muda dan bujangan, tidak ada dokter yang betah puluhan tahun mengabdi di RSUD Dok II Jayapura.
Tidak tampak kekayaan pribadi dari dr Oey. Beliau hanya mendapatkan fasilitas rumah dan mobil dinas. Pernah saya bertugas mengantarkan rantang masakan almarhumah setiap hari ke rumah dinasnya karena istri dan ketiga anaknya (anak ketiga Siska, lahir di rumah sakit tersebut) sedang cuti ke Jerman sebulan.
Anak-anaknya selalu terlibat dalam tim renang dari kontingen Jayapura dalam laga Porda ataupun PON. Anak-anaknya semua melanjutkan pendidikan SMA di Pulau Jawa untuk persiapan pendidikan ke Jerman.
Meski sejak kecil saya bermain dengan anaknya hingga keluar dari Papua tahun 1983, saya hanya sekali bertemu dan mengobrol dengan dr Oey. Saat itu beliau menengok anak bungsunya di asrama putri SMAK St Yusup Malang. Ketika itu, sambil kuliah, saya membantu yayasan sebagai pengawas asrama putra SMP.
Kecintaan beliau pada profesi dan tanah Papua terlihat saat beliau pensiun hingga meninggal. Beliau bersama istri menetap di sebuah rumah pribadi di kota Abepura (tetangga Jayapura), sedangkan ketiga anaknya tinggal di Jerman.
Dulu ibu almarhumah berharap saya menjadi dokter, disambung dengan cerita susahnya perjuangan dr Oey ke Jayapura dari Jerman.
Sekarang saya baru ”ngeh” mungkin maksudnya adalah tertatih-tatihnya dr Oey sebagai dokter lulusan di luar negeri menjalani beratnya proses adaptasi demi menjadi dokter di Indonesia.
Djoko Madurianto SunartoPugeran Barat, Yogyakarta 55141
Pembaca Bangga

Kompas 10 Mei 1998
Meski ulang tahun Kompas sudah lewat, saya ingin berbagi cerita dan rasa bangga.
Sejak berlangganan tahun 1980-an, saya sudah berganti tiga agen dan tiga loper. Kompas sampai di tangan pukul 06.30. Langsung saya baca berita dan opini aktual, sebelum berangkat bekerja.
Pada ulang tahun ke-58 ini, terekam banyak hal. Pertama, sebagian pembaca Kompas adalah mereka pelanggan setia yang sudah puluhan tahun. Di antara mereka berpendidikan tinggi dan bahkan menjadi penulis rubrik Opini.
Kedua, selain menjaga kualitas dan jurnalistiknya, Kompas berupaya menjaga jarak dengan kekuasaan. Jakob Oetama, pendiri Kompas, menolak tawaran Orde Baru untuk duduk dalam kabinet.
Kalaupun ada yang menjadi pejabat publik, mereka melepas fungsi di Kompas. Barangkali ini salah satu wujud asketisme modern.
Ketiga, Litbang Kompas dipercaya publik dan menjadi rujukan banyak pihak. Ini karena Kompas nonpartisan dan mandiri mendanai risetnya. Paling tidak, itu pendapat Saiful Mujani, pendiri SMRC.
Bangga membaca Kompas.
Rafael SudarmadiSMK Ignatius, Semarang