Dunia sains dan teknologi itu obyektif. Kekuasaan rezim atau mafia mana pun tidak bisa lama menutup-nutupi kebenaran. Setiap klaim harus bisa diuji orang lain secara independen. Terhadap klaim harus ada uji lapangan.
Oleh
FAHMI AMHAR
·4 menit baca
Indonesia memang belum menjadi negeri para penemu dalam sains dan teknologi. Sebagian besar produk kita sehari-hari ditemukan, didesain, atau bahkan diproduksi massal oleh bangsa lain.
Pada saat yang sama sering dikeluhkan, ada penemu-penemu genius hebat anak negeri, yang kurang dipedulikan, dan negeri ini baru terenyak ketika sang genius diambil bangsa lain. Kita bangga, kagum, sekaligus sedih, dan marah ketika anak- anak bangsa ini, setelah bersekolah tinggi di negeri lain, akhirnya menukar paspor garuda dengan paspor negara lain.
Kita bangga jika ada anak- anak bangsa yang sukses di NASA, Google, atau Tesla. Lalu kita marah, ”Mengapa mereka tidak membangun negerinya saja.” Kadang marah kita ditujukan ke pemerintah, ”Mengapa pemerintah tidak menyediakan ekosistem yang bagus sehingga diaspora ini membaktikan ilmu di tanah airnya?”
Namun, kita juga seharusnya lebih adil. Sejujurnya, tidak banyak media kita ini yang benar-benar melek sains dan teknologi. Mereka yang berkarier di luar negeri itu juga kadang bukan pemegang teknologi kunci. Mereka sering sejatinya baru karyawan biasa saja.
Benar, sebagian kecil dari mereka memang istimewa. Namun, untuk pulang dan membangun di negeri ini, tentu diperlukan lebih dari sekadar tiket pesawat dan janji gaji tinggi.
Di sisi lain, sebagian orang di dalam negeri diberitakan oleh media secara bombastis. Mereka disebut genius yang tidak dipedulikan negara.
Padahal, sebenarnya penemuan dari orang-orang yang konon genius ini memang sering masih terlalu prematur. Technology readiness levels-nya masih sangat rendah, baru sebatas self-claim, atau bahkan kadang masih abal-abal.
Dunia sains dan teknologi itu obyektif. Kekuasaan rezim atau mafia mana pun tidak bisa lama menutup-nutupi kebenaran. Setiap klaim harus bisa diuji orang lain secara independen. Kalaupun ada resep rahasia yang masih belum dibuka, klaim-klaim pada produk akhirnya tetap harus bisa diuji secara menyeluruh oleh orang lain.
Misalnya, klaim penemuan alat untuk membuat bahan bakar dari air, yang bisa menjalankan sepeda motor dari Cirebon ke Semarang pulang pergi dengan seliter air. Maka, terhadap klaim ini, harus ada uji lapangan yang sebenarnya. Tentu uji itu dilakukan di hadapan orang-orang yang skeptis, bukan oleh kawan atau orang bayaran dari penemu yang mengklaim temuannya.
Penulis yakin, perusahaan bonafide pun akan menguji dengan cara yang sama. Cara ilmiah. Mereka tidak mau secara gegabah menawarkan kompensasi atau membeli produk temuan itu secara sembrono. Mereka pasti ingin mengujinya dulu secara menyeluruh, bersama dengan orang-orang yang mereka anggap independen.
Orang-orang yang independen ini bisa dari kampus teknologi atau dari lembaga riset.
Uji ilmiah
Di Indonesia, sejak 2022, seluruh lembaga litbang di kementerian dan lembaga telah dilebur ke dalam BRIN. Di dalam BRIN banyak sekali ahli energi, yang dulu berkiprah di BPPT, LIPI, Batan, litbang Kementerian ESDM, dan sebagainya.
Semua ahli energi sepakat bahwa air tidak bisa menjadi bahan bakar. Sains itu ada yang masih mungkin benar dan mungkin salah (istilahnya ”jzaiz aqli”), tetapi ada juga yang sudah dipastikan benar, semisal bentuk bumi itu mendekati bulat (istilahnya ”wajib aqli”), atau dipastikan salah, semisal bentuk bumi itu datar (istilahnya ”mustahil aqli”).
Air memang bisa diolah, yaitu dipisahkan kembali menjadi hidrogen dan oksigen, dengan memasukkan listrik. Namun, proses yang disebut elektrolisa ini akan membutuhkan energi yang lebih besar, dari energi yang nanti dapat dibuat dari hidrogen yang dihasilkannya.
Walhasil, sebenarnya energi itu bukan dari air, melainkan dari suatu sumber listrik. Itu bisa accu yang diisi dengan listrik dari PLN. Namun, kapasitas accu itu pun tentu terbatas.
Semua ahli energi sepakat bahwa air tidak bisa menjadi bahan bakar.
Karena itu, masuk akal, di satu sisi, para ahli energi di kampus ataupun di BRIN menolak klaim bakar dari air itu. Sementara di sisi lain, si penemu menyatakan merasa gerah dan keberatan untuk didampingi periset profesional.
Maka, yang muncul kemudian adalah narasi dan opini negatif terhadap para periset dan menganggap mereka tidak berguna, tidak menghasilkan apa-apa, dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Bagi masyarakat awam seperti ini, sains dan pendidikan tinggi itu bermasalah. Apalagi kini ada opini, semakin tinggi pendidikan, justru semakin tidak berintegritas. Bahkan muncul narasi yang mendeligitimasi otoritas ilmiah. Para periset dan akademisi di kampus digambarkan sebagai kelompok status quo yang anti-inovasi.
Kita semestinya menolak lupa. Tahun 2008-2012 kita menyaksikan Joko Suprapto yang mengklaim menemukan ”blue energy” alias ”banyugeni”. Katalis untuk mengolah air laut menjadi BBM dengan teknologi matahati. Di saat harga BBM naik, penemuan ini dianggap solusi. Rakyat butuh solusi.
Bahkan, sebuah kampus di Yogyakarta sudah menanamkan modal Rp 1,5 miliar untuk Joko. Tentu saja akhirnya semua tertipu. Namun, isu yang dikembangkan justru bahwa teknologi ini disabotase oleh konspirasi mafia migas.
Fahmi AmharPeneliti Ahli Utama BRIN, Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)