Menghindari Lembah Kematian Pendidikan Tinggi
Era industri 4.0 merupakan fase akselerasi mobilitas yang ditandai dengan rekayasa AI, robotika, kendaraan otonom, 3D-printing, nanoteknologi, dan bioteknologi. Bagaimana kesiapan PT menghadapi era industri 4.0 tersebut?
Saat ini dunia memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai hadirnya ekonomi digital, pemrograman, mahadata, dan kecerdasan buatan.
Industri 4.0 merupakan kelanjutan dari tiga revolusi industri sebelumnya. Pertama, tahap mekanisasi produksi dengan penggunaan mesin uap (steam power). Kedua, tahap proses produksi massal (second machine age). Ketiga, tahap penggunaan komputer dan otomatisasi (automatization).
Kemudian, keempat, tahap industri 4.0 (4th industrial revolution/4IR) yang merupakan inter-konektivitas antara manusia, mesin, dan data yang lebih populer dengan istilah internet of things.
Era industri 4.0 juga merupakan fase akselerasi mobilitas yang ditandai dengan rekayasa AI, robotika, kendaraan otonom, 3D-printing, nanoteknologi, dan bioteknologi. Termasuk model bisnis online dan Uber (Nancy W Gleason (ed), Higher Education in the Era of the Fourth Industrial Revolution, Palgrave Macmillan Springer Nature Singapore, 2018).
Revolusi industri 4.0 itu pada 2025 diprediksi akan berdampak pada jutaan tenaga kerja manusia. Sebanyak 97 juta pekerjaan baru akan menggantikan 85 juta pekerjaan lama (WEF, 2020-Satria:2023). Dunia usaha dan dunia industri (DUDI) serta perkembangan teknologi semakin cepat dengan hadirnya teknologi terbarukan (renewed) yang canggih.
Baca juga : Perkuat Kapabilitas Manusia untuk Hadapi Perkembangan Teknologi
Maka, mau tak mau diperlukan SDM yang kompeten dan kompetitif. Lantas bagaimana kesiapan perguruan tinggi (PT) menghadapi era tersebut? Di sinilah perlunya mereposisi PT agar kompatibel dengan DUDI dan tak adanya lembah kematian (the valley of death) PT.
Itu pula mengapa Presiden Joko Widodo mengimbau pimpinan PT untuk mendukung inovasi dalam menghadapi perubahan global dan memenuhi SDM Indonesia yang kreatif, inovatif, dan kompetitif.
Reposisi kebijakan
Kebijakan pendidikan tinggi perlu disesuaikan dengan era revolusi digital, antara lain, dengan merekonstruksi kurikulum yang dapat memberikan keterampilan baru bagi mahasiswa mulai dari kemampuan membuat pemrograman (coding), mahadata (big data), dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Proses pembelajaran dengan menggunakan learning management system (LMS), blended learning, e-learning juga harus dilakukan oleh PT.
Profil lulusan pun mesti dirancang dengan tepat dan kompatibel dengan DUDI. Lulusan seperti apa yang dihasilkan program studi (outcomes)?
Studi kolaborasi antara Amerika Serikat dan Singapura (Yale University dan NUS) telah merancang kurikulum baru dengan pola mengintegrasikan seni liberal Barat, termasuk tata bahasa, logika, retorika, aritmatika, geometri, musik, dan astronomi dengan seni liberal timur, yaitu budaya, musik, militer, kaligrafi, dan matematika.
Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial serta menciptakan kesatuan pengalaman bagi 250 mahasiswa yang berasal dari 40 negara yang berbeda.
Ilustrasi
Sebagai contoh, pada semester pertama mahasiswa tidak diberikan catatan penilaian (KHS), tetapi hanya diberikan kesempatan untuk menyesuaikan diri terhadap dunia perkuliahan dan mengembangkan keterampilan belajar.
Kolaborasi Yale-NUS di Singapura ini diharapkan dapat mencetak lulusan yang lebih siap menghadapi revolusi industri dan memungkinkan mereka untuk hidup lebih utuh (Nancy W Gleason, ed., 2018).
Diprediksi pada tahun 2025 terdapat delapan juta mahasiswa internasional yang belajar di seluruh dunia (mahasiswa transnasional). Sejauh ini banyak mahasiswa Asia yang belajar menempuh pendidikannya di Barat. Dan universitas virtual atau cyber university diklaim sebagai masa depan pendidikan tinggi.
Namun, seperti kita ketahui, penyelenggaraan pendidikan ini—yang memerlukan biaya tinggi—akan menambah disparitas antara si kaya dan si miskin semakin besar. Ruang virtual yang tidak terbatas tidak dapat menjanjikan universalitas atau persamaan hak-hak pendidikan di era industri 4.0.
Perpustakaan juga mengalami transisi dari model berbasis koleksi ke model berbasis layanan yang lebih luas. Ini tak dapat dihindari karena siswa /mahasiswa, guru/dosen, dan peneliti menghuni lingkungan informasi jaringan yang kaya sumber data dan informasi pada semua bidang pendidikan.
Peran perpustakaan kini tidak hanya untuk mengoleksi buku-buku cetak, tetapi juga sebagai bagian dari sistem jaringan yang masif di dunia global.
Sejauh ini banyak mahasiswa Asia yang belajar menempuh pendidikannya di Barat. Dan universitas virtual atau cyber university diklaim sebagai masa depan pendidikan tinggi.
Dalam konteks ini ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan, yakni identitas, alur kerja, dan output lokal yang tak dapat terpantau saat berbagi publikasi di dunia maya. Mesin sosial dalam skala besar, seperti Facebook, Twitter, Wikipedia, dan penelitian kolaborasi antarnegara menciptakan perubahan penting pola sajian perpustakaan.
Menyiapkan profil lulusan
Rumusan profil lulusan mengidealkan peran profesional dan serangkaian kompetensinya (learning outcomes).
Program Learning Outcomes (PLO) harus mengacu pada deskriptor jenjang, baik program sarjana maupun pascasarjana, yang mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, termasuk seni sejalan dengan bidang keilmuannya dengan riset yang menghasilkan karya inovatif dan teruji. Mereka juga dituntut mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau multidisipliner.
Demikian pula, harus mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat serta mendapat pengakuan secara nasional dan internasional (national and international recognition).
Suatu lembaga pendidikan dianggap berhasil dan bermutu, jika lulusannya memiliki kompetensi dan dapat diterima masyarakat. Profil lulusan dengan demikian perlu dirumuskan secara baik dan tepat sesuai kebutuhan masyarakat (DUDI).
Maka, pimpinan PT mesti mampu merancang naskah akademik yang dapat mengantisipasi ke arah tata kelola kelembagaan yang visioner. Dalam pengelolaan PT perlu diperhatikan aspek-aspek berikut: proses pembelajaran yang tuntas dan memiliki capaian pembelajaran (learning outcomes) yang jelas, organisasi PT yang sehat, dan tata kelola PT yang manajerial.
Selain itu, ketersediaan rancangan pembelajaran dalam bentuk dokumen kurikulum yang jelas dan sesuai kebutuhan pasar kerja, kemampuan dan keterampilan SDM (akademik dan non-akademik) yang andal dan profesional; dan ketersediaan sarana-prasarana dan fasilitas belajar berbasis teknologi informasi (IT) uang memadai.
Sementara itu, input harus dijaring melalui penerimaan mahasiswa baru (PMB) dengan tes yang standar.
PT dianggap berhasil dan diakui jika memiliki beberapa indikator berikut: output dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang memadai (cum laude) dengan penilaian yang obyektif dan standar. Keberhasilan PT untuk mengantarkan lulusannya agar dapat diakui dunia kerja dan masyarakat inilah yang akan membawa nama harum PT di mata calon pendaftar.
Adapun outcome-nya jadi kebutuhan masyarakat, instansi, dan perusahaan, alias memenuhi kebutuhan DUDI.
”Lembah kematian”
Selama ini para praktisi DUDI menganggap inovasi PT tidak kompatibel dengan kebutuhan industri, sedangkan PT menganggap DUDI tidak menghargai riset dan inovasi PT.
Sikap saling menyalahkan ini harus diakhiri. Bagaimanapun inovasi yang unggul sangat tergantung pada kualitas riset dan anggaran yang disiapkan. Tentu PT tak ingin ada the valley of death (lembah kematian) yang menggambarkan kesenjangan antara PT dan DUDI dalam pengembangan produk.
Menurut laporan Bank Dunia (2020), jumlah peneliti per satu juta penduduk Indonesia hanya 216. Kalah jauh dibandingkan China (1.307), Thailand (1.350), Malaysia (2.397), Jepang (5.331), Singapura (6.803), dan Korea Selatan (7.980) (Satria, 2023). Perbandingan dari sisi persentase anggaran riset terhadap PDB adalah Indonesia (0,3), Thailand (1,0), Malaysia (1,4), Singapura (1,9), China (3,1), Jepang (3,2), dan Korea Selatan (4,2).
Bagaimanapun inovasi yang unggul sangat tergantung pada kualitas riset dan anggaran yang disiapkan.
Sementara itu, di negara-negara lain sudah mulai ada pergeseran sumber dana riset dari pemerintah ke swasta. Persentase dana riset swasta di Indonesia adalah 12 persen, Malaysia (38), Singapura (52), China (77), dan Korea Selatan (77), dan Thailand (81).
Research and Development (R&D) World melaporkan bahwa dari 40 negara, riset Indonesia menempati urutan ke- 34. Pada tahun anggaran 2022, Indonesia adalah negara dengan rasio penganggaran riset terhadap PDB paling rendah, yakni 0,24 persen. Rasio pengembangan riset terhadap PDB bervariasi dari satu negara ke negara lain, yang tertinggi Israel (4,8 persen) dan yang terendah Indonesia (0,24 persen) (https://databoks.katadata.co.id/ /4/3/2023).
Rekomendasi
Masyarakat melalui para pengusaha dan LSM hendaknya turut serta menyediakan sarana pendidikan yang bermutu dan lapangan kerja yang memadai.
Dana sosial, baik yang ada dalam pemerintah maupun perusahaan, hendaknya diprioritaskan pada pengembangan pendidikan dan SDM.
Seluruh komponen masyarakat harus memiliki komitmen dan kesepakatan bersama untuk menjadi warga negara yang taat asas, mengikuti norma hukum, baik hukum agama maupun pemerintah, sehingga segala macam tindak korupsi dan eksploitasi yang mengakibatkan kerugian negara dan rakyat banyak dapat terhindarkan, termasuk kegaduhan sosial.
Harmoni sosial menjadi faktor penting dalam pencapaian prestasi dan kebahagiaan suatu masyarakat. Hal ini juga relevan dengan doktrin agama bahwa kemakmuran suatu negara tergantung pada penduduknya yang beriman dan bertakwa.
Sudah saatnya semua komponen: pemerintah, orangtua dan masyarakat dari berbagai lapisan melibatkan diri untuk mewujudkan pendidikan yang terbaik bagi generasi bangsa ini.
Pemerintah hendaknya memiliki good will dan komitmen yang tinggi terhadap pemberdayaan kaum miskin melalui prioritas program pendidikan dan melakukan kontrol yang ketat terhadap anggaran pendidikan, agar tersalurkan secara merata dan benar. Politik anggaran untuk riset perlu diperkuat agar makin banyak peneliti yang produktif dan berdaya guna. Program beasiswa LPDP dan Indonesia Bangkit (BIB) hendaknya dapat disalurkan secara benar dan tepat sasaran.
Semoga.
M ZainuddinRektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang