Jalan Terjal ”Presidential Threshold”
Diskursus ”presidential threshold” hingga kini tak kunjung selesai. Ada hasrat dan ikhtiar dari rakyat yang ingin menormalkan kembali sistem pemilihan presiden yang sejalan dengan nilai atau semangat demokrasi.

Tak dapat disangkal, jika Pilpres 2024 tetap saja menjadi salah satu isu yang mengemuka dan senantiasa mengiringi kontestasi ini adalah ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Pernyataan beberapa hari lalu muncul dari organisasi masyarakat.
Muhammadiyah mengusulkan presidensial threshold yang saat ini 20 persen agar diturunkan. Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir mengusulkan penurunan presidential threshold untuk membuka peluang kandidat calon presiden lebih banyak.
Seperti diketahui, presidential threshold yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu menjadi pasal yang banyak disoroti karena beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Terakhir pada 28 Februari lalu, MK memutuskan menolak permohonan uji materi pengaturan ambang batas presiden yang termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Baca juga: Fiksi ”Presidential Threshold”
Permohonan yang terregistrasi pada perkara No 4/puu-XXI/ 2023 tersebut diajukan oleh Herifuddin Daulay, seorang guru honorer dari Riau. Jika dicermati, ”isu konstitusional” yang di mohonkan dalam permohonan a quo pada intinya tak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tercatat, norma pada Pasal 222 itu telah diuji 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima. Pasal 222 UU Pemilu mengatur persyaratan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR dan/atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Dengan demikian, merujuk kepada putusan-putusan sebelumnya itu, MK tetap pada pendiriannya menyatakan presidential threshold konstitusional. Maka, pada semua putusan tersebut pada prinsipnya MK berpendirian bahwa ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F12%2Fc704d3df-4a1a-418f-9519-f29db78a11bc_jpg.jpg)
Suasana sidang yang diketuai oleh hakim MK, Arief Hidayat, membahas uji materi UU yang membahas tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Di luar kelaziman
Keriuhan di balik ambang batas syarat pencalonan presiden, kini masih saja menjadi perhatian publik. Apalagi jika melihat rumitnya mencukupkan batas presidential threshold. Karena itu, tuntutan ambang batas akan terus menjadi agenda strategis rakyat melawan dominasi oligarki.
Hal itu bisa dilihat ketika pemohon silih berganti mendaftarkan permohonannya ke lembaga penjaga konstitusi negara, yaitu MK. Bahkan, gugatan ambang batas kali ini, skalanya makin meluas, yakni bergaung sampai keluar negeri. Diaspora Indonesia di 12 negara ikut menggugat.
Gerakan diaspora ini dimulai dari Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Asia Pasifik, hingga Australia. Komunitas ini mempunyai latar belakang sosial bermacam-macam, mulai yang bekerja di kantor pusat PBB, di kantor parlemen Eropa, pengusaha, profesional, karyawan swasta, pensiunan dan ibu rumah tangga, hingga buruh migran (TKI).
Sebab, pada dasarnya tak ada satu pun negara demokrasi yang menerapkan ’ambang batas’ dalam pencalonan presiden.
Itulah sesungguhnya harapan rakyat, tentu saja bukan angan-angan atau hanya sebatas isapan jempol belaka. Namun, ada kesamaan hasrat dan ikhtiar dari rakyat yang ingin menormalkan kembali sistem pemilihan presiden yang sejalan dengan nilai/semangat demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Animo dukungan yang mengalir dari dalam negeri sampai seantero dunia itu merupakan manifestasi dari penjelmaan kedaulatan rakyat itu sendiri. Sebab, pada dasarnya tak ada satu pun negara demokrasi yang menerapkan ”ambang batas” dalam pencalonan presiden. Negara lain yang melaksanakan sistem demokrasi juga tidak menerapkan pembatasan-pembatasan yang pada gilirannya hanya ”memasung” nilai demokrasi dan hak politik bagi calon itu sendiri.
Jadi, pada hakikatnya Pasal 222 UU Pemilu adalah sangat mengingkari prasyarat yang ditegaskan dalam prinsip demokrasi, bahkan bertentangan dengan perintah imperatif konstitusi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Sementara presidential threshold 20 persen adalah manifestasi dari produk aturan yang sarat dengan kepentingan partai politik, bukan pada kepentingan yang berbasis kedaulatan rakyat yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi.

Oleh sebab itu, pemilihan presiden secara langsung hakikatnya merupakan bagian dari proses demokrasi, ada 11 prinsip demokrasi yang ada, prinsip demokrasi yang paling tinggi adalah kedaulatan. Itulah sebabnya, para foundhing fadher menegaskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk atas dasar kedaulatan rakyat.
Selain itu, ambang batas pencalonan presiden juga menjadi hal di luar kelaziman demokrasi bagi negara penganut sistem presidensial seperti Indonesia. Maka, tentu saja ada kejanggalan dan terasa aneh (irasional) jika negara Indonesia ada pembatasan syarat bagi orang yang ingin maju sebagai calon presiden.
Meskipun, sejatinya konstitusi tidak membatasi orang yang ingin maju sebagai calon presiden. Sebab, materi pembicaraan ambang batas itu sudah kerap kali diperdebatkan karena perdebatan itu sendiri dalam putusan MK pada 2014 menyatakan presidential threshold sebagai kebijakan hukum yang terbuka, hingga menyerahkan kepada pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah (presiden) dan DPR.
Namun yang terjadi, ketentuan ambang batas yang tadinya 15 persen itu belum pernah diterapkan. Tetapi justru naik menjadi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Baca juga: Ketiadaan Kedudukan Hukum Melawan ”Presidential Threshold”
Lagi pula, meski MK telah berulang kali memutus ambang batas ini dengan menyatakan konstitusional, tetap saja MK kebanjiran gugatan terkait ambang batas ini. Gugatan itu, sejujurnya jika ditelisik, bertolak dari beberapa poin penting.
Pertama, partai politik dianggap ”merampas” kedaulatan rakyat. Menetapkan 20 persen sebagai syarat pencalonan presiden adalah bentuk kesewenang-wenangan partai politik terhadap demokrasi. Kondisi ini bisa dilihat situasi yang ada sekarang, begitu ketatnya figur calon merampungkan koalisi yang ada. Kecuali Ganjar Pranowo yang baru memastikan diri dengan usungan dari PDI-P yang tanpa koalisi pun bisa mencalonkan sendiri.
Kedua, menjadi sinyalemen yang tak terbantahkan bahwa persyaratan ambang batas yang dibuat parpol yang berkuasa adalah sebuah cara untuk ”menjegal” figur (tokoh) yang dianggap potensial memimpin bangsa ini ke depan. Ketiga, pola dan skenario seperti itu dianggap efektif melanjutkan kelanggengan pemerintahan oligarki. Akhirnya, peluang atau kans calon di luar jangkauan oligarki menjadi makin kecil (pupus) dalam proses seleksi capres.

Bukan krisis pemimpin
Berdasarkan hal tersebut, syarat ambang batas secara normatif-prosedural senantiasa menjadi ”jalan terjal” bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Apalagi jika berkaca pada fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk yang begitu besar, serta begitu beragam realitas politik yang ada di dalamnya. Asumsi dasar itulah, sehingga tentu saja idealnya aspirasi rakyat jangan dibendung/dibatasi. Namun, biarkanlah para kandidat bertarung secara kesatria karena pada akhirnya setelah melalui dinamika/proses yang ketat, yang terpilih hanya satu paket figur (presiden dan wapres).
Karena itu, janganlah biarkan krisis kepemimpinan dengan cara membatasi dan/atau mempersempit peluang hadirnya figur-figur kepemimpinan bangsa yang berkualitas. Itulah harapan paling utama setiap kali datangnya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia. Adanya kontestasi gagasan secara dinamis sehingga Pilpres 2024 kita tidak hanya dihadapkan dua pasangan calon presiden dan wapres seperti Pemilu 2014 dan 2019 (Joko Widodo versus Prabowo Subianto). Kedua figur inilah yang selalu tampil head to head dalam pilpres dua periode terakhir ini.
Baca juga: Fiksi ”Presidential Threshold”
Akhirnya, diskursus presidential threshold ini telah menghabiskan energi bangsa, yaitu sudah 15 tahun lebih, tetapi sampai sekarang tak kunjung selesai. Oleh karena itu, menjadi relevan untuk direnungkan kembali usulan Muhammadyah agar presidensial threshold di turunkan dari 20 persen.
Menurut Muhammadiyah, di negara demokrasi idealnya pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak cukup dua atau tiga pasangan calon. Sebab itu, kita semua harus berkomitmen mengawal dan menyukseskan Pemilu 2024 sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan transisi demokrasi menuju ke arah demokrasi yang bermartabat.
Abustan, Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta