Menanti Gagasan Pemimpin untuk Persoalan Ekstrem Bangsa
Sudah saatnya para pemimpin partai atau capres mulai berbicara tentang tema-tema substantif yang menjadi persoalan ekstrem bangsa. Narasi para pemimpin ini diharapkan menjadi ukuran dalam memahami permasalahan ke depan.
Sebagaimana mimpi Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk bisa satu gerbong kereta api Gajayana dengan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 Jokowi Widodo (Jokowi) kemudian bersama-sama dengan Presiden ke-8 untuk melanjutkan perjalanan ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selama perjalanan menuju kota masing-masing, keempat pemimpin bangsa itu sempat minum kopi sambil berbincang-bincang santai. Tetapi, Pak SBY tidak menjelaskan apa saja isi pembicaraan selama dalam perjalanannya tersebut.
Sepintas tidak ada yang salah dengan cerita mimpi Pak SBY. Masing-masing pemimpin punya cara untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan, mulai dari olah raga, masak nasi goreng hingga mimpi naik kereta bersama, ujung-ujungnya hanya pernyataan bersama menjajaki koalisi untuk menentukan capres dan cawapres.
Tetapi, bisa dipastikan hampir tak ada substansi penting yang keluar dari pertemuan itu, terkait solusi menyelesaikan persoalan bangsa yang sudah termasuk kategori ekstrem seperti persoalan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Sudah saatnya para pemimpin partai atau capres mulai berbicara tentang tema-tema substantif yang menjadi persoalan ekstrem bangsa hari ini.
Baca juga : Saatnya Munculkan Gagasan
Mulai dari belum berdampaknya bonus demografi; stagnasi pertumbuhan ekonomi; kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang rendah; tingginya pengangguran terdidik; perangkap pendapatan menengah (middle income trap); tingginya angka stunting dan wasting; kemiskinan ekstrem; polusi hingga kerusakan lingkungan di sekitar kawasan pertambangan dan smelter.
Semuanya bermuara pada rendahnya kualitas SDM dan daya saing bangsa. Narasi para pemimpin ini diharapkan akan menjadi ukuran dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan bangsa ke depan.
Persoalan ekstrem bangsa
Penggunaan kata ekstrem, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menggambarkan sebuah kondisi yang sudah sangat berbahaya, sebagaimana sering dialamatkan pada organisasi yang dianggap berpaham atau ideologi berbahaya. Tetapi hari ini digunakan untuk menyebut suatu masalah yang melewati ambang batasnya.
Sebagai contoh, kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.
Bank Dunia menetapkan kemiskinan ekstrem Indonesia tahun 2022—mengacu pada pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional (absolute poverty measure) 1,9 dollar AS per kapita per hari berdasar paritas daya beli (PPP) 2011—sebesar 5,59 juta jiwa atau 2,04 persen.
Namun, ketika digunakan PPP (2017) dan garis kemiskinan menjadi 2,15 dollar AS per kapita per hari, kemiskinan ekstrem di Indonesia bisa melonjak tajam mencapai angka 6,7 juta jiwa (Bappenas, 2023). Padahal, target dalam RPJMN menjadi nol persen. Mustahil bagi pemerintah bisa menuntaskan penurunan angka kemiskinan ekstrem menjadi hilang sama sekali pada 2024.
Setali tiga uang persoalan ekstrem lainnya yang tengah kita hadapi adalah tengkes (stunting) atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar (WHO, 2015).
Penyebab utama tengkes di antaranya, asupan gizi dan nutrisi yang kurang mencukupi kebutuhan anak, pola asuh yang salah akibat kurangnya pengetahuan dan edukasi bagi ibu hamil dan ibu menyusui, buruknya sanitasi lingkungan tempat tinggal, seperti kurangnya sarana air bersih dan tidak tersedianya sarana MCK yang memadai. Juga keterbatasan akses fasilitas kesehatan yang dibutuhkan bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) 2022, prevalensi tengkes di Indonesia masih tergolong tinggi, 21,6 persen, walau turun dibandingkan 2021 yang 24,4 persen. WHO mensyaratkan standar tengkes suatu negara berada di bawah angka 20. Target penurunan tengkes berdasarkan RPJMN tahun 2024 menjadi 14 persen. Bukan perkara mudah bagi pemerintah mencapainya, apalagi waktu yang dimiliki pemerintah saat ini tinggal setahun lagi.
Selain tengkes, permasalahan gizi ekstrem lainnya adalah wasting atau kurus. Menurut SSGI 2022, prevalensi anak balita wasting di Indonesia naik 0,6 poin dari 7,1 persen menjadi 7,7 persen tahun lalu. Prevalensi anak balita underweight atau gizi kurang sebesar 17,1 persen pada 2022, naik 0,1 poin dari 2021. Di sisi lain, prevalensi anak balita overweight atau kegemukan sebesar 3,5 persen pada 2022, turun 0,3 poin dari tahun sebelumnya.
Target penurunan tengkes berdasarkan RPJMN tahun 2024 menjadi 14 persen. Bukan perkara mudah bagi pemerintah mencapainya, apalagi waktu yang dimiliki pemerintah saat ini tinggal setahun lagi.
Gangguan pertumbuhan anak dimulai dengan terjadinya weight faltering atau berat badan tak naik sesuai standar. Anak-anak yang weight faltering apabila dibiarkan bisa menjadi underweight dan berlanjut menjadi wasting. Ketiga kondisi itu bila terjadi berkepanjangan akan menjadi tengkes.
Penyakit tropis
Tidak banyak yang menyadari ternyata bangsa kita masih menghadapi penyakit tropis yang terabaikan atau neglected tropical diseases (NTD) tertinggi di dunia. Penyakit-penyakit ini hanya ditemui di daerah tropis maupun subtropis dan disebabkan oleh berbagai virus, bakteri, protozoa, dan cacing.
Dikatakan terabaikan karena meski menular, penyakit ini hanya diderita oleh orang-orang yang mempunyai taraf hidup yang rendah dan sering tidak mendapatkan perhatian yang sama jika dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, seperti HIV/AIDS (Pusat Kedokteran Tropis UGM, 2020).
Dari laporan Bappenas yang disampaikan dalam Pembicaraan Pendahuluan KEM-PPKM RAPBN 2024, untuk kusta di Indonesia tercatat 12.095 kasus baru per tahun, urutan ketiga dunia. Untuk TB, 969.000 kasus baru per tahun, nomor dua dunia. Untuk malaria, sebanyak 415.140 kasus baru per tahun. Kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh penyakit-penyakit ini adalah mereka yang hidup dalam kemiskinan, tak punya akses sanitasi yang baik terutama mereka kesehariannya sering kontak langsung dengan vektor pembawa penyakit.
Munculnya persoalan kesehatan ekstrem itu tak bisa dilepaskan dari masih rendahnya fokus dan perhatian pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kesehatan masyarakat. Ini terlihat dari masih minimnya angka imunisasi dasar lengkap bayi, yakni 63,17 persen; keberadaan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang terakreditasi baru sekitar 56,4 persen dan Puskesmas dengan tenaga kesehatan sesuai standar sekitar 56,07 persen.
Selain itu, kesehatan hanya dipandang menjadi tanggung jawab satu kementerian atau lembaga saja, melupakan faktor pendukung lainnya, seperti air bersih, sanitasi, dan MCK.
Sudah saatnya para pemimpin dan calon pemimpin bangsa berbicara hal yang substantif dan menawarkan solusi bagi persoalan ekstrem yang sedang kita hadapi. Selama ini kita selalu disuguhi dengan ”drama” negosiasi koalisi capres para pemimpin partai yang tidak berkesudahan. Perjalanan kereta bangsa selama hampir delapan dekade ini masih menyisakan berbagai persoalan ekstrem yang belum semuanya terselesaikan dengan baik.
Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina