Perancis yang Bukan Eropa
Sejarahnya bercerita banyak tentang paradoks dan ironi tentang identitas Perancis.
Bagaimana bentuk pendidikan multikultural yang baik?
Paris yang ada dalam fantasi para turis barangkali adalah menara Eiffel, yang menyala di malam hari, atau yang menjadi latar foto prewedding. Paris yang ada dalam berita dunia mungkin adalah unjuk rasa, aksi teror, dan kekerasan polisi. Seperti yang baru terjadi: kerusuhan yang dipicu penembakan oleh aparat terhadap seorang remaja keturunan Afrika di pinggiran kota. Kekerasan yang merupakan ekses dari gabungan problem sosial, ekonomi, dan multikultur yang tak tertangani.
Kita punya imaji-imaji yang bertabrakan tentang setiap hal, juga mengenai Perancis dan Paris, dan ini menjadi tema festival sastra dan gagasan Literature and Ideas Festival Salihara (LIFEs) edisi 2023 (5-12 Agustus), yang akan menghadirkan percakapan dengan penulis berbahasa Perancis, terutama yang bukan kulit putih. Salah satunya adalah Arwad Esber, yang saya temui tak jauh dari menara Eiffel beberapa bulan lalu. Ia adalah putri penyair Arab kandidat Nobel Sastra, Adonis, dan kurator yang menjadi konsultan pada pembukaan museum Louvre Abu Dhabi beberapa tahun lalu.
Lihatlah menara Eiffel. Sejarahnya bercerita banyak tentang paradoks dan ironi tentang identitas Perancis. Konstruksi ini didirikan pada pameran besar Exposition Universelle tahun 1889, masa gemilang kolonialisme dan industrialisme. Kemajuan industri dan penj(el)ajahan Eropa atas dunia sedang dirayakan nyaris tanpa kritik. Tentu kritik mulai ada, antara lain dari tokoh seperti Eduard Douwes Dekker.
Pada peralihan ke abad XX, world fair semacam ini diadakan berkala dan di banyak kota untuk merayakan kemajuan pengetahuan modern. Termasuk di antaranya, menghadirkan kehidupan manusia dari tanah jajahan. Dalam pameran dunia di Paris itu, Belanda membawa rombongan dari Hindia, membangun desa di mana orang-orang itu bisa hidup seperti di kampung halaman selama beberapa bulan. Tentu saja, sekaligus menjadi tontonan eksotis bagi pengunjung, seperti sejenis kebun binatang.
Itu skena 100 tahun silam. ”Apa yang berbeda sekarang?” saya bertanya kepada Arwad Esber, sebab ia sepuluh tahun menjadi direktur Maison des Cultures du Monde, sebuah lembaga yang menghadirkan kebudayaan dari penjuru dunia di Paris. (Saya sepuluh tahun menjadi direktur festival sastra di Komunitas Salihara. Kami mencoba menghadirkan kebudayaan atau kesusasteraan asing ke negeri masing-masing.) Apa yang membedakan pementasan kebudayaan dari pelosok dunia di Maison sekarang dengan pertunjukan desa eksotis dari Jawa di Exposition Universelle seratus tahun lalu?
”Beda sama sekali. Dari human zoo kita kini mencapai rasa hormat pada kebudayaan-kebudayaan dunia,” jawabnya. ”Pada era Exposition Universelle, yang adalah supremasi kulit putih. Ada kebudayaan-kebudayaan lain yang dihadirkan, tapi tak ada dialog. Kini ada dialog.” Kenapa dialog penting sudah tak ada lagi keraguan di masa ini. Tapi, bagaimana dialog bisa terbaik dilakukan masih bisa diperdebatkan.
Bagi Arwad Esber, identitas diri sendiri bahkan lebih bisa ditemukan melalui dialog dengan orang yang berbeda. Dialog bukan hanya untuk mengenal orang lain. Justru dengan bertemu orang lain, kita bisa mengenal diri sendiri. Karena itu, perhelatan kebudayaan jadi penting. Perancis sekarang makin multikultural. Sungguh lebih baik ketika identitas kelompok diri ditemukan dalam perjumpaan dengan identitas kelompok lain. ”Saya tak ingin mengajak, misalnya, anak keturunan Maroko menyadari asal-usulnya dengan menunjukkan tradisi leluhurnya. Justru dengan memberi pengalaman bertemu kebudayaan dari Indonesia, atau daerah lain, saya kira anak itu akan bertanya dan mencari tentang kebudayaan orangtuanya.”
Ketika mengelola Maison des Cultures du Monde, ia membuat sesi khusus untuk siswa. Murid sekolah, didampingi guru, akan menonton pada jam khusus dengan sesi penjelasan dan diskusi yang lebih panjang daripada pertunjukan untuk umum.
Cara pendidikan multikultural ini ia sadari penting karena pengalamannya sendiri sebagai orang Suriah yang pindah ke Perancis. Pada awalnya ia merasa terasing, di negeri kelahirannya maupun di Perancis. ”Sekarang saya adalah dua-duanya.” Ia sangat mencintai khazanah seni dan sastra Arab sebagai bagian dari dirinya, tapi ia merasa sangat Perancis dalam hal humanisme, sekularisme, dan pandangan hukum. Ayahnya, Ali Ahmad Said Esber, adalah seorang penyair kontroversial yang kerap mendapat ancaman mati.
Ketika mengelola Maison des Cultures du Monde, ia banyak menghadirkan bentuk-bentuk kesenian dari Indonesia, yang modern maupun tradisional, antara lain upacara bissu dari Sulawesi.
”Indonesia adalah satu dari tiga negeri yang pernah paling saya cintai,” katanya. Dua lainnya adalah Korea dan Kolombia. ”Dulu, jalan 10 meter saja kita sudah akan menemukan bentuk kesenian yang khas. Dulu, di semua penjuru Indonesia orang punya kehalusan rasa.” Tapi, dalam beberapa kunjungan terakhir, ia khawatir bahwa Indonesia mulai kehilangan keberagaman dan mengalami penyeragaman selera yang tak lagi halus. Ketika itu di Indonesia memang juga terjadi peningkatan kekerasan atas nama agama seperti, antara lain, yang dicatat oleh Setara Institute.
Ia berharap terus ada seniman muda yang bekerja agar Indonesia tak kehilangan kebinekaan. Sementara Perancis semakin multikultur, akankah Indonesia justru menjadi seragam? Saya dan Arward Esber tampaknya sepakat bahwa tugas pengelola kegiatan seni—seperti penyelenggara festival—adalah terus-menerus menghadirkan pengalaman seni serta dialog yang terbuka. Sebab, kekerasan oleh aparat maupun sipil, serta sikap intoleran, yang masih saja membayangi, hanya bisa disaingi oleh dialog yang sehat dan terbuka. Tak di Paris, tak di Jakarta. Di Perancis maupun Indonesia.
Ayu Utami
Penulis dan Direktur Literature and Ideas Festival Salihara