Mendengar Campursari Merevitalisasi Diri
Biarlah para seniman terus berkarya. Sejauh publik menerima, sebutan apa pun terhadap karya mereka hanyalah urusan penamaan. Apakah ”new” campursari, campursari progresif, atau campuraduk, semua bertolak dari campursari.
Seniman Endah Laras dan kawan-kawan mencoba merevitalisasi musik campursari. Mereka menengok kembali campursari model Manthous yang meramu-padukan tangga nada diatonik dengan pentatonik.
Bukan sekadar romantisisme mengunjungi masa 35 tahun silam, Endah dan kawan-kawan juga menata dan memoles campursari dengan penggarapan yang ayu, untuk publik hari ini.
Suatu kali tokoh-tokoh campursari mencurahkan pendapat seperti ini. ”Rohnya campursari sudah tidak ada,” kata Cak Diqin (58), penyanyi senior. Hampir senada, pesinden dan penyanyi kondang campursari Anik Sunyahni (49) mengatakan, ”Campursari sekarang ini sudah salah kaprah.”
Sebegitu ambyarkah kondisi musik campursari saat ini?
Sebegitu ambyarkah kondisi musik campursari saat ini? Mungkin tidak juga. Kita kutip penyanyi muda Woro Mustiko (20) dengan komentar penuh harapan, ”Campursari dibawa ke the next level.”
Pendapat-pendapat tersebut terlontar pada pergelaran musik bertajuk ”Endahing Budoyo, Larasing Campursari” di pendopo Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, 27 Juni 2023. Didukung Kemendikbudristek, pergelaran ini digarap oleh Endah Laras sebagai sutradara, dan Tommy Widodo sebagai penyusun aransemen. Musik melibatkan Brayat Endah Laras Orkestra pimpinan Raras Nugrahani, dan karawitan Sangga Buana Campursari dari Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.
Pentas menampilkan penyanyi tamu Endah Laras, Cak Diqin, Anik Sunyahni, Nurhana, Woro Mustiko, Yan Velia, plus sepuluh penyanyi yang saat ini aktif tampil di pentas campursari. Ada pula rampak gendang dari Sri Eko Widodo, sebagai penanda bahwa unsur tradisi merupakan salah satu akar penumbuh campursari.
”The next level” atau tataran selanjutnya yang diucapkan Woro Mustiko itu mungkin tidak terlalu berlebihan. Setidaknya, musik paduan gamelan dan orkes gesek yang mengiringi para penyanyi malam itu terdengar tertata nyaman di telinga. Gamelan yang kerap diidentikkan dengan yang serba ”Timur”, serta orkestra yang seakan mewakili jagat ”Barat”, malam itu cukup padu, terjalin manis tanpa sekat yang memisahkan.
Mereka seperti mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan campursari. Setidaknya seperti campursari yang pernah diperdengarkan oleh RRI Surakarta pada era 1960-an, yaitu musik paduan antara gamelan dan orkes gesek, tiup logam, dan lainnya.
Malam itu gamelan dan orkestra tidak terdikotomi antara ”tradisi” dan ”modern”. Tidak ada pemaksaan atau rebutan bunyi antara gamelan dan seksi gesek serta tiup. Tidak terkesan adanya sekadar tempelan antara gamelan dan orkestra. Di tangan Karawitan Sangga Buana dan Orkes Brayat Endah Laras, rasa kecampursarian cukup terasa hadir sebagai ramuan padu budaya.
Menurut Endah Laras, garapan musik dalam pantas campursari ini merupakan jawaban atas tantangan dari Direktur Musik Perfilman dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra. Endah mengaku ditantang oleh Mahendra untuk menyajikan musik campursari yang inovatif. Bagi Endah, rasa campursari adalah seperti yang diformulasikan oleh Manthous. Maka, ia merevitalisasi campursari ala Manthous dengan penggarapan yang terancang rapi.
Manthous menggunaan sistem penalaan atau tuning gamelan yang, menurut Endah, terasa nyaman untuk dipadukan dengan tangga nada diatonik. Menurut Endah, roh campursari itu terasa pada paduan musik diatonis dan pentatonik dengan penalaan gamelan seperti yang digunakan Manthous.
Upaya tersebut dilakukan Endah sekaligus untuk menjawab keprihatinan Cak Diqin dan kawan-kawan yang mengatakan bahwa saat ini roh campursari sudah hilang. ”Saya kembalikan roh campursari ke eranya Manthous,” kata Endah Laras.
Mungkin yang dimaksud inovasi Endah dan Mahendra itu adalah upaya menengok kembali (revisiting), lalu merevitalisasi, menambah energi kreatif pada campursari.
Merakyat
Menyimak lagu-lagu yang disuguhkan dalam pergelaran campursari di Solo itu, terasa sekali kemerakyatan lagu-lagu campursari. Unsur tradisi seperti tembang dolanan dan pengaruh gending Jawa terasa kuat. Tema lagu berupa kehidupan sehari-sehari, termasuk percandaan tentang nasib dan pengalaman hidup yang pahit ataupun manis. Suka-duka kehidupan lewat lagu disikapi dengan suka cita dan tawa canda. Namun, ada juga romantisisme hidup yang cenderung menep, diendapkan ke dalam permenungan.
Kita simak lagu tentang nasib orang yang ditinggal kekasih seperti pada ”Hewes, Hewes” yang dibawakan Woro Mustiko. Bergaya tembang dolanan, tidak terasa nuansa kekesalan pada lagu ini. Tidak ada ratapan perasaan orang yang terbuang.
Woro Mustiko dengan centil-centil humoristik membawakan lagu dengan nuansa tembang Jawa yang cukup kuat. Aransemen digarap dengan musik ramuan gamelan dan orkestra yang rapi menjadi satu kesatuan. Ada kendang dan drum yang berbagi peran. Ada solo kendang pendek, ada porsi suling yang menguarkan rasa Jawa.
”Wes hewes hewes/Molor koyo permen karet/ra mari-mari/ Janjine teko ditunggoni nganti wengi/Ra bali-bali (Wes hewes hewes molor seperti permen karet/tidak juga sembuh. Janji akan datang tapi ditunggui hingga malam tidak juga datang)”.
Kemudian ada susupan parikan lawas yang disesuaikan dengan kebutuhan lagu:Pipo londho kacang dionceki/ Lungo terus sopo to sing diparani (pergi terus siapa sih yang didatangi).
Namun, suasana berubah sendu, senyap, ketika Nurhana membawakan lagu ”Kusumaning Ati”. Lagu ini beratmosfer nggrantes atau murung-murung kelabu, sesuai jiwa lagu. Syair bertutur tentang kusuma hati atau kekasih yang melukai hati lantaran ingkar janji.
Lagu ciptaan Jujuk Eksa ini menegaskan bahwa campursari bukan hanya musik riang-riang hore. Seperti pada genre musik apa pun, setiap lagu mempunyai karakter yang perlu dikomunikasikan sesuai jiwa lagu.
”Kusumaning Ati” termasuk lagu yang berkarakter sendu. Nurhana dan penggarap musik tahu benar bagaimana menyampaikan jiwa lagu ini. Suasana serupa juga terasa pada lagu ”Cinta Tak Terpisahkan” karya Cak Diqin yang dibawakan secara duet oleh Cak Diqin dan Endah Laras.
Kekhasan campursari juga ditampilkan dalam lagu ”Rondo Kempling”. Lagu karya Manthous ini dibawakan Anik Sunyahni dengan genit-manja-kemayu. Sekadar catatan, tema rondo atau janda mendapat tempat tersendiri di jagat campursari. Ia ditempatkan sebagai bintang kehidupan.
Selain ”Rondho Kempling” ada pula ”Rondo Banyuwangi”, ”Rondo Teles”, dan ”Sido Rondho”. Ada pula lagu ”Randu Alas” yang menuturkan sosok rondho sebagai perempuan yang ditunggu-tunggu oleh orang yang gandrung kepada dia. Bahkan, di luar pentas ini, lagu lawas ”Rondho Ngarep Omah” yang dipopulerkan Mus Mulyadi pada awal 1970-an dihadirkan kembali ke khazanah campursari.
Pada lagu bertema rondho, ada unsur komedik yang menempatkan sosok rondo pada panggung kehidupan penuh pesona. Termasuk dalam ”Rondho Kempling” yang artinya janda mulus, yang digambarkan sebagai seseorang yang ditinggal pergi suami. Lagu ini ditutup dengan ucapan ”Kempling lho maaass..” dari Sunyahni dengan gaya manja.
Nuansa tradisi terasa pada lagu karya Cak Diqin berjudul ”Slenco” atau semacam ketidaksambungan dalam berkomunikasi. Lagu berupa dialog, tanya jawab. Pertanyaan dijawab secara slenco alias tidak nyambung, tidak logis, seperti pertanyaan:
”Mas, Kangmas namine sinten?” (Kakak Namanya siapa? )
Dijawab: “Sakniki dintene Sabtu” (Sekarang hari Sabtu)
”Mas, Kangmas kesah teng pundi?” (Kakak pergi ke mana?)
”Sapi kulo pun manak pitu” (Sapiku beranak tujuh)
Mirip pop Jawa
Bahasa lain dari campursari mungkin adalah fusi atau fusion, yang lazim digunakan dalam jazz sejak akhir 1960-an. Pada jazz fusion ada pemaduan antara jazz dengan genre musik lain, termasuk rock.
Istilah campursari setidaknya telah terdengar pada pertengahan 1960-an berupa musik paduan antara gamelan dengan orkes gesek. Sebutan campursari kembali beredar pada seputaran akhir 1980-an ketika Manthous memopulerkan musik dengan unsur-unsur, seperti langgam Jawa, tembang Jawa, dan gending dolanan Jawa.
Pada album awalnya, Manthous masih membawa lagu-lagu populer dari ranah langgam Jawa seperti ”Nyidam, Sari” karya Andjar Any. Manthous juga meminjam gending ”Praon” atau lebih dikenal sebagai ”Prau Layar”-nya Ki Narto Sabdo.
Lagu-lagu yang diberi label campursari semakin meriah ketika Didi Kempot merajalela dengan ”Stasiun Balapan” pada 1990-an. Didi dengan label campursari makin ngetop lewat lagu seperti ”Pamer Bojo”, ”Cidro Janji”, dan lainnya.
Belakangan, lagu yang disebut-sebut sebagai campursari semakin populer dan digemari kaum muda. Ada unsur-unsur bunyi perkusi seperti yang terdengar dalam musik dangdut. Ada sound gitar bernuansa rock. Ada alat tiup seperti saksofon dan lainnya.
Seputaran 2020-an, dalam musik yang disebut-sebut sebagai campursari, muncul gaya-gaya melodi seperti dalam lagu pop yang cukup dominan. Elemen rasa tembang seperti era Manthous dan Didi Kempot semakin menipis. Ada kesan lagu campursari tidak berbeda dengan lagu pop berbahasa Jawa, seperti pada awal 1970-an ketika Mus Mulyadi populer dengan ”Rondo Ngarep Omah”.
Mungkin dari sebab itu, Anik Sunyahni sampai mengatakan bahwa campursari telah menjadi salah kaprah. Bagi Sunyahni, dalam lagu campursari harus terkandung elemen pentatonik dan diatonik. Unsur-unsur itu yang mungkin dianggap Cak Diqin sebagai ”roh”-nya campursari.
Perlu nama baru?
Campursari atau bukan campursari memang ”hanya soal istilah atau cara penyebutan. Di ranah musik pop di Indonesia, pernah muncul kebingungan dalam cara menandai suatu rasa musik. Sama-sama musik pop, tetapi media massa dan penyelenggara hajatan musik memerlukan pembeda antara lagu pop yang satu dengan musik pop yang lain. Mereka memerlukan distingsi atau pembeda, setidaknya untuk keperluan pengkategorian. Maka muncul istilah pop kreatif pada era awal 1980-an.
Alkisah, pada awal 1980-an lagu-lagu karya Rinto Harahap, Pance Pondaag, dan lainnya sedang sangat populer lewat suara Iis Sugianto, Eddie Silitonga, dan lainnya.
Pada masa yang bersamaan sedang ramai pula lagu-lagu dari Chrisye, Keenan Nasution, dan Vina Panduwinata yang musiknya melibatkan Yockie Suryoprayoga, Addie MS, dan Dodo Zakaria. Maka lahirlah sebutan pop kreatif dan pop saja.
Para pelaku musik Melayu pun demikian. Musik Melayu yang kemudian disebut dangdut berkembang sehingga diperlukan pembeda antara dangdut yang satu dengan yang lain. Muncul kemudian sebutan dangdut trendi, dangdut tradisi, dan lainnya. Jauh sebelumnya, keroncong telah tegas membedakan antara keroncong asli, langgam, langgam Jawa, dan lainnya.
Perlu dipikirkan formulasi nama untuk ramuan-ramuan baru musik yang disebut campursari.
Campursari selama lebih dari 35 tahun ini telah begitu berkembang. Lagu-lagu para tokoh awal campursari menjadi semacam tonggak sehingga karya mereka disebut campursari. Kini muncul Denny Caknan, Ndarboy Genk, dan lainnya dengan karya yang dekat dengan publik muda.
Lagu mereka sering diperdengarkan, dinyanyikan dalam berbagai perhelatan, dan meramaikan Radio Campursari FM, Jakarta, yang selama 24 jam memutar lagu yang disebut campursari. Dari radio ini, terpantau bagaimana publik begitu menggemari lagu campursari versi mana saja.
Endah Laras menyambut gembira semakin berkembang dan meriahnya campursari dengan berbagai varian rasanya. Dia gembira karena publik terhibur dengan musik yang berlabel campursari. Akan tetapi, menurut dia perlu dipikirkan formulasi nama untuk ramuan-ramuan baru musik yang disebut campursari.
Sekali lagi ini menyangkut distingsi, pembeda antara campursari yang satu dengan yang lain. Untuk itu, menurut Endah, diperlukan nama atau sebutan sebagai pembeda. ”Perlu dicari jeneng (nama) sendiri,” kata Endah.
Terus berkarya
Biarlah para seniman terus berkarya dengan kreativitas mereka. Setiap seniman mempunyai latar belakang, referensi musikal, dan pengaruh mereka masing-masing. Ada yang berangkat dari seni tradisi, ada yang tumbuh di lingkungan musik pop, rock, dan lainnya.
Setiap latar belakang tersebut akan memberi warna pada karya mereka. Mungkin mereka juga memberi kontribusi warna dan rasa musik pada musik yang kemudian disebut campursari.
Sejarah musik mengajarkan bahwa suatu genre musik tidak akan pernah berhenti pada satu jenis. Musik jazz, rock, atau genre apapun tidak pernah mandeg di satu titik. Seniman akan terus menerus mencari, begitu pula telinga publik selalu rindu dan menyambut pada yang baru.
Sejauh publik menerima, terhibur, dan bahagia, sebutan apa pun yang dilekatkan pada karya mereka itu hanyalah urusan penamaan. Apakah itu new campursari, campursari progresif, campuraduk, atau nama ap apun, semua mungkin bertitik tolak dari campursari dan perlu dirayakan.
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019