Menggenjot peringkat kelas dunia bukanlah satu-satunya tugas utama universitas. Perguruan tinggi hidup dalam lingkungan kompleks dan dinamis. Perlu perencanaan jangka panjang dan komprehensif untuk kemajuan bangsa.
Oleh
BAMBANG CIPTO
·4 menit baca
Dewasa ini perguruan tinggi-perguruan tinggi di Asia, khususnya di Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, dan China, termasuk ke dalam kelompok yang sangat percaya diri terhadap keberhasilan mereka bertengger pada peringkat universitas kelas dunia atau world class university (WCU). Tak terlalu jauh dibandingkan dengan perguruan tinggi di negara-negara Barat, seperti Amerika, Inggris, dan Kanada, yang merupakan pelanggan tetap yang masuk 10 hingga 20 besar WCU.
Efek angka fertilitas yang rendah
Meskipun demikian, kesuksesan perguruan tinggi di Asia bukan tanpa tantangan sama sekali. Korsel, Jepang, dan Taiwan menghadapi tingkat fertilitas rendah. Wanita cenderung tak suka memiliki anak karena biaya pendidikan dan perumahan yang sangat mahal, bahkan bagi wanita Asia Timur yang rata-rata hidup makmur. Mereka cenderung memilih karier daripada merawat anak.
Korsel yang dalam 20 tahun mendatang jumlah universitasnya diperkirakan akan tinggal 50 persen harus menghadapi kenyataan dengan mengambil langkah-langkah strategis. Pemerintah Korsel mendorong universitas-universitas untuk melakukan terobosan inovatif untuk menghadapi ancaman gulung tikar karena jumlah mahasiswa yang terus menurun karena suplai alamiah mahasiswa yang terus merosot.
Sasaran utama adalah universitas di daerah yang jauh dari kota-kota metropolitan karena di kawasan inilah jumlah penduduk terus menurun. Sementara, di kota-kota metropolitan, jumlah penduduk masih cukup untuk memenuhi bangku kuliah di universitas yang ada.
Pemerintah mengembangkan kebijakan agar pemerintah daerah mengambil langkah untuk membangun kerja sama dengan perusahaan-perusahaan global, sedemikian rupa sehingga universitas di daerah memiliki keunggulan yang setara dengan universitas di kota-kota metropolitan seperti Seoul.
Universitas-universitas yang tidak melakukan terobosan inovatif terancam akan ditutup, dalam arti tidak akan mendapatkan dukungan finansial dari Pemerintah Seoul.
Presiden Korsel Yoon Suk-yeol menjadikan almamaternya, Seoul National University (SNU), sebagai contoh universitas yang inovatif walaupun berada di kota metropolitan. Sejak 2021, SNU mengenalkan kebijakan baru bagi para mahasiswa tahun pertama. Mereka tidak akan langsung mengikuti kuliah di program studi (prodi) masing-masing yang berbeda, tetapi diminta menyusun sendiri kurikulumnya.
Kemudian, mereka dapat mengambil berbagai macam mata kuliah secara lintas prodi yang sesuai dengan kebutuhan mereka kelak jika akan memasuki lapangan kerja. Diharapkan model ini akan menghasilkan convergent talent, yakni kemampuan menemukan satu solusi yang tepat. Presiden Yoon juga mengkritisi para profesor yang bertahun-tahun mengajar dengan cara yang tak berubah, tidak sesuai dengan perkembangan baru.
Di Taiwan, persoalan yang mereka hadapi hampir mirip dengan kasus Korsel, yakni jumlah kelahiran bayi yang rendah (fertilitas 0,9 persen) sehingga mengancam masa depan universitas di Taiwan.
Untuk mengatasi hal itu, Taiwan mengembangkan beberapa kebijakan yang sudah diberlakukan beberapa tahun terakhir. Pertama, mengembangkan program sarjana transdisipliner, di mana mahasiswa menyusun sendiri mata kuliahnya sesuai kebutuhan untuk kerja sesudah menyelesaikan kuliah. Kedua, pemerintah melakukan merger atau menutup universitas yang kesulitan keuangan. Ketiga, mengundang lulusan dari 500 universitas terbaik dunia untuk bekerja dan tinggal di Taiwan.
Menteri Pendidikan Singapura Chan Chun Sing memprediksi bahwa perubahan teknologi yang sangat cepat akan membuat keterampilan tenaga kerja yang ada ketinggalan zaman. Dalam arti skill yang mereka peroleh saat proses pendidikan tidak mampu mengikuti kebutuhan saat ini.
Oleh karena itu, setiap lima tahun mereka harus dilatih kembali (reskilling). Konsep pendidikan pun harus diubah dari pendidikan berdasarkan jenjang SD, SMP, SMA, dan universitas menjadi pendidikan sepanjang hayat (life-time participation rate). Oleh karena itu, tugas universitas tidak hanya mendidik generasi muda untuk memasuki lapangan kerja, tetapi juga membekali pekerja dengan keahlian baru.
Menteri Singapura juga menyentil sektor industri agar tidak hanya pasif menerima lulusan yang berkeahlian cukup.
Menteri Singapura juga menyentil sektor industri agar tidak hanya pasif menerima lulusan yang berkeahlian cukup. Mereka juga dituntut untuk turut aktif terjun dalam perbaikan kurikulum pendidikan universitas. Selain itu, mereka juga dituntut untuk memberikan pelatihan kembali para pekerjanya yang sudah cukup lama meninggalkan universitas.
Sementara, di China, problem utamanya adalah overeducation sehingga ”negeri panda” ini menghadapi jumlah lulusan yang sangat banyak, berkisar 10 juta-12 juta per tahun. Hal ini menimbulkan masalah pengangguran sarjana.
Pemerintah akhirnya menutup ratusan program studi yang lulusannya sulit mendapatkan pekerjaan. Namun, membuka ratusan program studi yang sangat dibutuhkan oleh sektor industri.
Jepang yang menghadapi krisis fertilitas juga memutuskan untuk merekrut 400.000 mahasiswa internasional hingga tahun 2030 untuk menutup kekurangan bayi yang lahir. Jepang juga akan membuka pintu bagi lulusan master dan doktor yang mereka perlukan agar mau tinggal dan bekerja di Jepang sebagai antisipasi berkurangnya jumlah penduduk.
Perencanaan jangka panjang
Pengalaman manajemen universitas di negara Asia Timur ini merupakan sinyal bagi universitas di Indonesia bahwa upaya keras perguruan tinggi di Indonesia untuk menggenjot peringkat kelas dunia bukanlah satu-satunya tugas utama universitas. Karena perguruan tinggi hidup dalam lingkungan yang kompleks dan dinamis, elemen-elemen yang ada dalam lingkungan tersebut dapat setiap saat berubah menjadi tantangan serius yang memerlukan antisipasi sejak awal. Di sinilah perlunya perencanaan jangka panjang dan komprehensif untuk kemajuan bangsa.
Bambang Cipto,Anggota BAN PT 2006-2012; Rektor UMY 2013-2016