Istilah book shaming ramai ditafsirkan sebagai komentar pembaca yang biasanya menyukai genre bacaan yang berbeda kepada pembaca lain yang dapat membuat pembaca tersebut merasa direndahkan atau malu.
Oleh
Prajna Delfina Dwayne
·3 menit baca
Dalam Kompas, 2 Juli 2023, terdapat artikel menarik berjudul ”Jangan Malu Membaca Bukumu”. Artikel ini membahas beragamnya genre bacaan masyarakat, yang dapat menimbulkan masalah saat ada komentar negatif pada buku yang dibaca.
Hal ini berpotensi menimbulkan rasa malu untuk membaca buku favorit di tempat umum. Sudah menjadi rahasia umum, tingkat literasi Indonesia berdasarkan skor PISA masih sangat rendah. Di tengah keprihatinan tersebut, muncul istilah baru dalam kultur membaca di Indonesia yang dikhawatirkan dapat makin menghambat minat baca masyarakat, yaitu book shaming.
Setelah ditelusuri melalui alat pencari daring, istilah book shaming mulai viral pada tahun 2019. Terdapat cuitan dari sebuah akun di media sosial (Twitter) tentang keprihatinannya terhadap pemuda Indonesia yang lebih mengenal buku karya Fiersa Besari dan Tere Liye dibandingkan buku Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. Tulisan tersebut tentu saja dibalas oleh sang penulis yang tersinggung dengan komentar itu.
Dari peristiwa tersebut, istilah book shaming ramai ditafsirkan sebagai komentar pembaca yang biasanya menyukai genre bacaan yang berbeda kepada pembaca lain yang dapat membuat pembaca tersebut merasa direndahkan atau malu.
Memang tidak ada yang salah dari preferensi bacaan seseorang. Juga bukan suatu pelanggaran bagi penulis untuk mengekspresikan karya dan perasaannya dalam bentuk tulisan dengan pola yang berbeda.
Karena itu, menurut hemat saya, book shaming lebih merupakan soal perspektif. Komentar dalam lingkar pertemanan, ruang diskusi, atau ruang belajar merupakan hal yang biasa. Tergantung bagaimana penerima komentar menanggapinya. Walaupun dalam beberapa faktor dan kondisi, komentar dapat berkonotasi negatif, misalnya karena terkait dengan unsur SARA.
Melalui perspektif positif, komentar orang lain dapat menjadi sebuah pecutan. Apalagi jika komentar tersebut terselip rekomendasi buku yang mendorong pembaca untuk mencapai level pengetahuan yang lebih tinggi.
Diperlukan kematangan mental untuk dapat mendukung peningkatan literasi yang sejalan dengan kualitas bacaan. Literasi juga semakin lengkap apabila diiringi dengan kemampuan menulis. Dengan menulis, seseorang akan melalui proses mengetahui hal yang sebelumnya tidak diketahui. Pengetahuan tersebut direfleksikan secara mendalam, diimplementasikan dalam bentuk aksi, dan memunculkan pengetahuan baru.
TPU memerlukan tata ruang yang baik, sehingga lokasi makam mudah ditemukan dan para peziarah juga mudah menengok kerabatnya, seperti di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. KOMPAS/AGUS SUSANTO 29-3-2020
Terima kasih Kompas untuk liputan ”Jakarta Dibayangi Krisis Lahan Makam” (Senin, 12/6/2023). Berkat cover story itu, kami diingatkan agar bersiap-siap karena makin sempitnya lahan makam.
Bersyukur, tahun lalu almarhum putra saya bisa ditumpangkan pada makam buyutnya yang telah ”menghuni” TPU Karet sejak 1975.
Sebagai warga yang hampir seumur hidup tinggal di Jakarta, meski kini pindah ke pinggiran, saya berharap pada waktunya nanti masih bisa menjadi penghuni TPU Karet, Tanah Kusir, atau Jeruk Purut. Menjadi warga San Diego, jelas kami tidak mampu.
Satu hal yang tidak disinggung dalam laporan Kompas adalah tata letak makam. Sudah lama keluarga yang meninggal, pelayat, ataupun peziarah TPU di mana saja, kesulitan masuk dan keluar.
Hanya beberapa TPU yang menyediakan tempat parkir lumayan. Itu pun lokasinya tak terlalu luas dan sering untuk berjalan kaki ke makam tujuan, jarak terlalu jauh.
Solusinya pelayat boleh membawa kendaraan pada jalan-jalan sempit di antara makam-makam. Tapi, bila jalur penuh, kendaraan menghalangi kendaraan lain yang mau masuk atau keluar. Ini saya alami di TPU Tanah Kusir.
Ketika itu, ada tiga upacara penguburan. Salah satunya pesohor dengan banyak mobil pengantar. Mobil saya dan pengantar lain tak bisa keluar karena tertutup kendaraan yang diparkir seenaknya. Terpaksa kami menunggu dua jam sampai pemakaman selesai.
Saran saya, meski lahan kian sempit, usahakan penataan lokasi makam yang teratur. Misalnya, sediakan kantong-kantong parkir di tiap blok makam yang cukup untuk mobil bermanuver memutar.
Jangan perbolehkan kendaraan parkir sepanjang jalur jalan dan atur aliran masuk dan keluar agar tak bertabrakan.