Ancaman Pesantren Kontrakultur
Di beberapa daerah muncul pergeseran paradigma pesantren yang berbeda dengan jenis pesantren kebanyakan. Cenderung eksklusif, radikal, intoleran. Kemunculan berbagai pesantren kontrakultur ini perlu menjadi perhatian.
Pemerintah baru-baru ini didesak sejumlah organisasi kemasyarakatan dan masyarakat untuk menutup dan membubarkan Pesantren Al-Zaytun.
Pesantren yang didirikan Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang pada 13 Agustus 1996 itu ditengarai sering mengajarkan akidah yang sensitif, menyimpang, dan meresahkan masyarakat. Selain itu, keresahan yang muncul juga terkait dengan sinyalemen afiliasinya dengan gerakan NII Komandemen Wilayah IX (KW9) dan sejumlah pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh pemimpinnya.
Kebangkitan pesanter kontrakultur
Afiliasi Al-Zaytun dengan NII yang bersifat historis, finansial, dan kepemimpinan antara lain diungkapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah penelitian lain; meski penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2002 menyimpulkan belum diketahui ada atau tidak hubungan antara Al-Zaytun dan NII dan belum menemukan kesesatan Al-Zaytun.
Temuan MUI senada dengan pernyataan Umar Abduh dalam buku Membongkar Gerakan Sesat NII di Balik Pesantren Mewah Al Zaitun (2001) dan Martin van Bruinessen dalam buku Traditionalist and IslamistPesantrens in Contemporary Indonesia (2008).
Mencermati pro dan kontra hasil penelitian tentang Al-Zaytun, sebenarnya ada tesis menarik dari Abdul Azis, peneliti senior Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yakni bahwa telah terjadi pergeseran pesantren di Indonesia, dari subkultur menuju kontrakultur.
Baca juga: MUI Minta Klarifikasi Panji Gumilang Terkait Ajaran di Al-Zaytun Indramayu
Dengan meminjam analisis Theodore Roszak (1969) dan Zimmerman (2008), Azis (2011: XX), ia mengidentifikasi sebuah fenomena tumbuh kembangnya pesantren belakangan ini, yang cenderung bertolak belakang dengan karakter pesantren mainstream atau tidak sesuai dengan prototipe pesantren yang digambarkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur, 1979) dengan sebutan ”pesantren sebagai subkultur”.
Biasanya pesantren kontrakultur dicirikan oleh beberapa hal, antara lain mempunyai kultur pemisahan diri secara radikal dari asumsi arus utama, menampakkan penebaran ancaman dan menimbulkan rasa takut pada khalayak umum, dan memiliki norma dan tindakan pemisahan diri dari kultur utama.
Pengamatan Aziz memperkuat temuan para ahli seperti Van Bruinessen (2008) yang menunjukkan munculnya pergeseran paradigma pesantren di beberapa daerah di Indonesia yang berbeda dengan jenis pesantren kebanyakan. Kemunculan ”pesantren sempalan ini cenderung eksklusif, radikal, intoleran, dan non-akomodatif, bahkan lekat dengan gerakan kekerasan, seperti menyerukan jihad ke daerah-daerah konflik antara Muslim dan Kristen. Pesantren ini ditengarai juga mempunyai sumber-sumber keuangan yang meragukan dan menimbulkan kecurigaan banyak pihak.
Meminjam kategori Greg Fealy (2004) dalam mengidentifikasi karakteristik kelompok radikal, mereka percaya untuk menerapkan Islam dalam konteks penuh dan literal, dan tanpa pemahaman yang fleksibel tentang Islam. Mereka juga reaktif untuk menanggapi kekuatan yang terkait dengan sekuler atau materialis dan sering menggunakan kekerasan melalui bahasa, ide, atau tindakan fisik. Mereka juga memandang ajaran Islam yang fundamental sebagai dasar untuk membangun kembali masyarakat dan negara.
Pentingnya merawat pesantren subkultur
Kemunculan berbagai jenis pesantren kontrakultur seperti Al-Zaytun dan lainnya akhir-akhir ini tentu perlu menjadi perhatian semua pihak.
Pemerintah perlu segera memberi pembinaan, dialog intensif, dan mengambil tindakan tegas jika ditemukan indikasi terjadi penyimpangan. Sementara, semua elemen masyarakat sebagai masyarakat madani (civil society) berhak memberi catatan kritis dan mewaspadai setiap tindakan kontraproduktif dengan nilai luhur dan kebudayaan pesantren.
Kasus ini sekaligus juga bisa dijadikan pelajaran dan bahan perenungan atau muhasabah agar kita bersama-sama merawat dan menjaga marwah pesantren supaya terhindar dari pelabelan-pelabelan negatif yang jauh dari karakter pesantren asli. Pesantren harus responsif dan menjaga lingkungannya dari ”pihak luar” agar tidak sampai menjadi lokus yang dapat ditunggangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan paham-paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Langkah tepat yang bisa dilakukan masyarakat, selain melaporkan setiap bentuk tindakan yang menyimpang kepada aparat hukum, adalah senantiasa menjaga, merawat, dan membesarkan pesantren subkultur yang berjumlah ribuan dan terdapat di daerah dan lingkungan masing-masing.
Masyarakat perlu cerdas memilih dan memondokkan putra-putrinya pada pesantren dengan ciri subkultur. Sebuah watak pesantren yang terkenal dengan semboyan Al-Adabu Fauqol ’Ilmi, sebagai lokomotif peradaban, dan agen perubahan. Pesantren yang semenjak kelahirannya senantiasa melakukan transformasi sosial dan mempersiapkan masyarakat yang literate, beradab, dan menyebarluaskan nilai-nilai universal Islam sekaligus terdepan dalam menyuarakan pentingnya kecintaan terhadap nasionalisme (hubbub al-wathan mina al-iman).
Masyarakat perlu cerdas memilih dan memondokkan putra-putrinya pada pesantren dengan ciri subkultur.
Urgensi peningkatan deteksi dini
Selain itu, pesantren subkultur biasanya mempunyai kurikulum, metode, dan pembelajaran yang lebih memperkenalkan pada santri Islam inklusif dan menebarkan kedamaian di muka bumi (rahmatan lil ’alamin).
Jelasnya, pesantren selalu menekankan pada internalisasi karakter moral dan budaya lokal (indigenous).
Lebih-lebih dengan melihat ancaman serius gerakan terorisme terhadap keamanan negara. Pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT), bersama-sama masyarakat, perlu memberi perhatian khusus agar radikalisme dan terorisme dapat diantisipasi, dicegah, dan diputus sampai ke akar-akarnya.
Apalagi dengan melihat pola dan jaringan terorisme, dari sekian banyak kasus terorisme di Indonesia, yang telah mengalami perubahan (metamorfosis) dan perkembangan dari satu pola ke pola lain. Gerakan mereka menghalalkan segala cara. Bahkan kadang menggunakan isu-isu reformis, seolah-olah inklusif, pro-ketidakadilan, dan sampai menunggangi agama atau menggunakan kedok pesantren untuk merekrut dan mengembangkan sel-sel jaringan mereka.
Tentu saja, strategi yang bisa digunakan untuk memutus mata rantai terorisme bukan sekadar pendekatan militer saja. Sebab, menurut pernyataan Neil J Smelser dan Faith Mitchell dalam buku Terrorism Perspectives from the Behavioral and Social Sciences, ”solusi militer hanya dapat mengurangi dalam jangka pendek, tetapi tidak dapat menekan atau menghancurkan kekuatan budaya atau motivasi yang mengilhami terorisme”.
Oleh sebab itu, perlu diterapkan strategi yang lebih komprehensif dan holistik, dengan mewujudkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, komunikasi, dan koordinasi yang baik antarpemangku kepentingan yang ada. Hal ini dilakukan sekaligus dengan menggandeng para kiai pesantren, tokoh agama, dan masyarakat untuk mengoptimalkan modal sosial dan kultural yang dimiliki pesantren sendiri.
Hal ini disebabkan potensi kekuatan kultural pesantren begitu besar dan telah terbukti berkontribusi besar pada masyarakat dan negara, terutama dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab, mandiri, dan akseleratif atau berdaya saing tinggi.
Nilai kultural pesantren
Kultur pesantren telah membangun dan menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya teologi emansipatoris untuk melawan kemiskinan. Salah satu faktor seseorang masuk pada jaringan terorisme adalah kemiskinan.
Di setiap kesempatan, para kiai senantiasa membangkitkan ekonomi kerakyatan dengan mengajarkan hadis Nabi kadal fakru anyakuna kufra. Maka, dengan teologi ini, kiai pesantren mampu mengubah cara pandang masyarakat yang fatalistik—seperti pandangan bahwa kemiskinan adalah ketentuan Tuhan—digeser menjadi cara pandang yang lebih optimistis, berdaya guna, dan mengedepankan kemandirian,
Hal ini disebabkan potensi kekuatan kultural pesantren begitu besar dan telah terbukti berkontribusi besar pada masyarakat dan negara.
Eksplorasi dan resonansi nilai-nilai kultural pesantren telah membangkitkan kesadaran masyarakat untuk berani berdialog dan melakukan sintesis secara harmonis terhadap setiap kebudayaan dan dengan perubahan yang terjadi.
Bahkan, dengan kaidah yang sangat populer, al-muhafadzatu ’ala qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, senantiasa memompa para santri berani menjemput dan beradaptasi pada setiap perubahan, termasuk di era disrupsi sekarang, tanpa harus tercerabut dengan akar kultur dan identitas lokal.
Pendek kata, pesantren subkultur telah mempersiapkan sedemikian rupa watak santri yang hidup dalam era keterbukaan, yang ditandai dengan disrupsi sosial, perkembangan teknologi, dan perjumpaan dengan berbagai manusia (connecting people).
Sementara karakter yang diinternalisasi para kiai pesantren adalah lebih mengedepankan kemanusiaan, senantiasa mengajarkan kelembutan, tepa salira, saling menghormati, dan nilai-nilai universal lain, serta tetap berpegang teguh pada ajaran Islam dan larangan melakukan segala bentuk penistaan agama.
Syamsul Ma'arif,Guru Besar, Dekan FPK UIN Walisongo, dan Ketua FKPT Jateng