Betapa menggerahkan manakala di ruang publik dengan berbagai cara para pejabat mempertontonkan kebodohan dan nafsu tak terkontrol, menjengkelkan. Tapi. masyarakat tahu mana pemimpin yang megalomania dan mana yang tulus.
Oleh
AGUSTINUS TAMTAMA PUTRA
·4 menit baca
Sebagian orang mengatakan, ”Politik itu kotor, saya alergi!” Orang lain berpendapat, ”Politik itu baik, hanya orang-orangnya yang kotor!” Yang lain lagi berkomentar, ”Saya pendukung tokoh politik tertentu sebab dia yang terbaik untuk bangsa dan negara.” Ada banyak suara dan pendapat terkait politik sebagai interkoneksitas hidup bersama.
Ribuan tahun lalu seorang filsuf Yunani kuno mengatakan bahwa manusia akan bahagia bila terlibat dalam kehidupan politis, berkecimpung dalam kegiatan bermakna. Dia adalah Aristoteles dengan konsep partisipasi publik dalam mencapai eudaimonia.
Eudaimonia adalah hal yang dikejar manusia, yaitu kebahagiaan. Apakah dengan demikian artinya kita harus berpolitik praktis? Konsepsi yang semestinya diluruskan terkait politik ialah perihal definisi.
Tentu ide Aristoteles tentang politik berikut ia terima dari Plato, guru kesayangannya. Mereka senada dalam gagasan bahwa politik adalah perihal mengurus bersama ruang publik. Ruang publik itulah yang pada zaman Yunani kuno dahulu terwujud nyata dalam polis-polis, atau kota-kota (kecil).
Dari istilah polis inilah politik berakar, yaitu segala daya upaya dan aneka keterhubungan antarmanusia, termasuk pengaturan birokratis yuridis di dalamnya, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama (common good) di ruang publik.
Aristoteles dan Plato pun tentunya bukan satu-satunya suara kala itu. Epikuros, misalnya, memilih menyendiri dan tenang dengan sekolah dan kebun milik pribadi yang ia dirikan. Baginya, kehidupan polis itu terlalu ribut dan banyak intrik politis di dalamnya. Yang lebih ekstrem lagi ialah kaum anarkis, yang bahkan menolak segala macam bentuk tatanan pemerintah.
Gerah akan demokrasi
Mungkin sangat tepat istilah ”gerah terhadap demokrasi” yang konon katanya merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik kendati termasuk yang buruk. Dari peristilahan kontraris semacam ini saja sudah tampak kesimpangsiuran—untuk tidak mengatakan keriuhrendahan dan kedangkalan—politik. Sebab, bukan lagi ideal politik yang terwujud nyata di dalam praktik, melainkan sikap oportunistis demi kekayaan dan jabatan.
Sementara itu, mudah saja bagi Epikuros untuk mengatakan bahwa kekayaan dan jabatan bukanlah sumber eudaimonia, sebagaimana juga bagi Aristoteles dan Plato—berdasarkan pengalaman pendahulu mereka, Socrates.
Socrates tewas akibat minum racun maut sebagai konsekuensi dakwaan tidak adil masyarakat dan demi apa yang ia pegang teguh sebagai ”kebenaran”.
Plato dan Aristoteles juga pasti sadar akan ketidaksempurnaan polis dan ketakmungkinan untuk lari karena Akademia dan Lyceum (sekolah milik Plato dan Aristoteles) yang memang menempati lahan milik polis, yang artinya ’sekolah negeri’ bukan ’swasta’ layaknya milik Epikuros.
Yang sekolah negeri, milik Plato dan Aristoteles, terikat regulasi polis, bahkan mungkin terintervensi kebijakan publik. Sementara yang swasta, milik Epikuros, menikmati apa yang mungkin di zaman sekarang disebut ”kebebasan akademik”.
Betapa menggerahkan manakala di ruang publik dipertontonkan kebodohan dan nafsu tak terkontrol pejabat publik. Kasus korupsi dan kepongahan pejabat publik yang egoistis-oportunistis sama sekali bertentangan dengan harapan masyarakat akan figur yang humanis dan hidup secukupnya dari jasa dan upah mereka sebagai pelayan publik.
Jarang terdengar ada pejabat yang hidup berdasarkan gaji semata, sebab sudah menjadi rahasia umum tidak afdal kalau pejabat tidak makan uang rakyat, tidak memakai kendaraan mewah (mobil Rubicon atau jet pribadi mungkin?).
Aneh juga rasanya bila pejabat tidak memperkaya diri, tidak arogan dengan strobo di jalan-jalan raya, seolah menjadi manusia terpenting di muka bumi ini, sementara jalanan memang macet akibat mereka juga yang malas bekerja.
Begitu gambaran dan potret baik pejabat zaman sekarang maupun zaman dahulu kala, membuat masyarakat muak dan jengkel alias ”gerah pada demokrasi”.
Halnya semakin eskalatif manakala pejabat cenderung megalomania. Tentu tak semua, tapi ada beberapa dan tertentu. Kita tahu megalomania adalah tendensi untuk membanggakan diri sendiri melebihi orang lain meskipun prestasi pada kenyataannya tidak sebesar yang ditunjukkan. Istilah pencitraan atau pendakuan, entah suatu proyek atau fasilitas tertentu demi mendongkrak nama yang bersangkutan, kiranya masuk dalam bagian megalomania ini.
Istilah pencitraan atau pendakuan, entah suatu proyek atau fasilitas tertentu demi mendongkrak nama yang bersangkutan, kiranya masuk dalam bagian megalomania ini.
Berbagai cara dan pendekatan dipakai untuk kemudian menambah kemasyhuran dan elektabilitas, entah itu efektif entah tidak. Akan tetapi, kiranya masyarakat tahu mana pemimpin yang megalomania dan mana yang tulus. Dalam hal ini pejabat pemerintah semestinya sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan bersama, bukan menari di atas sensasi dengan kekuatan uang dan kesempatan yang dimiliki. Harapan ini kiranya merupakan suara rakyat yang menginginkan sensitivitas dan solidaritas yang lebih ditingkatkan lagi dari para pejabat yang diberi mandat.
Selamat menyongsong tahun politik 2024!
Agustinus Tamtama PutraPeneliti Kebijakan Publik GMT Institute Jakarta, Alumnus Magister STF Driyarkara Jakarta