Jika penyelesaian isu Myanmar jadi salah satu tolok ukur keberhasilan keketuaan, tak banyak waktu tersisa. Upaya diplomatik perlu tancap gas agar rapor RI positif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
NINA SUSILO
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kanan) dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bersiap menyambut kunjungan Perdana Menteri Republik Ceko Petr Fiala, Selasa (18/4/2023), di Istana Kepresidenan Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat.
Pekan ini, para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) kembali bersidang di Jakarta. Rangkaian Pertemuan Para Menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) dan pertemuan terkait pada 11-14 Juli ini, selain diikuti para menlu ASEAN minus Myanmar, dihadiri pula para menlu negara mitra.
Saat membuka Rapat Pleno AMM, Selasa (11/7/2023), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut soal kredibilitas ASEAN dan kekuatan penggerak yang dimilikinya dalam mengendalikan dinamika kawasan. Dalam pesan yang seolah disampaikan kepada para mitra luar ASEAN, termasuk negara-negara kekuatan besar, seperti AS, China, atau Rusia, Retno mengajak para koleganya di ASEAN untuk ”mengirim pesan yang jelas bahwa ASEAN tidak akan pernah menjadi proksi di tengah rivalitas kekuatan-kekuatan besar”.
Salah satu isu utama kawasan yang jadi sorotan ialah upaya penyelesaian krisis Myanmar. Sudah dua tahun lebih krisis politik di negara itu, dipicu kudeta militer, bergejolak. Ketika Brunei Darussalam dan Kamboja mengetuai ASEAN (2021-2022) dan tak mampu meredakan krisis Myanmar, dunia menaruh harapan begitu besar kepada Indonesia.
NASRU ALAM AZIZ
Para pengunjuk rasa anti-kudeta memperlihatkan isyarat tiga jari di atas kertas berisi pesan-pesan dalam demonstrasi di Yangon, Myanmar, 26 April 2021.
Harapan itu semakin besar, terutama setelah Indonesia sukses mengetuai G20 tahun lalu. Jika perkumpulan negara-negara raksasa saja bisa dikelola, bahkan forum KTT-nya bisa mempertemukan Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping—momen di Bali itu masih terus disebut-sebut hingga hari ini—apalagi forum regional seperti ASEAN, yang saat ini menyimpan bara di Myanmar.
Namun, dalam isu Myanmar, kenyataan tak sejalan dengan logika itu. Sudah setengah tahun lebih Indonesia mengetuai ASEAN, belum tampak fajar meredanya krisis di Myanmar. Sudah ada upaya untuk membangun dialog antarpihak di Myanmar—Retno menyebut sudah 110 pertemuan dengan semua pihak di negara itu—tetapi belum terlihat hasilnya.
Yang menonjol di mata dunia malah perpecahan di internal ASEAN. Indonesia dan Thailand, dua dari lima negara pendiri ASEAN, berseberangan dalam memilih jalan penyelesaian, meski tak satu pun mengingkari Lima Poin Konsensus ASEAN sebagai panduannya. Jika ASEAN ingin menyelesaikan krisis Myanmar, perpecahan itu dulu yang harus diselesaikan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyambut Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai yang menghadiri pertemuan The ASEAN Foreign Ministers (AMM) Retreat di Sekretariat ASEAN, Jakarta, 3 Februari 2023.
Perlu dipertimbangkan peningkatan upaya diplomatik ke level lebih tinggi jika Indonesia ingin menorehkan skor positif dalam penyelesaian krisis Myanmar. Tahun lalu, Presiden Joko Widodo blusukan hingga Ukraina yang dilanda perang dan Rusia dalam perjalanan menuju sukses mengetuai G20.
Boleh jadi, langkah serupa perlu ditempuh jika Indonesia ingin meninggalkan legasi positif dalam isu Myanmar. Presiden perlu turun tangan menjalin komunikasi langsung dengan para pemimpin lain.