Kebijakan perikanan dan kelautan harus hadir dengan data yang dapat diandalkan agar pembangunan kelautan dan perikanan tidak salah arah. Perlu pembenahan agar riset perikanan dan kelautan dapat diandalkan.
Oleh
YONVITNER
·5 menit baca
Berbagai polemik terkait kebijakan kelautan dan perikanan yang terjadi saat ini berawal dari lemahnya kondisi data yang ada. Tiga kebijakan terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023, tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2023 tentang Benda Muatan Kapal Tenggelam, dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut lahir di tengah miskinnya dukungan data berkualitas.
Kelahiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum memberikan angin segar bagi riset kelautan dan perikanan. Bahkan, yang terjadi kemudian riset kelautan dan perikanan terserak baik data maupun aset riset. Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) yang sebelum kuat dan konsolidatif dalam mendukung menyiapkan data ilmiah pun menjadi seperti mati suri akibat pemisahan riset dari kementerian teknis.
Inisiatif membawa riset dan inovasi dalam satu pintu melalui BRIN tidak mampu memenuhi kebutuhan kebijakan kelautan dan perikanan. Karut-marutnya riset kelautan dan perikanan ini setidaknya terjadi pada lima hal penting.
Pertama, ketiadaan peta jalan (roadmap) riset kelautan dan perikanan yang memadai. Riset berjalan tanpa rel, program dan kelautan berjalan tanpa misi yang jelas. Keberadaan organisasi riset kelautan dan perikanan seperti order organisasi call by phone. Data tidak ada kalau tidak ada call dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kehadiran Perpres No 38/2023 tentang KKP langsung mencabut pusat riset kelautan dan perikanan. Sejak ditetapkan pada 16 Juni 2023, KKP berjalan tanpa roh data dan informasi yang memadai dalam mendukung kebijakan yang ditelurkan.
Kedua, semakin terurainya sistem tata kelola data perikanan. Belum jelas nasib Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) menetapkan dan mengelola data perikanan, kini data kelautan tercerabut dengan adanya BRIN dan munculnya Perpres No 38/2023.
Dalam hubungan kerja, dapat saja koordinasi, tetapi dalam setiap akses data, informasi perikanan dan kelautan ke depan harus didasari nota kesepahaman (MOU) antara BRIN dan KKP. Sementara untuk untuk melaksanakan riset dan mendapatkan data, KKP tetap harus mengalokasikan dana untuk BRIN.
Walaupun soal ini teratasi, tetap saja akses dan data center menyusul jadi persoalan berikutnya yang tidak bisa diakses langsung KKP. Dalam praktik perjalanan berikutnya, biasanya hubungan kelembagaan tidak selalu berjalan mulus.
Ketiga, soal infrastruktur riset yang mubazir. Keberadaan Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) yang awalnya mengelola kapal riset, sejak adanya BRIN pengelolaan dilakukan pihak ketiga. Alasan efisiensi dan efektivitas bisa diterima, tetapi tanpa disadari sikap tersebut secara perlahan menghancurkan kemandirian riset kelautan dan perikanan Indonesia.
Kini, ketika kelembagaan termasuk BRIN mau melaksanakan riset harus memiliki biaya sendiri untuk menyewa kapal atau nebeng dalam aktivitas dan hari layar kapal walaupun bukan tujuan riset. Akibatnya, bukannya semakin mandiri dan berjayanya riset kelautan, malah menjadi semakin tidak berdaya.
Setali tiga uang dengan hal tersebut, kini prasarana riset kelautan dan perikanan, termasuk fasilitas laboratorium, tidak terkelola dengan baik. Banyak aset laboratorium yang sudah dihasilkan kini mangkrak. Kondisi ini terjadi karena tidak ada lagi kewenangan, atau BRIN tidak bersedia menerima semua aset riset kelautan dan perikanan, serta biaya dan tenaga operator yang mengelolanya. Mubazirnya infrastruktur riset perikanan dan kelautan menjadi alarm kematian riset kelautan dan perikanan.
Akibatnya, bukannya semakin mandiri dan berjayanya riset kelautan, malah menjadi semakin tidak berdaya.
Keempat, yang membuat persoalan semakin runyam adalah soal diskoneksi kelembagaan dan keuangan. Kelembagaan BRIN tidak bisa bekerja atas perintah KKP dan tidak akan bekerja tanpa dukungan biaya dari KKP. Artinya, tetap saja KKP menyiapkan dana dan pengumpulan data dilakukan pihak ketiga.
Kelima, hilangnya kedaulatan riset nasional. Banyak negara asing riset tanpa bisa dikoneksikan untuk kebutuhan bangsa yang mana. Kedaulatan data menjadi hilang karena sumber data dikumpulkan pihak ketiga. Bahkan kemudian banyak muncul pahlawan kesiangan yang menawarkan hari layar ke kementerian, perguruan tinggi. Tawaran terhadap riset yang dilakukan di perairan kita tanpa kita tahu akan mengisi kebutuhan data nasional bagian yang mana. Akibatnya, potensi data loss dapat kembali terjadi setelah data dikoordinasi oleh pihak ketiga atau pihak asing yang melakukan riset.
Ironi kebijakan
Dampak dari ketiadaan data yang memadai menjadi ironi bagi kebijakan yang akan dibuat pemerintah. Sebut saja 2 PP terbaru, yaitu PP No 11/2023 tentang PIT dan PP No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut sangat terbatas data yang bisa diandalkan. PP No 11/2023 menjadikan data estimasi stok dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Jenis Komoditas Wajib Periksa Karantina Ikan, Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan sebagai pegangan.
Kalau dikonotasikan praktik pembagian alokasi kuota untuk perikanan berbasis ekologi, data monitoring dari Harvest Control Rules (HCR) harus dijadikan pertimbangan. Salah satunya kemampuan ekosistem menunjang lahirnya biomass baru dari setiap jenis ikan. Sementara itu, potensi gangguan yang dapat merusak ekosistem sehingga menurunkan daya dukung pertumbuhan biomass harus disajikan lebih awal. Dengan demikian, dalam tindak mitigasi, jelas apa yang harus dilakukan pengusaha dan investor. Jika tidak, praktiknya tetap bergaya eksploitasi tanpa pertimbangan biologi dan ekologi.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 lebih ironis lagi, lahir dengan dukungan naskah akademis yang sangat terbatas dan minim data. Seharusnya terlebih dahulu disajikan data baseline, level aman, atau status terkini ekosistem yang rusak, termasuk sebagian lokasinya. Kemudian juga teknologi kapal isap yang ramah terumbu karang dan lamun akan seperti apa modelnya. Selain itu, soal area sebaran sedimen, status masyarakat sekitar lokasi, serta potensi risiko yang akan terjadi. Sebuah ironi kebijakan hadir tanpa data yang memadai karena dapat meningkatkan risiko pesisir, ekosistem, dan sumber daya laut.
Pembenahan
Ada beberapa langkah yang diperlukan agar riset perikanan dan kelautan dapat diandalkan dan mendukung program dan kebijakan kelautan. Pertama, benahi kembali BRIN organisasi riset perikanan dan kelautan sesuai kebutuhan pembangunan. Pembenahan ini harus didasari kebutuhan dan keakurasian. Kuncinya adalah penguasaan terhadap data laut, informasi, infrastruktur riset serta kemandirian riset dan pembiayaan. Jangan terjadi riset dan data dikelola BRIN tidak bisa diakses dengan baik oleh KKP. Pembiayaan riset, fasilitas, gedung, dan infrastruktur lainnya harus diperkuat agar dapat dipergunakan KKP dalam menyusun kebijakan. Maka, untuk itu pembenahan riset kelautan dan perikanan menjadi wajib hukumnya bagi KKP.
Kedua, kembalikan infrastruktur riset kelautan sebagai aset bangsa yang harus dikelola dengan baik. Kapal riset harus dikelola organisasi riset perikanan dan kelautan, bukan swasta. Alat dan laboratorium serta gedung harus dioptimalkan kembali pemanfaatannya. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan pengelolaan aset riset kelautan perikanan. Swastanisasi aset, termasuk kapal riset, telah memperlemah kemandirian riset kelautan nasional, langkah yang tidak sejalan dengan penguatan visi maritim.
Ketiga, yang menjadi kunci adalah peta jalan riset kelautan sesuai visi pembangunan kelautan. Peta jalan ini harus memuat program termasuk ekologi dan ekonomi, peta kemampuan (SDA dan SDM riset), target capaian riset dan industri data jangka panjang. Peta jalan ini harus dikerjakan dengan penuh tanggung jawab, adil, dan bermanfaat.
Keempat, penguatan pendanaan riset untuk mendukung kebijakan yang presisi. Reproduksi ulang data dengan justifikasi ilmiah harus dikurangi dengan cara menyediakan data yang baru dan valid. Survei laut Indonesia harus jadi domain KKP dan tanpa harus menunggu BRIN. Untuk itu perlu dukungan pembiayaan untuk riset dan pembiayaan untuk pengumpulan data. Walaupun dana riset meningkat dari 0,2 persen (2015) menjadi 0,84 persen (2020) menurut Rencana Induk Riset Nasional (2017-2045), penggunaannya belum dalam koridor yang sama dengan kebijakan yang dirumuskan KKP.
Dengan pembenahan keempat poin tersebut, ke depan tidak ada lagi kebijakan perikanan dan kelautan hadir tanpa data yang dapat diandalkan. Perbedaan akun dan biaya kementerian/lembaga (K/L) dan BRIN jangan menjadi penghalang untuk mendapatkan akses data berkualitas. Lemahnya kebijakan terjadi akibat kurangnya dukungan data berkualitas, kita harus antisipasi itu agar pembangunan kelautan dan perikanan tidak salah arah.
Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan Dosen Manajemen Sumberdaya Kelautan IPB University