Imhoff dan Gadis Pemijat, Bung Karno dan Museum
Istana Cipanas yang berarsitektur indah dikelilingi taman hutan banyak menyimpan karya seni. Di sini Bung Karno sering mengajak kepala negara sahabat untuk tetirah sambil mempercakapkan seni dan budaya; bukan politik.
Di Istana Cipanas ada Museum Istana Kepresidenan. Menghimpun dan memelihara koleksi seni Bung Karno yang selama ini dikhawatirkan menumpuk dan rusak.
Untuk kesekian kalinya penulis dan sejumlah rekan diundang Kementerian Sekretariat Negara-Sekretariat Presiden untuk rapat kerja di Istana (Presiden) Cipanas. Karena tugas yang diberikan cukup serius, saya diminta menginap di situ.
Penugasan ini tentu membuat hati sangat berbahagia. Sebab, Istana Cipanas yang berarsitektur aksi dan ayu adalah tempat yang layak untuk selalu dirindu. Apalagi posisi istana yang dibangun pada 1742 ini dipeluk taman hutan seluas 26 hektar, dengan perdu dan bunga yang tiap hari mekar.
Koleksi istimewa Bung Karno
Tidak terlampau terpahami, mengapa penulis dan rekan (tim penyusun buku: Rifky Effendi, Sally Texania, Hendra Himawan, Guntur Santoso) diundang menginap di Istana Cipanas pada medio bulan Juni.
Namun, dari reka-reka logika, undangan itu bisa jadi dikaitkan dengan ”Juni: Bulan Bung Karno”. Reka logika itu terbukti kebenarannya ketika kami—sebelum dan seusai rapat— diajak berkunjung ke setiap bangunan, yang semua elemen hias dan konten ruangannya berkait dengan Bung Karno.
Di setiap ruang paviliun menampilkan lukisan seniman legendaris koleksi Bung Karno, seperti karya Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Dullah, Ernest Dezentje, Lee Man Fong, Henk Ngantung, dan Anak Agung Gde Sobrat.
Puluhan lukisan bunga yang menegaskan estetika mooi indie terpajang di mana-mana. Pada sisi lain, karya seniman cat air tersohor William Russel Flint bersapa ria dengan adikarya Rudolf Bonnet, Walter Spies, dan Auke Sonnega.
Sementara aksentuasi dari kunjungan ritual kebungkarnoan ini adalah Museum Istana Kepresidenan Cipanas. Sebangunan museum berlantai dua yang mulai dibangun belum lama dan sekarang telah bisa dikunjungi masyarakat. Dalam museum terpajang hampir seratus koleksi lukisan Istana, yang 90 persennya warisan dari Bung Karno.
”Sejak dulu banyak yang minta agar koleksi lukisan Bung Karno yang serba istimewa itu diberi tempat khusus. Salah satu tempat adalah museum ini. Bahkan di sini nanti akan dibikin ruang konservasi,” kata Darmastuti Nugroho, Kepala Biro Pengelolaan Istana.
Inisiatif pendirian museum agaknya didorong oleh keinginan Bung Karno yang berproyeksi dengan masa depan koleksinya. Dalam sebuah koran edisi 21 November 1963, Bung Karno pernah mencetuskan ide ihwal museum itu.
Koran tersebut menulis demikian: ”Presiden Soekarno hari Senin mengatakan bahwa koleksi barang-barang kesenian beliau berupa lukisan-lukisan, ukiran-ukiran, dan patung-patung yang terkenal itu akan diserahkan kepada Nasional Art Gallery (Wisma Budaya) kita”.
Namun, dalam realitasnya, sampai puluhan tahun setelah Bung Karno lengser, Wisma Budaya yang dimaksud tidak pernah ada. ”Semoga Bung Karno menganggap museum ini adalah salah satu wujud dari Wisma Budaya. Meski jauh dari cukup,” bisik seorang pengelola Istana di dengan khusyuk dan takut-takut.
Nilai uang luruh, nilai seni tangguh
Mungkin karena menyangkut Bung Karno, Deputi Bidang Administrasi dan Pengelolaan Istana Rika Kiswardani mengajak kami memasuki gedung tempat permandian air panas.
Di sini Bung Karno sering mengajak kepala negara sahabat untuk merendam diri sambil asyik mempercakapkan seni dan budaya; bukan politik! Dari situ kami lantas diarahkan menuju Gedung Bentol, rumah mungil rancangan arsitek F Silaban yang posisinya agak terpisah dari bangunan lain.
Di Gedung Bentol ini Bung Karno menulis berbagai pidato serta naskah penting. Meja dan kursi untuk menulis masih ada. Klimis dan beraura.
Di depan meja terdapat jendela yang menyajikan pemandangan pepohonan hutan. Riwayat bertutur, di rumah ini pula Bung Karno pernah bermeditasi untuk membuat surat keputusan legendaris: mengubah nilai uang Rp 1.000 menjadi Rp 1 pada Desember 1965.
Syahdan, begitu keputusan dibuat, para pejabat tinggi yang terkait dengan keuangan negara, termasuk Menteri Keuangan Frans Seda, diundang untuk duduk di meja makan besar di gedung induk. Di meja itu Bung Karno melimpahkan keputusannya untuk diumumkan.
Proses pelimpahan itu ”disaksikan” oleh beberapa lukisan pilihan yang dipajang dalam ruang sehingga lukisan itu seolah berkata: ”Nilai rupiah boleh luruh, tetapi harkat lukisan akan tetap tinggi dan tangguh!”
Kini ruang makan bersejarah ini dihiasi lukisan besar ”Tari Rejang” karya seniman asal Swiss, Theo Meyer. Rejang adalah tarian Bali yang melambangkan kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan.
Jejak Imhoff
Bung Karno sepenuhnya berkelindan di Istana Cipanas. Namun, kisah Imhoff, pendiri tempat tetirah ini, selalu samar-samar mengekor untuk diingat. Itu adalah sejarah. Alkisah pada suatu ketika, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff merasa bosan tinggal di Batavia. Ia lalu berkata kepada sejumlah orang untuk melakukan perjalanan rekreasi.
Jordens, dokter pribadinya, tahu bahwa yang ingin dicari Imhoff bukan hanya tempat bersenang-senang, melainkan daerah yang bisa dipakai untuk hidup nyaman dan bisa menyehatkan badan. Imhoff adalah orang yang memperhatikan aspek kesehatan lantaran tubuhnya mulai sakit-sakitan.
Maka, pada medio Agustus 1742, Imhoff melakukan perjalanan tilik tanah di Jawa Barat dengan menggunakan kereta kuda. Ekspedisi ini melibatkan cukup banyak orang. Selain dokter tadi, ia juga membawa dua anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), seorang juru ukur tanah, dan seorang pendeta. Rombongan kecil ini dikawal sepasukan grenadiers VOC yang dipimpin letnan kolonel.
Setelah berjalan setengah harian, yang pertama dijumpai oleh ekspedisinya adalah Kampung Baru, yang lantas menumbuhkan gagasan Imhoff untuk membuat Palais Buitenzorg (Istana Bogor). Penemuan wilayah ini membuat Imhoff ketagihan sehingga ia meneruskan perjalanannya.
Pada satu wilayah yang posisinya 24 paal (40 kilometer) sebelah tenggara Buitenzorg, Imhoff menemukan sumber air panas yang menyembur di bawah pohon karet munding.
Bung Karno sepenuhnya berkelindan di Istana Cipanas. Namun, kisah Imhoff, pendiri tempat tetirah ini, selalu samar-samar mengekor untuk diingat.
Begitu merasakan kehangatan air, ia berkata kepada dokternya, ”Dit is de plek waar ik wil zijn! (Ini dia tempat yang saya mau!).” Lalu juru ukur tanah mulai sibuk dan para opsir bersenjata mencari landeigenaar (si pemilik tanah), Van Heots.
Pilihan Imhoff dan Heots ternyata sama. Buktinya, Heots mulai mendirikan rumah di bentangan tanah berkontur apik itu. Imhoff kemudian berusul agar tanah dan rumah itu jadi miliknya dan rumah yang sedang dibikin itu akan ia teruskan pembangunannya. Heots oke saja. Siapa berani melawan gubernur jenderal?
Dari Heots pula diketahui bahwa daerah itu disebut oleh penduduk sebagai Cipanas, yang artinya wilayah ci (bahasa Sunda: air) yang panas.
Helena gadis pemijat
Apabila Palais Buitenzorg didominasi beton, rumah Cipanas banyak mengandalkan kayu, dengan ornamentasi detail pada pelipir atapnya. Bentuk arsitektur ini mengacu pada rumah musim panas di Eropa.
Lantaran bangunannya didominasi kayu, yang mengerjakan harus ahli bangunan kayu. Lalu didatangkanlah puluhan tukang kayu nomor satu dari Tegal dan Banyumas. Rumah pun jadi, yang lantas disebut sebagai kasteel atau puri.
Imhoff sungguh senang tinggal di sini. Udara yang sejuk pada pagi hari, hangat pada siang hari, dan bisa melesak nol derajat pada menjelang subuh menjadikan Imhoff rada-rada lupa kepada Batavia.
Ia bahkan menyarankan rekan-rekannya untuk menginap di Puri Cipanas dan mencoba kehangatan airnya yang mengandung belerang dan besi, serta diyakini bisa menyembuhkan banyak penyakit. Seperti diduga dokternya, Imhoff memilih tempat ini untuk menjalani masa geringnya selama dua bulan, sampai mengembuskan napas terakhir tahun 1750.
Baca juga: Istura, Magnet Keindahan Istana Presiden untuk Rakyat
Puri Cipanas memang surgawi sehingga Willem van Hogendorp, seorang sekretaris komisaris jenderal, menulis surat kepada ayahnya di Belanda: ”Di Netherland orang tidur dengan selimut wol dan menggigil tiap pagi karena kedinginan. Tetapi di sini kami punya mata air panas berbelerang yang berlimpah. Sangat menyenangkan dan menghangatkan. Sumber airnya dipanaskan di Gunung Gede, yang sekali-sekali mengeluarkan asap dengan batu-batu lava kecil-kecil... Achhh....”
Dari Puri Cipanas ada cerita yang sering susah hilang dari ingatan. Syahdan Imhoff menyukai kecantikan gadis-gadis bumiputra. Maka, pada suatu hari Imhoff berjumpa dengan gadis manis yang bekerja sebagai tukang pijat sejumlah mandor tukang yang bekerja di situ. Melihat si gadis, Imhoff langsung terpikat. Sampai akhirnya si gadis dikawini dan namanya diganti jadi Helena Pieters. Mevrouw Helena melahirkan dua anak Imhoff.
Nah, Helena ini, kata sejumlah penjaga di istana, suka muncul melayang di malam-malam gulita! (Wah, sungguh penulis jadi ingin tahu wajahnya.)
Ujung kalam, di Istana Presiden Cipanas, warisan Bung Karno dan peninggalan Van Imhoff hidup langgeng bersama-sama, dengan menghadirkan dimensi cerita yang seakan tiada habisnya.
Agus Dermawan T, Pengamat Seni Rupa, Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden Republik Indonesia